Di sebuah auditorium kota New York, penulis musikal sekaligus komposer, Jonathan Larson menyanyikan kegelisahannya. Dalam hitungan delapan hari dia akan menginjak usia 30 tahun, sebuah malapetaka untuk orang muda mana pun yang belum menjadi miliarder, berkeluarga, dan memiliki rumah mewah di usia 20-an. Larson mengutuk dirinya karena belum berhasil menjadi penulis yang karyanya dimainkan di Broadway.
Meski demikian, dia tetap positif musikal sci-fi tentang manusia modern yang menonton orang kaya memamerkan hartanya di televisi–sebuah prediksi tepat gambaran masa kini ketika klan Kardashian melakukan hal itu–Superbia akan sukses. Sebuah mahakarya yang ia gadang akan membuatnya tenar dan terlepas dari belenggu cap struggling artist.
Namun, sebelum dia memulai workshop Superbia agar produser Broadway tertarik, Larson harus menulis satu lagu utama sebagai puncak musikal yang ia tulis-revisi-tulis selama delapan tahun. Celakanya, Larson yang tidak pernah kehabisan ide untuk membuat sebuah lagu bahkan tentang hal remeh-temeh seperti gula, mendadak kehilangan inspirasi.
Larson galau bukan kepalang. Usia 30 makin dekat dan bersamaan dengan itu ia belum menciptakan lagu yang paling krusial untuk dramanya. Sementara, waktu terus berjalan dan ia tidak bisa menulis satu lirik pun. Tik tik tik waktu berdetak sebelum akhirnya meledak, Larson harus memaksa dirinya terinspirasi.
Baca juga: Losmen Bu Broto: Ketika Rumah Tidak Lagi Hangat
Secara garis besar, Tick, Tick… Boom! mengisahkan kehidupan Larson lima tahun sebelum dia meluncurkan drama musikal Rent yang meledakkan namanya. Rent sendiri berhasil dimainkan di Broadway selama 12 tahun dan mengubah industri teater musikal.
Di film ini, aktor Andrew Garfield bertransformasi dari kostum Spiderman menjadi salah satu komposer dan musisi berbakat AS di 1990-an itu. Akting Garfield memikat, belum lagi secara fisik ia dibuat mirip dengan Larson. Sebuah keberhasilan dalam casting dan make-up untuk film yang disutradarai Lin-Manuel Miranda itu.
Namun, Tick, Tick… Boom! tidak sekadar bertarung melawan usia 30 dan menciptakan lagu. Itu juga berlomba bersama waktu memberikan jawaban kepada kekasihnya, Susan (Alexandra Shipp) tentang kepindahannya ke kota baru hingga membayar kontrakan. Satu hal yang paling penting, Larson menghitung hari bersama teman-temannya yang satu per satu meninggal karena epidemi HIV AIDS menghantam AS saat itu.
Tick, Tick… Boom! yang memang diambil dari karya musikal monolog Larson, ia tulis tepat setelah Superbia, bisa dibilang sebagai penggambaran ungkapan sarkastik the life of an artists, ain’t it grand?
Seniman seringkali dibingkai dengan hidup yang serba mewah. Namun, bagi mereka yang belum bisa mencapai titik sukses, layaknya Larson saat itu, harus menyambung hidup dari gaji ke gaji sebagai pelayan di Moondance Diner. Setelahnya, ia harus istirahat dan memutar otak untuk mengejar mimpinya di apartemen yang sebentar lagi runtuh.
Jika melihat alurnya, Tick, Tick… Boom! menggunakan banyak kilas balik. Misalnya, saat Larson dan salah penyanyi dalam monolog musikalnya, Karessa (Vanessa Hudgens) menyanyikan Therapy, lagu tentang hubungan Larson dan Susan yang di ambang kehancuran.
Baca juga: Serial ‘You’ Musim Ketiga, Juaranya Relasi Toksik
Karessa dan Larson berduet dengan sangat komikal, tetapi saat gambar berpindah ke perdebatan antara Susan dan Larson mengenai hubungan mereka, suasana menjadi intens. Namun pergantian adegan berantem dengan pacar itu menjadikan adegannya secara keseluruhan menjadi sebuah candaan, alih-alih tegang.
Alur yang maju mundur itu juga membuat kehidupan Larson tampak lebih campur aduk, sedikit di luar kendali, dan perwujudan nyata dikejar deadline. Namun, hal itu diimbangi dengan adegan-adegan musikal yang imajinatif, seperti saat Larson dan sahabatnya Michael (Robin de Jesus) bernyanyi tentang apartemen mewah.
Akting dari Garfield yang menampilkan kebolehannya dalam bernyanyi pun kembali menetapkan kalau Larson adalah bakat bertemu dengan kerja keras. Ia tidak ingin melepaskan mimpinya agar Superbia menjadi drama Broadway lepas begitu saja dan melakukan segala hal untuk mewujudkannya.
Berbanding terbalik dengan Michael yang melepaskan kariernya sebagai aktor dan bekerja di perusahaan periklanan, bisa dibilang itu adalah pilihan paling realistis. Pasalnya, tidak semua orang bisa bertahan di industri tersebut dan kadang harus ada pengorbanan untuk melupakan mimpi. Seperti yang dikatakan Michael, “Saya adalah aktor pas-pasan dan ada begitu banyak aktor pas-pasan di New York. Tapi, hanya ada satu Jonathan Larson”
Baca juga: 5 Alasan Komedi Cinta Dorama ‘Kieta Hatsukoi’ Menggemaskan
Tick, Tick… Boom! Memiliki akhir yang bittersweet, drama musikal karya Larson memang berhasil dimainkan di Broadway. Namun, tepat sebelum debut karyanya Larson meninggal mendadak karena aneurisma aorta, ini sedikit mengingatkan dengan pelukis Vincent Van Gogh yang tidak melihat karyanya dikagumi banyak orang.
Walaupun belum bisa menyaksikan mahakarya milik Larson, Rent langsung di Broadway atau off Broadway, Tick, Tick… Boom! memperkenalkan betapa jeniusnya Larson yang kritis akan isu sosial, seperti orientasi seksual dan kelas dengan mulus, ringan, dan artistik.
Tick, Tick… Boom! bisa disaksikan di Netflix
Comments