POV: Adam
Saat menaiki tangga dari lantai dasar ke lantai dua, saya teringat pabrik yang dibakar buruh di film Thailand, The Medium (2021). Bau apak dari kayu-kayu lembab, lantai yang dipenuhi rongsokan furnitur, pecahan semen dan asbestos, dinding-dinding yang ditempeli tumbuhan parasit berbatang besar-besar, berakar. Lalu, muka kesurupan Mink (Narilya Gulmongkolpech) tiba-tiba juga ikutan merembet ke ingatan… yang terakhir ini susah betul dibuang.
Yogi—anggota Ghost Photography Community (GPC), pemandu kami—berhenti di titik-titik tertentu untuk memotret, salah satunya di depan lift di lantai dasar.
Dia akan mengambil beberapa foto di satu tempat, supaya nanti bisa dibandingkan frame per frame. Ini salah satu cara untuk menemukan foto-foto “penampakan” yang diincar. Biasanya proses ini makan waktu. Di saat-saat begitu, saya akan menyenter ke sepenjuru ruangan, mencari-cari yang tak perlu dicari.
Sampai di lantai dua, masih tak ada yang aneh. Kecuali, sampah-sampah botol air kemasan yang berceceran di lantai. Jumlahnya kepalang banyak, macam ada yang sengaja numpang pesta di lantai ini. Kami juga menemukan satu kantong plastik besar yang isinya sampah bekas kotak nasi makanan Jepang. “Mungkin sering jadi tempat nongkrong,” kata saya. Dugaan lain yang tak saya ucapkan dan pendam sendiri: mungkin ada petugas hotel sebelah yang buang sampah bekas makanan ini di sini.
Selain ceceran sampah, kami juga menemukan peta dunia yang ditempeli potongan-potongan koran di titik-titik tertentu. Wah, menarik, pikir saya, seraya mendekat ke peta yang panjangnya sekitar 1,5 meter itu.
Saya sempat mengira peta itu betulan peninggalan anggota partai komunis, sampai melihat muka Mahfud MD di salah potongan korannya. Tanggal di koran-koran itu baru, masih dalam rentang empat sampai lima tahun terakhir.
Wah, niat betul pengurusnya, batin saya. Tampaknya, gedung ini betulan tak akan dipugar dalam waktu dekat. Peta itu jadi buktinya. Bagi saya, potongan-potongan koran baru tersebut adalah bukti bahwa pengurus gedung ini lumayan serius menjadikannya tempat wisata uji nyali, daripada kopisyop ala industrialisasi. Yah, walaupun mesti riset lebih dalam lagi supaya titik-titik di peta itu lebih punya makna.
Perjalanan kami berlanjut. Selepas peta itu, saya jauh lebih santai. Sejak awal, ekspedisi horor ini cuma wisata seru-seruan. Saya skeptis pada setan dan tak pernah punya pengalaman melihat mereka yang gaib. Satu-satunya yang mungkin mendekati itu adalah pengalaman mendengar suara desisan di kamar sendiri, dulu waktu saya umur 16.
“Sssst,” suara itu muncul tiba-tiba. Terdengar berat dan dekat. Awalnya saya kaget, tak yakin kalau betulan mendengar sesuatu. Kemudian ia muncul lagi. Terlalu berat, terlalu dekat. Saya refleks mendesis juga, mengukur volume suara sendiri. Namun, desisan saya tak terdengar seberat itu. Bulu kuduk saya berdiri, dan otomatis memanggil ayah yang tidur di lantai dua. Ayah kemudian datang dan duduk di meja belajar. Dia tak otomatis percaya pada apa yang saya ceritakan, tapi juga tidak meninvalidasinya di saat bersamaan. Dia cuma bilang, “Yaudah, tidur lagi. Nanti, kalau udah tidur, Ayah naik.”
Baca juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu
Tak sampai semenit kemudian, suara itu muncul lagi. “Sssst.”
Muka saya panik. Ayah juga. Dia lalu bilang, “Yaudah, kita di atas aja malam ini.”
Pengalaman itu tak otomatis bikin saya percaya hantu. Saya yakin, semua hal punya penjelasan rasional. Akhirnya, kami menganggap suara desis itu adalah halusinasi kolektif. Saya sempat teringat lagi pada memori ini ketika kami di lantai empat.
Udaranya lebih dingin. Mungkin, karena di tempat lebih tinggi dan kosong. Tak ada rongsokan kursi, meja, lemari, atau apa pun yang sebelumnya ada di lantai satu, dua, dan tiga. Cuma ada beberapa botol air kemasan yang masih berceceran. Saya berjalan paling belakang, sambil menyenteri lantai. Takut kalau kami terinjak paku berkarat.
Tiba-tiba, suara desisan muncul dari belakang saya. “Ssst.”
Sumpah, respons pertama saya adalah tersenyum sendiri. “Sssst—ssst,” suara itu muncul lagi, seperti sedang memanggil. Otomatis, badan saya berbalik dan menyenteri ruangan di belakang kami. Tak ada orang. Memang seharusnya tidak ada siapa-siapa.
Baca juga: Film Horor Feminis ‘RONG’ Ingin Hantu Perempuan Menang
POV: Tim Satu
Jasmine sebetulnya terpaksa memberanikan diri untuk ikut wisata uji nyali ini. Sejak ide liputan eksperimental diajukan Taba di rapat redaksi, Jasmine sudah waswas. Dia tak mau ketempelan, atau melihat penampakan lagi.
Berbekal ayat kursi, doa yang diajarkan Mamanya, dan dua ayat terakhir Al-Baqarah, Jasmine menyiapkan mental memasuki Gedung CC PKI. Namun, ketakutan dan kecemasan yang tergurat jelas di mukanya tak bisa disembunyikan.
Sejak menjejakkan kaki ke dalam gedung tua itu, tubuhnya seketika merasa lebih berat. Kakinya sempat gemetar bukan main. Kayak habis lari berkilo-kilo meter. Kepala Jasmine juga sempat pening dan merasakan hawa panas. Tanda-tanda yang ia rasakan terlalu familier. Biasanya muncul karena merasa ada makhluk dari “dunia lain”.
“Jasmine, are you okay?” tanya Jeje, yang mengendus aura aneh Jasmine.
Yang ditanya cuma menjawab dengan anggukan kepala.
Taba juga sempat menanyakan hal yang sama. Jasmine cuma menjawab, “Sorry, I am just a bit overwhelmed.” Dalam hati, Jasmine sudah betulan tak nyaman, dia pengin kabur ke luar.
Di grup itu, Jasmine yang memegang senter pemberian Tim GPC. Ia selalu menyenteri segala penjuru gedung, sambil diam-diam berharap bisa melihat “mereka” lagi. Saat keberaniannya mulai terpupuk, tiba-tiba Jasmine mendengar suara yang seharusnya tidak dia dengar. Di lantai lima, dia juga mendengar suara teriakan perempuan. Jelas sekali.
Otomatis, Jasmine menanyakan hal itu pada Taba, Jeje, dan Mickey, tapi tak ada yang mendengar hal sama. Tak lama setelah itu, Jasmine merasa ada “seseorang” yang mengikuti mereka di belakang. Mungkin sudah menempeli mereka sejak dari lantai empat. Perasaan itu amat kuat. Saking kuatnya, Jasmine merasa mereka sedang ditatap lekat-lekat. Tatapan itu datang dari dekat lorong lift.
Jasmine langsung teringat imbauan Mickey di awal ekspedisi ini dimulai, “Kalau kalian ngeliat atau ngerasain sesuatu, tunjuk aja. Ngomong aja, jangan dipendem sendiri, nanti sakit.” Detik itu juga, Jasmine mendekati Mickey, memberitahu apa yang ia rasakan. Jasmine sempat menunjuk tempat yang ia curigai, meminta Mickey memotret ke arah sana.
Secepat kilat Mickey langsung mengarahkan HP-nya ke arah lift. Setelah mengambil beberapa foto, lalu mengecek beberapa hasil jepretan, tiba-tiba HP Mickey mati kehabisan baterai. Padahal, ia sudah bersiap dan mengisi baterai ponselnya penuh untuk tur ini. “Tadi, masih sekitar 89 persen,” kata Mickey.
Mampus. Berarti beneran ada, umpat Jasmine dalam hati.
POV: Aurel
Setelah peta di lantai dua, tak ada lagi hal menarik di lantai-lantai berikutnya. Saya cuma merasa lebih capek, gerah, dan kaki gemetaran—seperti habis nonton konser seharian—di lantai empat. Beberapa kali juga sempat mendengar suara cicitan dari sekelompok burung, yang awalnya kami kira kelelawar.
Namun, makin tinggi, saya makin capek. Akibat takut sakit ataupun ketempelan, akhirnya saya menyampaikan hal ini ke Yogi. “Kak, setelah dari basement tadi badanku rasanya dingin dan enteng,” jelas saya.
Dengan sigap, ia menyampaikan informasi itu ke tim satu. Yogi juga memastikan lagi, apakah saya betulan tidak melewatkan makan malam. Untuk menenangkan diri, saya lebih senang menginternalisasi kalau perasaan takut dan lemas ini cuma karena kurang karbohidrat, daripada berimajinasi ada makhluk astral yang mengikuti.
Pasalnya, beberapa kali, di balik hoodie yang saya kenakan, saya sempat merasa ada embusan angin sejuk. Kata Mickey dan Jasmine, embusan angin yang muncul tiba-tiba begitu bisa terasa ketika tubuh kita sedang berpapasan dengan mereka yang tak kasatmata. Percaya enggak percaya.
Baca juga: 5 Film Horor Rekomendasi Joko Anwar
POV Adam:
Suara desisan yang terdengar di lantai empat saya pendam sendiri. Alasannya tak mau bikin suasana makin tegang. Jujur, aura ketakutan teman-teman lain malam itu cukup kental. Di tim kami, aura itu datang paling kuat dari Aurel. Hani cenderung santai, padahal saya kira dia yang akan jadi paling histeris. Sebelum eksperimen ini dimulai, Hani sudah memperingatkan kami berkali-kali kalau dia betul-betul penakut. Ia sebetulnya tak pernah liat setan betulan, tapi pernah menonton kakak kandungnya kesurupan, mengeluarkan suara orang lain.
Saya cuma enggak mau bikin situasi makin panik. Lagipula, saya yakin itu cuma halusinasi. Suara atau situasi yang dibikin kepala saya sendiri, karena suasana yang dibangun sejak ekspedisi ini dimulai.
Sebelum kami memasuki halaman Gedung CC PKI, Tim GPC sempat memperlihatkan beberapa foto penampakan pada kami. Ditambah cerita-cerita mistis yang pernah mereka alami. Cerita-cerita berlanjut sepanjang perjalanan dari lantai dasar, rubanah, sampai lantai-lantai berikutnya. Saya pikir, informasi-informasi itu turut membangun suasana. Beberapa di antara kami terlihat makin takut sekaligus jadi lebih pendiam dari biasanya.
Saya sendiri sempat tak enak hati karena tertawa di tempat-tempat yang tak seharusnya. Misalnya, ketika sadar kalau potongan-potongan koran itu adalah gimmick. Perasaan tak enak muncul karena tak ingin mengganggu suasana horor yang sudah dibangun. Beberapa kali, Tim GPC sebetulnya mengingatkan kalau perjalanan malam itu bisa lebih greget kalau tim yang menjelajah lebih sedikit dari empat orang per grup.
“Sayang banget kalau gak berasa,” kata Yogi di lantai enam. “Kita naik sekali lagi ya, tapi per dua orang-dua orang aja,” sambungnya.
Saya ingat omongan itu direspons muka tegang Aurel.
POV Aurel:
Setelah mengelilingi enam lantai—lantai terakhir—saya sempat memvonis perjalanan malam itu enggak seru karena tak ada kejadian signifikan. Macam kesurupan, penampakan, atau setan yang terang-terangan muncul sambil cekikikan. Cuma ada perubahan suhu rungan, dan suara-suara yang mungkin saja cuma halusinasi saya. Kata Tim GPC, jumlah penjelajah yang terlalu rame bisa jadi alasan setannya enggak mau muncul.
Kami memutuskan turun dan rehat sejenak di depan pintu utama. Di luar pagar, lalu lalang pengemudi kendaraan bermotor yang melintas di Jalan Kramat Raya masih ramai.
Saya sedang jongkok untuk mengistirahatkan kaki, ketika menyadari ada bau aneh.
“Bau anyir, ya? Nyium gak?” tanya saya ke Taba, rekan reporter lainnya. Kebetulan bau itu tepat berada di hadapan kami, santer banget!
Taba mengangguk setuju, tapi kami enggak ambil pusing. Kami bahkan sempat mirror selfie di cermin lemari kayu di depan pintu utama gedung itu. Lalu, tim satu dan tim dua bertukar cerita. Tak ada penampakan atau kesurupan, tapi ternyata kami semua mendengar suara di saat yang berbeda. Jeje mendengar suara desisan ular, Adam mendengar suara orang mendesis, Jasmine mendengar suara teriakan, Taba mendengar benda diseret.
Enggak lama kemudian, tensi di antara kami kembali naik. Mickey memutuskan masuk gedung lagi, kali ini sendirian sambil live di Instagram. Ia sempat mengajak kami, tapi tak ada yang mau ikut.
Di teras gedung itu, kami membentuk lingkaran kecil. Yogi bercerita tentang pengalaman paranormal yang pernah dialaminya selama bergabung dengan GPC. Ia sempat cerita tentang keluarga indigo yang mereka bawa hunting di Banyuwangi, Jawa Timur. “Awalnya mereka enggak ngaku (bisa melihat setan),” kata Yogi. Namun, sepanjang jalan justru malah menakut-nakuti peserta lain karena selalu menunjuk ke arah-arah yang mereka sebut ada penampakannya. Yogi sendiri sebal dengan kejadian itu, menurutnya keluarga tersebut bikin situasi rusuh karena terlalu showing off.
Di tengah obrolan itu, lewat handy talky dan live Instagram, suara Mickey tiba-tiba muncul. Panik. “Pocong satu, pocong dua. Ada benda jatuh nih, gue digangguin dari belakang,” katanya, suaranya agak ngos-ngosan.
“Tunjukin di depan dong, jangan dari belakang! Ngagetin,” sambung Mickey lagi, kali ini ditujukan pada terduga-makhluk-astral yang mengganggunya.
Yang bikin kaget, audiens di live Instagramnya ternyata cukup jeli. Sebagian berkomentar, mereka melihat sosok perempuan berbaju putih yang menampakkan diri, lewat kamera ponsel Mickey. Live Instagram Mickey tiba-tiba freeze di layar HP Yogi. Kami tak dengar lagi suaranya.
Merespons kejadian itu, tubuh saya tegang, fight-or-flight response langsung aktif. Ketegangan itu semakin menjadi, ketika bau anyir kembali tercium, dan Mickey terengah-engah keluar dari gedung.
“Aaarg!” Adam yang berdiri membelakangi pintu utama berteriak kaget, karena lampu senter Mickey yang muncul tiba-tiba. Beberapa di antara kami juga ikut teriak. Kaget.
Baca juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor
POV Adam:
Saat Mickey dan Yogi melempar ide untuk masuk ke gedung sekali lagi, beberapa di antara kami langsung tak setuju, beberapa lainnya ragu. Aurel dan Hani yang kelihatan sekali tak mau. Taba dan Jeje kelihatan ragu. Sementara Jasmine lebih banyak diam saja. Di tengah ketidakpastian itu, Mickey memutuskan masuk lagi sendiri dan kali ini sambil live di Instagram.
Mendengar keputusan itu, saya sempat tersenyum sendiri lagi. Saya betul-betul merasa Tim GPC tak ingin pengalaman wisata horor ini berakhir kentang. Mereka belum dapat foto atau video penampakan yang seru. Dan perjalanan pertama kami cenderung lancar-lancar saja.
Saat itu, saya memutuskan untuk bikin situasi horor tetap terjaga dengan melempar beberapa pertanyaan pada Yogi. “Pernah ada yang kesurupan enggak, Bang? Waktu dibawa jalan gini?”
Sembari Yogi bercerita, kami otomatis membentuk lingkaran. Situasi langsung suram. Tensi kembali naik. Di sela-sela cerita itu, kami sempat mendengar suara Mickey teriak-teriak karena merasa diganggu di dalam gedung. Sumpah, di saat itu, saya sempat tak bisa menahan tawa. Buat saya situasi itu jauh dari seram, dan lucu belaka. Namun, di saat bersamaan saya juga tak mau menggangu pengalaman wisata uji nyali kawan-kawan lain, dan dianggap tak menghormati Tim GPC. Tawa itu saya kulum sendiri.
Beberapa tahun terakhir, sejak mendalami ilmu kritik film, sedikit-banyak saya juga mempelajari bagaimana narasi dan film horor bekerja. Ketakutan yang muncul saat kita menonton film horor datang dari hal-hal yang belum bisa dijawab pengetahuan manusia: hantu, penampakan makhluk lain, kematian, dunia lain, dan semacamnya. Di film-film horor, rasa takut itu diaktifkan dan dikelola lewat tahayul, legenda, mitos, agama, atau bahkan propaganda pemerintah.
Tempat-tempat terbengkalai macam gedung CC PKI ini memang cocok jadi tempat horor diciptakan. Lewat cerita horor, pihak yang berkuasa—macam pemerintahan—bisa mengatur keruangan manusia. Dengan cerita-cerita horor itu misalnya, seorang petani bisa saja menjual sawahnya karena rumor setan gagak yang diembuskan kepala desa. Atau, genosida besar-besaran yang bikin susah hidup seseorang dan keturunannya beberapa generasi kemudian.
Ini bukan cuma cuap-cuap. Kalau tertarik mengetahui lebih lanjut tentang horor dalam ruang, kalian bisa membaca buku Landscape of Fear, dari Yi Fu Tuan. Di sana dia bilang, kalau ketakutan dikontruksi manusia lewat banyak medium: cerita lisan, surat kabar, dongeng—yang ujungnya berefek pada realitas. Misalnya, produksi cerita PKI yang dikarang rezim Orde Baru untuk mengontrol narasi anti-komunisme.
Di tengah-tengah sekelabat pikiran itu, live instagram Mickey di layar ponsel Yogi tiba-tiba berhenti. Sepertinya, karena sinyal. Yogi beberapa kali mencoba memanggil Mickey lewat handy-talky-nya. Di saat itu tiba-tiba saya merasa ada cahaya terang dari belakang, dibarengi suara orang.
“Aaa!” saya teriak, kaget. Bikin yang lain juga ikut kaget. Maaf, anaknya kagetan.
POV: Tim Satu
Setelah Mickey kembali dari uji nyali sendiri, mereka semua memutuskan untuk kembali masuk. Meski, tentu saja, ragu. Tim pertama yang masuk adalah: Taba dan Jeje, ditemani Yogi.
Adam dan Hani sempat memutuskan tak mau ikut masuk lagi. Namun, saat tim satu kembali lagi ke teras utama di lantai dasar, Adam akhirnya pergi bersama saya dan Jasmine, ditemani Mickey.
Tim satu yang menunggu di teras utama sempat cerita-cerita soal apa sebenarnya yang membuat mereka parno saat datang ke bangunan terbengkalai—yang sering dilabeli angker. Yogi minta agar senter dan penerangan dari layar handphone dimatikan. Taba, Jeje, dan Hani menuruti.
“Saat situasi minim cahaya seperti ini dan kita berada di halaman gedung kosong yang terbengkalai. Menurut kamu apa yang paling ditakutkan?” tanya Yogi.
“Fear of the unknown,” kata Jeje.
Yogi menganggukkan kepalanya, lalu menyalakan senter yang dipegangnya. “Bener. Hantu bisa jadi, adalah salah satu penyebab kita takut saat ini. Tapi, ketidaktahuan kita sama sesuatu yang kurang familier dan apa yang bakal kejadian selanjutnya juga berperan besar,” tambahnya.
Tepat setelah dia mengucapkan kalimat itu, suara benda jatuh dari dalam gedung kosong kembali membuat bulu kuduk berdiri tegak. Suaranya seperti barang besar—mungkin lemari—digeser di atas lantai.
POV: Tim Dua
“Nanti kalau udah enggak kuat bilang ya, enggak usah dipaksain,” pesan Mickey saat tim dua kembali masuk. Aurel dan Jasmine tegang sekali.
Kami langsung menuju lantai tiga, dan berhenti sejenak di salah satu bilik yang letaknya dekat dari tangga. Adam sadar kalau suasanya kali ini lebih tegang. Jasmine masih pendiam, tidak seperti biasanya. Sementara aura takut dari Aurel betulan menyebar.
“Matiin deh senternya,” tutur Mickey, menyarankan mereka untuk gelap-gelapan untuk merasakan aura gedung itu lebih “dekat”.
Situasi langsung gelap gulita, yang pegang senter adalah Adam dan Mickey. Saat lampu dari senter Mickey mati, Aurel spontan menyalakan flashlight ponselnya. “Enggak.. enggak. Gausah gelap-gelapan deh,” katanya.
Mereka lalu sempat mengobrol beberapa menit, sampai tiba-tiba Aurel mempererat genggaman rosario di tangan, karena di telinga kiri.
“Sssssrrrt…”
Enggak, itu bukan bisikan. Suaranya seperti langkah kaki yang diseret atau sesuatu yang ngesot di lantai. Jelas sekali, tapi terasa jauh. Aurel lupa siapa yang bilang, tapi suara yang jauh menandakan keberadaan makhluk itu malah dekat. Saat itu juga dia diserang panik, dan ingin ke luar gedung.
“Udah yuk. Enggak kuat, barusan denger suara gitu,” pinta Aurel setengah merengek.
Mereka langsung bergegas menuju pintu utama. Namun, ketika perasaan lega baru saja menghampiri, gangguan berikutnya kembali terjadi.
“Gedebuk!”
Sesuatu melesat dari atas kepala mereka, dan jatuh ke bawah di sebelah Aurel. Lalu terdengar suara benda jatuh terdengar keras. Saat itu, Aurel, Adam, dan Jasmine sudah berada di anak tangga antara lantai tiga dan dua. Mickey lebih tinggi dari mereka.
“Heh! Apa tuh? Ada orang ya?!” Mickey berteriak panik di belakang mereka. Sambil menuruni tangga, mendekati arah suara sesuatu yang jatuh. Jantung Aurel meluncur ke kakinya. Adam dan Jasmine juga panik.
Mampus kalau sampai ada yang kesurupan, pikir Adam. Ia takut karena tangga tempat mereka berdiri bukan tempat stabil untuk mengurus orang yang kerasukan. Mereka bertiga sempat terpatung sesaat, lalu sadar kalau harus segera turun.
“Pocong dua, pocong satu. Barusan lo iseng ya? Kita denger suara benda jatuh tapi enggak ada wujudnya,” kata Mickey. Langit-langit bangunan itu memang rapuh, sehingga masuk akal jika ada yang jatuh. Di lantai lima bahkan ada langit-langit yang masih menggantung di depan tangga.
“Enggak, kita nunggu di luar kok,” jawab Yogi lewat handy-talky.
Badan Aurel semakin lemas mendengar penjelasan itu, dan ingin segera melarikan diri. Bersama Adam dan Jasmine, dia menuruni tiga sampai empat anak tangga lagi. Namun, Mickey masih sibuk ke sana kemari menyenteri lantai gelap itu.
“Tenang, tenang. Santai,” Jasmine mencoba menenangkan Aurel. “Dia bisa nyium ketakutan, nanti malah makin diganggu,” tambahnya. Muka Aurel dan Adam otomatis makin tegang.
Setelah Mickey selesai, mereka buru-buru menuju pintu utama. Semula, dipikir Aurel akan ada evaluasi atau obrolan selanjutnya di lokasi tersebut, tapi ternyata Mickey langsung mengajak mereka semua meninggalkan tempat itu. Kebetulan waktu hampir menunjukkan pukul 11 malam.
Melewati jalan setapak yang sama, kami meninggalkan gedung tua itu, menuju bangunan di sebelahnya yang lebih “bernyawa”. Kami menghela napas panjang dan mulai menenangkan satu sama lain sambil melempar gurauan gurauan.
Sebelum meninggalkan lokasi, kami bertemu penjaga gedung yang banjir keringat. “Kenapa, Pak?” tanya Aurel dan Taba, penasaran.
“Kunci gedungnya ada yang mindahin. Awalnya kan digantung di pintu besi depan, lah ketemunya di atas meja di lantai satu,” ucapnya. “Terus ada noni-noni Belanda lagi duduk, ngeliatin.”
Malam itu akhirnya berlalu. Kami pulang dalam keadaan utuh. Keesokan harinya, Aurel menerima pesan dari Mickey.
“Semalam kuping saya kayak ada yang niup-niup.”
Ini adalah liputan eksperimen Magdalene yang tayang tiap dua minggu sekali. Tulisan eksperimen kali ini dipecah dalam dua bagian. Baca artikel soal uji nyali bagian I di sini.
Reporter: Aurelia Garcia, Tabayyun Pasinringi, Jasmine Floretta, Jeje Bahri, Siti Parhani, Aulia Adam
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments