POV: Aurel
“Gimana kalau kita eksperimen uji nyali?” usul salah seorang reporter kami, di tengah rapat redaksi. Sontak adrenalin saya terpacu, membayangkan serunya menjelajahi tempat yang diyakini angker, atau bertemu hantu di malam hari.
Alasannya enggak lebih dari rasa penasaran. Anggaplah kesempatan bertemu hantu sebagai momen berhadiah. Kebetulan, dua dari tiga reporter kami selama ini hanya mendengar cerita mistis dari mulut ke mulut. Belum pernah ketemu hantu betulan.
Jasmine, rekan reporter saya, beda. Buatnya hantu itu nyata, dia pernah punya “bakat” melihat dan ngobrol dengan mereka. Pengalaman itu juga pernah dia tuliskan untuk Magdalene. Meski kemampuan melihat itu sudah “hilang” sekarang, bukan berarti Jasmine tak ketakutan kalau pergi-pergi ke tempat yang dianggap horor. Waktu Taba, reporter lainnya, mengusulkan ide wisata horor ini di rapat redaksi, Jasmine waswas.
“Gimana kalau ketempelan?” katanya. “Atau lebih parah, bisa ngeliat lagi.”
Kami bertiga sepakat tak punya nyali cukup jika hanya pergi bertiga. Alhasil, kami menyeret editor, social media specialist, dan ilustrator Magdalene. Kami juga mengajak Ghost Photography Community (GPC), yang terbiasa memburu hantu di berbagai tempat.
Sejumlah lokasi sempat menjadi pertimbangan, mulai dari the infamous Menara Saidah, Taman Langsat, Toko Merah, Bumi Perkemahan Cibubur, hingga Gedung Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Pilihan jatuh ke opsi terakhir. Berdasarkan informasi Tim GPC, izin di beberapa tempat lainnya sulit diurus, atau enggak ada apa-apa setelah mereka kunjungi.
Sebelum melakukan survei lokasi, tim reporter googling tentang Gedung CC PKI, yang terletak di Jalan Kramat V, Senen, Jakarta Pusat.
Ternyata gedung yang awalnya terdiri dari empat lantai itu, dibangun dari hasil urunan anggota PKI se-Indonesia pada 1954. Tepatnya setelah partai itu pindah markas dari Yogyakarta, dan menyewa rumah di Jalan Kramat Lontar.
Mat Murni, Ketua RW 7 Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat pernah bilang ke Kompas, bangunan itu dipakai PKI sebelum 1965, untuk pertemuan tertutup. Sampai akhirnya pembakaran gedung dilakukan massa, lima hari setelah peristiwa genosida kelam 1 Oktober 1965. Kontan, pembakaran itu mengakhiri aktivitas PKI di sana.
Baca Juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia
Bangunan itu diambil alih pasukan kuda TNI Angkatan Darat pada 1966. Pada rezim Orde Baru, ia dijadikan kantor Direktorat Jenderal Departemen Pariwisata.
Kami beruntung karena urusan izinnya cuma perlu sehari. Jadilah kami pergi uji nyali dilakukan pada pekan terakhir sebelum Ramadhan. Harusnya sih waktu yang tepat, karena katanya kan, makhluk gaib belum dikerangkeng.
Kesempatan ini terbilang berharga untuk saya pribadi, yang banyak menonton dan mendengarkan cerita mistis, tetapi tidak memiliki paranormal experience sendiri, ataupun sepenuhnya memercayai keberadaan hantu.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, acara televisi yang mengupas hal-hal supranatural adalah favorit saya. Sebut saja Kisah Kisah Misteri (Kismis), Dunia Lain, Scary Job, dan Mister Tukul. Atau beberapa tahun terakhir di kanal Youtube Jurnalrisa, Kisah Tanah Jawa, Ghost Files, dan Buzzfeed Supranatural.
Hampir semuanya menampilkan interaksi dengan makhluk astral, alias hantu. Mereka juga membicarakan energi dan bagaimana tubuh kita merespons saat berhadapan langsung atau merasa ketakutan karena energi itu. Enggak jarang, dalam acara-acara tersebut terekam suara benda jatuh, atau yang-terduga-makhluk-astral masuk dalam frame kamera.
Saya sendiri enggak percaya, dan yakin kalau itu semua cuma mainan tim kreatif untuk menjual program supaya laku. Mungkin keberadaan mereka nyata. Mungkin. Namun, rasanya enggak masuk akal aja. Interaksi itu terekam dan bisa disaksikan pemirsa di rumah? Seringnya, sih saya geleng-geleng kepala.
Namun, ada cerita horor yang masih menempel di memori saya. Bahkan masih bergidik ngeri setiap mengingatnya. Mungkin kamu juga pernah dengar? Tentang hantu di toilet sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat yang menampakkan diri, lalu melafalkan doa Bapa Kami.
Awalnya, saya mendengar cerita itu dari salah satu teman kuliah. Katanya, ada seorang perempuan pergi ke toilet, usai menonton film di bioskop, tengah malam. Selama melakukan urusannya dalam bilik, dia merasa ada sosok lain di sekitarnya, padahal sebelumnya enggak ada siapa pun di toilet.
Merasa takut, dia memejamkan mata dan melafalkan, "Bapa Kami yang ada di surga..." sebanyak tiga kali. Ketika kembali membuka kedua matanya, wajah kuntilanak tepat berada di hadapannya, mengucapkan kalimat yang sama dan mengikutinya berdoa.
Cerita itu begitu membekas sampai otak saya punya visualisasinya sendiri. Malam setelah mendengar cerita itu, saya enggak berani menutup mata saat berdoa sebelum tidur. Takut, kalau kejadian serupa juga terjadi pada saya. Kalau doa saja enggak mempan bikin “mereka” pergi, ke mana saya harus cari pertolongan?
Cerita itu sempat terlintas di pikiran saya, saat berdoa dalam hati dan membuat tanda salib, sebelum masuk ke Gedung CC PKI. Gimana ya, kalau ada sosok yang bisikin balik doa itu di telinga? Tentu saya akan ngibrit. Oh, ya! Malam itu saya bawa rosario. Tentu saja, buat jaga-jaga.
Kurang lebih pukul 9.15 malam, berbekal iman dan keberanian seperempat sendok Nyam Nyam, kami berdelapan melangkah melewati jalan setapak, dengan tanaman liar dan semak belukar di sekitarnya.
Baca Juga: 'Pengabdi Setan': Simbol Kekerasan terhadap Perempuan
POV: Adam
Malam itu saya datang paling terakhir. Lima orang kawan perempuan saya sedang menunggu kunci gedung berhantu yang tak lama lagi kami jelajahi. Wajah mereka semua bertekuk. Atmosfer lobi hotel tempat mereka menunggu suram, ditambah lampu penerangan yang kekuningan temaram.
“Udah pada makan, kan?” kata saya, memecah keheningan mereka.
Semua jawab sudah, tapi lemas. Susah untuk tidak merasakan ketakutan yang keluar dari tubuh mereka. Ngomong-ngomong, saya editor yang mereka ajak ikut wisata horor ini.
Sebelum kunci itu datang, sekitar setengah jam kemudian, saya sempat melempar tanya tentang pengalaman horor mereka, sejarah gedung itu, dan kelakar-kelakar yang gagal mendarat. Rencananya sih, supaya suasana lebih cair. Gak tegang-tegang amat, tapi, aura horor yang sudah terbangun susah hilang.
Ketakutan itu makin pecah saat Tim GPC bilang akan membagi tim penjelajah per dua orang. Semua reporter protes, dan akhirnya kami dibagi jadi dua tim: Masing-masing berisi empat orang. Isinya: saya pergi bersama Aurel dan Hani, diikuti Yogi dari GPC. Sementara Taba, Jasmine, dan Jeje pergi bersama Mickey.
Salah seorang dari Tim GPC sempat bilang, “Kalau terlalu rame yang masuk, kita juga enggak akan berasa apa-apa. Mereka juga males."
Mereka yang dia maksud tentu saja penunggu gedung itu. Tapi, masuk akal juga, pikir saya. Pergi berdua naik ke gedung kosong dengan reputasi suram, menjelajahi enam lantai dengan senter saja bukan cuma bikin ngos-ngosan. Kemungkinan kamu ngibrit karena takut lebih besar dibanding jika berangkat berempat. Perasaan takut itu kan yang dikejar dari wisata-wisata begini?
Saya sebetulnya juga bukan orang yang pemberani amat. Cuma enggak percaya setan. Saya lebih takut dipatuk ular, atau dikagetin langit-langit yang tiba-tiba roboh. Maklum, anaknya kagetan. Pengalaman masuk rumah hantu di pasar malam sekitar sepuluh tahun lalu berakhir traumatis, bukan karena hantu jadi-jadian yang seram. Lebih karena sebal dijedar-jedor di tiap belokan dan sudut rumah hantu itu.
Di ekspedisi Gedung PKI ini, saya merasa lebih bersemangat ketimbang takut.
Namun, jujur. Gedung itu betul-betul seram. Kecuali jalan setapak yang menghubungkannya ke teras utama, halaman gedung yang telah dipagari itu diisi semak-belukar tinggi. Terasnya juga tak keruan. Ada lemari setinggi dada orang dewasa di depan pintu utama, dengan kaca yang buram. Langit-langitnya juga bolong-bolong, cocok jadi tempat makhluk bermuka Gollum lengkap dengan desisannya, muncul tiba-tiba.
Saya tersenyum saat pikiran itu muncul. Sialan, I should’ve been thinking before saying yess to this.
Baca Juga: Film Horor Feminis 'RONG' Ingin Hantu Perempuan Menang
POV: Aurel
Kami menaiki beberapa anak tangga, sebelum berhenti di depan pintu utama yang dihalangi lemari kayu berkaca. Sambil menunggu pintu dibuka, Tim GPC memberikan briefing singkat.
“Kalau ada yang mendengar atau melihat sesuatu, bilang ya. Jangan dipendam sendiri,” kata Mickey, ketua komunitas itu.
Wejangannya bikin jantung saya makin berdebar. Menurutnya, diam justru bisa menyebabkan sakit, karena bebannya ditanggung sendirian.
“Lihat persentase baterai HP juga, Kalau tiba-tiba mati enggak usah panik,” imbuhnya. Menurut Mickey, energi makhluk astral bisa menyerap baterai.
Malam itu, kami dibagi jadi dua tim. Masing-masing seorang anggota GPC akan memandu tiga orang dari Magdalene dan berjalan terpisah. Disambut hawa sejuk, kami memasuki gedung berlantai enam dengan penerangan seadanya—dua senter dan flashlight ponsel.
Isi bangunan itu mirip betul dengan gedung kosong dalam The Medium (2021), lokasi ritual untuk membersihkan arwah jahat dari tubuh Mink (Narilya Gulmongkolpech). Ada tumpukan rongsongkan, besi berkarat, dan paku-paku yang tertancap di potongan kayu bekas kursi, lemari, dan entah apalagi. Beberapa dinding ditempeli tanaman parasit yang batangnya besar-besar, tanda mereka telah tumbuh lama di sana. Beberapa bagian dinding lainnya dicoreti pilox.
Setiap lantai punya luas yang kurang lebih sama. Gedungnya sendiri berbentuk seperti huruf L. Di lantai satu, kesan mewah berasa karena ukiran langit-langitnya. Ada bekas lampu gantung besar menempel di sana.
Kami, tim dua, berjalan belakangan. Saat kami masih di lantai satu, tim pertama sudah di lantai berikutnya. Kami menghampiri kamar mandi, bekas lift, dan ruang tengah, sebelum menuju rubanah yang terletak di sisi kiri ruangan.
Yogi memimpin jalan, saya dan Hani di tengah, sementara Adam di belakang. Saat Yogi berjalan ke pintu rubanah, saya sebetulnya tak mau mengikuti, tapi apa bisa? Saya cuma punya pilihan memberanikan diri. Satu per satu anak tangga dituruni, sambil berharap enggak ada sepasang mata mengintip di celah tangga.
Suasana rubanah terasa singup dan lembab. Kami cuma turun sampai anak tangga di tengah-tengah. Yogi berhenti lalu menyenteri sudut-sudut rubanah itu. Kotor dan bau. Lantainya dipenuhi barang-barang berserakan, yang anehnya terlihat kehijau-hijauan. “Airnya seberapa dalam ya?” kata Yogi.
“Ha? Air?” tanya saya.
“Iya, itu genangan air,” sahut Yogi lagi, seraya mengambil batu di anak tangga lalu melemparkannya ke dasar rubanah. “Plup!” riakan air itu seperti suara yang terpendam. Tingginya mungkin lebih dari 30cm. Beberapa adegan rubanah di film-film horor Hollywood langsung melintas di kepala saya. Adegan-adegan yang bikin jantung sesak, claustrophobic.
Suhu ruang seketika menurun ketika kami kembali ke lantai dasar. Kami berhenti sejenak. Pandangan saya menyapu ke sekeliling, sambil merasakan kaki dan beban tubuh yang tiba-tiba lebih ringan.
Paling efek senewen aja, pikir saya, berusaha mengabaikan.
Perjalanan dilanjutkan ke lantai berikutnya. Tumpukan rongsongkan lebih sedikit di lantai ini, tapi suasananya masih horor. Ada banyak sampah bekas botol minum kemasan yang berserakan. Kami juga menemukan kotak makanan Jepang cepat saji dalam satu kantong plastik hitam. “Mungkin ini sering jadi tempat nongkrong,” kata Adam. Sepertinya dia yang paling skeptis pada hantu.
Rasa takut yang awalnya menyelimuti pun lama-lama berkurang. Tubuh saya rileks, sehingga lebih menikmati eksplorasi malam itu, tapi imajinasi saya mulai kembali bermain saat melihat furnitur berantakan di lantai itu. Saya sempat membayangkan sosok perempuan duduk di kursi rongsok, menantikan kedatangan kami.
Namun, pikiran itu segera teralihkan ketika sebuah peta dunia di salah satu sisi tembok mencuri perhatian. Uniknya, terdapat beberapa pinpoint tersebar di beberapa titik, dilengkapi tali dan potongan koran, seolah ada yang menginvestigasi seluruh titik tersebut.
“Pocong satu, pocong dua. Kita nemu map nih di lantai dua,” ujar Yogi menggunakan handy talky.
Bersambung ke Bagian II…
Ini adalah liputan eksperimen Magdalene yang tayang tiap dua minggu sekali. Tulisan eksperimen kali ini dipecah dalam dua bagian. Baca artikel soal uji nyali bagian 2 di sini.
Reporter: Aurelia Garcia, Tabayyun Pasinringi, Jasmine Floretta, Jeje Bahri, Siti Parhani, Aulia Adam
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments