Enam belas tahun lalu, saat usia saya baru menginjak empat tahun, cuping telinga saya ditindik secara paksa oleh orang tua. Saya ingat betul kejadian hari itu, saya bersama ketiga kakak (yang juga adalah perempuan) bergiliran untuk dilubangi cuping telinganya.
Saya bertanya, “Kenapa, Pa? Buat apa? Kan sakit.”
Sayangnya, Papa tidak memberikan penjelasan yang saya inginkan dan hanya bilang, “Loren kan perempuan, jadi harus pakai anting biar cantik.”
Tidak puas dengan jawaban itu, saya kukuh menolak. Saya dengan jelas bilang tidak mau ditindik. Namun kalian bisa tebak, saya dibentak, dimarahi, dan dipukul agar jadi penurut. Alhasil saya cuma bisa menangis. Rasa sedih, sakit, dan tidak terima bercampur jadi satu. Sedih karena diamuk, sakit karena telinga berakhir bolong, tidak terima karena kepemilikan atas tubuh saya dilanggar.
Saya baru bisa mengejawantahkan perasaan-perasaan tersebut ketika menginjak usia dewasa atau belasan tahun setelahnya. Saya merasa telah dibuat cacat. Saya sama sekali tidak menghendaki tindakan pemaksaan terhadap tubuh saya, yang kemudian membuat saya benci memakai anting. Anting emas yang dipakaikan selalu saya sembunyikan di bawah ranjang, dan ketika ditanya kenapa antingnya tidak dipakai, saya bilang hilang. Saat itu, medio 2005, harga emas tak terlalu tinggi, sehingga Papa enggak marah-marah amat. Lagipula anak balita tak tahu nilai suatu barang bukan? Setelah kabar “kehilangan” emas untuk kali ketiga atau empat, Papa mulai malas untuk memberi saya anting lagi.
Baca Juga: Kebiri Kimiawi Bukan Cara Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual
Pentingnya Consent atas Tindik Kuping Anak Perempuan
Pada 2015, Inggris dihebohkan dengan petisi yang diunggah oleh Susan Ingram di situs web kampanye 38 degrees. Petisi itu mengatakan, tindikan telinga adalah bentuk kekejaman terhadap anak, rasa sakit parah, dan ketakutan yang tidak perlu.
Ingram mendesak Menteri Anak Inggris kala itu, Edward Timpson MP, untuk menetapkan tindikan telinga terhadap bayi dan balita sebagai tindak ilegal. Dia harus menetapkan hukum tentang persyaratan usia minimum tindikan telinga, kata Ingram untuk petisi tersebut, tulis The Independent. Ingram menilai, tindik telinga tak punya tujuan berfaedah kecuali memenuhi keangkuhan orang tua. Ia juga menilai, tindakan itu sebagai bentuk pencederaan fisik yang merugikan.
American Academy of Pediatrics (AAP) menghimbau, sebaiknya tindik telinga dilakukan ketika seorang anak sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Bila harus berpatok pada angka usia tertentu, sebenarnya saat ini belum ada hukum di Indonesia yang mengatur mengenai tindik telinga.
Baca Juga: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, Orang Tua Perlu Kontrol Diri
Maraknya tindakan tindik telinga bagi bayi dan anak perempuan dalam banyak kasus dapat memicu dampak buruk. Misalnya, infeksi bakteri pada luka, reaksi alergi, hingga tertular penyakit dari jarum yang tidak steril.
Kasus ini sebelas dua belas dengan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Pada masyarakat tertentu, ada anggapan perempuan yang disunat bakal lebih cantik karena labianya dijahit rapat-rapat. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sunat perempuan adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Sunat perempuan tidak memiliki dampak positif apapun terhadap kesehatan dan bahkan dapat menyebabkan infeksi, gangguan kencing, hingga komplikasi ketika melahirkan.
Bila berbicara mengenai rasa sakit, memang sebenarnya rasa sakit yang disebabkan oleh tindik telinga ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan FGM. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan kepada tubuh seseorang tanpa adanya persetujuan si empunya tubuh, tetap tidak dapat dibenarkan. Apalagi, bekas tindik itu permanen, tidak dapat dihilangkan atau dihapus.
Baca Juga: Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, Orang Tua Perlu Kontrol Diri
Solusi dari permasalahan mengenai tindik telinga ini adalah dengan menunggu hingga perempuan tersebut sudah cukup dewasa untuk memilih akan melakukan tindik atau tidak. Pasalnya, tindik telinga bagi perempuan merupakan salah satu bentuk budaya patriarki yang sering tidak kita sadari saking lumrahnya, yaitu pengontrolan terhadap tubuh perempuan.
Akhirnya, secara langsung maupun tidak, selalu ada narasi-narasi yang mengatakan kepada perempuan bahwa kami tidak cukup cantik. Perempuan selalu dituntut untuk mencapai standar tertentu, harus begini dan begitu, sehingga cukup dikatakan cantik. Semua standar ini celakanya diciptakan oleh laki-laki, dan laki-laki pula yang mengambil keuntungan darinya. Kalau di negeri +62, kudu punya kulit putih mulus, body bak gitar Spanyol, dan masih banyak lagi. Padahal, mau seperti apapun, perempuan tetap dan akan selalu cantik. Period.
Comments