Rika, 31, seorang pekerja lepas, mengalami pelecehan seksual dari pengendara taksi daring di Bali tahun lalu, dalam perjalanan dari bandar udara Ngurah Rai ke Ubud.
“Setiap naik taksi, aku selalu duduk di depan untuk menunjukkan sikap sopan. Awalnya dia biasa saja, mengajak ngobrol, lalu bertanya soal suami dan mulai membicarakan seks. Lalu dia bilang, ‘Bukannya kalau suami bule itu suka tukar pasangan dan seks rame-rame?’,” ujarnya kepada Magdalene lewat pesan WhatsApp, Jumat (25/4).
Rika berusaha berulang kali mengubah topik pembicaraan, tetapi sang pengemudi selalu kembali membicarakan topik yang sama. Akhirnya ia memiliki keberanian untuk menegurnya.
“Saat itu sudah larut malam, dan suasana di jalan sangat sepi dan sudah larut malam. Aku enggak mungkin minta berhenti di tengah jalan. Akhirnya, meskipun agak takut, aku bilang bahwa aku enggak nyaman dengan obrolan seperti itu. Awalnya, dia tetap berusaha ngomongin seks. Setelah aku berkata lebih tegas, barulah dia diam,” ujarnya.
Kasus pelecehan seksual oleh pengendara taksi daring beberapa kali muncul ke publik akhir-akhir ini. Pada Oktober 2018, kisah seorang perempuan yang dicium oleh pengendara GrabCar dalam perjalanan dari daerah Manggarai, Jakarta Selatan ke Mal Central Park di Jakarta Barat menjadi viral setelah teman korban menuliskannya di media sosial. Lima bulan sebelumnya, AN, seorang mahasiswi di Palembang, menjadi korban perampokan dan pelecehan seksual yang juga dilakukan oleh sopir GrabCar.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2019 menunjukkan bahwa lembaga negara ini menerima dua pengaduan laporan kekerasan seksual yang terjadi di transportasi daring.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan, kemunculan transportasi berbasis aplikasi semakin memperbesar peluang perempuan menjadi korban kejahatan.
“Teknologi berkembang pesat, transportasi online memudahkan perempuan. Namun kemajuan ini menimbulkan bentuk kekerasan baru. Terjadinya kekerasan tidak hanya ketika layanan aplikasi digunakan, tetapi juga setelahnya, seperti penyalahgunaan kontak dan identitas korban,” katanya dalam diskusi “Mewujudkan Transportasi Online yang Aman dari Kekerasan Terhadap Perempuan” di Jakarta (24/4).
Mariam Fatima Barata, Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengatakan, penyedia aplikasi harus bertanggung jawab terhadap keamanan data-data pelanggan.
“Jangan sampai pengemudi mengumpulkan data tersebut sehingga bisa kemudian dipergunakan untuk hal-hal lainnya. Inilah yang kemudian yang menjadi tanggung jawab dari perusahaan aplikasi, karena bisa saja data itu dipakai untuk kegiatan lain seperti penipuan,” ujarnya.
Usaha Grab Untuk Melindungi Keselamatan Perempuan
Sementara itu, survei yang dilakukan Grab menunjukkan bahwa meskipun ada kekhawatiran mengenai potensi terjadinya kekerasan, transportasi daring masih menjadi angkutan umum yang paling banyak dipilih oleh perempuan.
Ridzki Kramadibrata, Presiden PT Solusi Transportasi Indonesia (penyedia aplikasi dengan merek dagang Grab Indonesia) mengatakan, perusahaannya telah mengembangkan berbagai teknologi untuk mencegah potensi kekerasan.
“Salah satu fitur yang telah kami luncurkan adalah share my ride. Setelah memilih ikon ‘share’, keberadaan penumpang akan diketahui dan bisa dilacak. Nama pengemudi juga akan diketahui. Kami juga sudah meluncurkan tombol darurat yang dapat digunakan penumpang dan pengemudi. Emergency button untuk pengemudi sudah kami luncurkan beberapa bulan yang lalu, dan untuk penumpang, sudah cukup lama,” katanya.
Selain melengkapi aplikasi dengan tombol darurat, Grab juga memasang CCTV di dalam mobil. Dian Pramesti, pengemudi yang menjadi korban pelecehan verbal dan fisik, terbantu dengan adanya kedua fitur tersebut.
“Ada dua laki-laki di dalam mobil saya. Satu duduk di depan, satu lagi di belakang. Sejak awal, mereka sudah berbicara yang ‘menjurus’. Saya sempat tekan panic button dan mengadu bahwa ada penumpang yang rese. Lalu, penumpang yang duduk di belakang mulai memegang leher saya. Akhirnya saya marah dan menghubungi koordinator saya,” ujarnya.
“Voice notenya saya perdengarkan kepada penumpang. Dia bilang bahwa driver hanya mengantarkan customer sampai tempat tujuan, tetapi kalau tidak sopan, kami berhak menurunkan penumpang. Akhirnya mereka keluar dengan marah-marah dan membanting pintu,” katanya.
Fitur lain yang juga penting adalah ketiadaan nomor telepon pada kolom chat antara pengemudi dan penumpang. Penumpang dapat melakukan panggilan telepon, tetapi nomornya disamarkan sehingga pengemudi tak dapat menyimpannya.
Hal penting lainnya yang dilakukan Grab adalah memberikan edukasi mengenai perspektif gender kepada pengemudi.
“Kami menghadapi masalah budaya karena orang-orang belum banyak yang teredukasi. Misalnya, ketika penumpangnya tidur, apa yang harus dilakukan oleh driver? Jelas tidak boleh mencolek. Apakah yang dilakukan untuk memperbaiki perpektif gender ini? Kami melakukan classroom training dan mandatory online training,” kata Ridzki.
Minimnya ruang pelayanan khusus perempuan dan anak di kantor polisi
Perempuan korban kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual di transportasi daring sebetulnya dapat melaporkan kasusnya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kantor polisi. Namun, menurut Penyidik Unit PPA Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Polisi Sri Bhayakari, tidak semua kantor polisi memiliki unit PPA.
“Unit PPA hanya ada di Mabes Polri, Polda dan Polres. Untuk Polsek belum ada. Pada tahun 2014, kami mendidik 7.000 polisi wanita untuk memperkuat pelayanan perempuan dan anak hingga setiap Polsek. Harapan kami, setiap polsek ada lima polwan sehingga apabila ada yang melapor, maka langsung ditangani,” ujarnya.
“Kemudian, pada tahun 2015, dididik lagi 2100 polwan. Namun, faktanya belum semuanya ditempatkan di PPA. Hanya Polda Lampung yang menempatkan polwan-polwan hingga ke Polsek. Untuk Polda lainnya belum semua,” jelasnya.
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 3 Tahun 2008 dan Perkap Nomor 10 Tahun 2007 telah memandatkan bahwa setiap unit PPA harus memiliki ruang pelayanan khusus (RPK). Disebut “ruang pelayanan khusus” karena idealnya, tempat ini harus memiliki ruang pemeriksaan, kontrol, konseling, dan ruang istirahat.
Sri mengatakan, keterbatasan anggaran dan ruangan adalah penyebab tak semua kantor polisi memiliki RPK yang ideal.
“Tidak setiap unit PPA memiliki RPK. Di Jakarta, hampir semua Polres mempunyai RPK. Namun karena keterbatasan anggaran dan ruang, tidak semuanya mempunyai RPK yang representatif, misalnya, dilengkapi dengan ruang istirahat dan ruang kontrol. Sementara ini hanya Polda Metro Jaya dan Mabes Polri saja (yang memiliki RPK yang representatif),” ujarnya.
Baca bagaimana KDRT menimbulkan trauma panjang bagi penyintas.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments