Kematian Mira, transgender perempuan atau transpuan yang dibakar preman setelah dituduh mencuri, menyisakan ketakutan mendalam bagi transpuan di berbagai daerah.
Mira, 43, yang tinggal di Cilincing, Jakarta Utara dituduh mencuri oleh seorang sopir truk. Tak menemukan bukti setelah menggeledah kamar kos Mira, sopir tersebut dan lima temannya pada 14 April 2020 menyeret Mira ke pangkalan kontainer,Cilincing. Perempuan itu dipukuli hingga babak belur, sebelum disiram bensin dan dibakar. Meski sempat berjalan dari tempat kejadian ke rumahnya, Mira tutup usia setelah sempat dibawa ke rumah sakit dengan luka bakar hampir 90 persen.
Khanza Vina, ketua komunitas transpuan Swara mengatakan, banyak transpuan yang mengaku ketakutan akan keamanan diri mereka setelah membaca pemberitaan soal Mira. Mereka menjadi lebih waspada karena takut akan menjadi bulan-bulanan pelampiasan dan tuduhan, ujarnya kepada Magdalene.
Hendrika Mayora Victoria, ketua komunitas transpuan Fajar Sikka di Maumere, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, ketakutan akan bernasib sama seperti Mira turut dirasakan di daerahnya.
“Ya kita di sini juga mulai waspada ya pas baca berita kasusnya Mira. Kita di sini ikut sedih dan mengecam,” ujar Hendrika dalam sebuah webinar yang diadakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) (13/4).
Menurut Kevin Halim, aktivis dan peneliti kasus pembunuhan transgender dari Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) adanya penilaian lebih rendah terhadap transgender dan stigma yang masih melekat kepada mereka yang terus-terusan dilanggengkan, membuat nyawa transgender dianggap lebih tidak berharga daripada orang lain. Sehingga permasalahan yang harusnya bisa diselesaikan baik-baik malah berujung pada kehilangan nyawa, ujarnya.
Baca juga: Pembunuhan Atas Transgender Mencemaskan dan Harus Diusut: Aktivis
Berdasarkan data GWL-INA, ada sekitar 24 kasus pembunuhan transgender dalam kurun waktu 2014-2019. Tahun lalu, seiring dengan meningkatnya transfobia, kasus pembunuhan meningkat sampai enam kasus dalam setahun.
“Apalagi ini situasi lagi serba krisis gini, semua orang tertekan, stres, jadinya sedikit konflik bayarannya nyawa. Apalagi transgender yang dari dulu ditolak dan dihina orang,” ujar Kevin.
Pandemi virus corona (COVID-19) dan krisis ekonomi yang menyertainya memang membuat ketakutan akan keamanan diri transgender menjadi berlipat. Tak hanya takut menjadi korban kekerasan atau bahkan pembunuhan, para transpuan ini juga dilanda ketakutan kelaparan karena kehilangan pekerjaan dan tidak adanya tempat perlindungan.
Akibat keterbatasan lapangan pekerjaan, banyak dari para transpuan memenuhi kebutuhan hidup sebagai pekerja seks, pekerja salon, pengamen dan tukang masak. Namun karena pandemi serta pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mereka kehilangan pemasukan dan kini hanya mengandalkan bantuan dari komunitas, lembaga swadaya masyarakat, atau donasi-donasi lainnya.
“Kita dari komunitas bisa bantu berupa makanan sembako, paling cuman cukup nutup buat sebulan. Belum lagi mereka harus bayar uang sewa indekos,” ujar Khanza.
Absennya sensitivitas gender polisi dan media
Kematian Mira megundang amarah publik, para pelaku penganiayaan dan pembakaran pun dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Cilincing. Tiga dari enam pelaku pembakaran berhasil ditangkap, dan kini kasusnya ditangani oleh SWARA, LSM Arus Pelangi, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Forum Bantuan Hukum untuk Kesetaraan. Namun alih-alih menjerat para pelaku dengan pasal pembunuhan atas kematian Mira, pihak kepolisian justru hanya mendakwa mereka dengan pasal pengeroyokan yang mengakibatkan kematian (Pasal 170 ayat 2 ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) dengan maksimal hukuman 12 tahun penjara.
Baca juga: Transpuan Lawan Patriarki Bersama Swara
Dalam keterangan persnya (8/3) Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Budhi Herdi Susianto mengatakan, pasal pembunuhan tidak diberlakukan karena para pelaku tidak berniat membunuh Mira. Mereka menyiram bensin untuk menggertak agar Mira mengaku. Selain itu, menurut Budhi, ada upaya para pelaku memadamkan api, sehingga Mira tidak langsung meninggal saat tubuhnya masih terbakar.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional mengakatan jika pernyataan Kombes Budhi termasuk ke dalam politik demonstrasi yaitu usaha sejumlah pemimpin populis yang mengeluarkan retorika tertentu yang menyudutan kelompok minoritas seperti transgender. Menurutnya, adanya niatan pelaku untuk dengan sengaja menyiramkan bensin ke tubuh Mira merupakan bentuk dari rencana pembunuhan.
“Penting untuk mengingatkan kepolisian agar memiliki sensitivitas gender dalam penanganan kasus Mira, untuk menghindari bias opini atau asumsi apalagi ini di media yang nantinya bisa lebih membahayakan kelompok minoritas lainnya,” ujar Usman dalam diskusi daring dengan SEJUK.
Selain polisi, sensitivitas gender ini juga hilang dalam pemberitaan media, yang membuat Khanza dan tim advokasi Mira sejak awal enggan secara terbuka membeberkan kasus ini kepada media arus utama.
“Saya berkaca ke kasus-kasus pembunuhan transgender lainnya yang kebanyakan beritanya negatif, padahal isi berita itu sangat berpengaruh ke kehidupan tansgender seperti saya,” ujar Khanza.
Usman Kansong, Direktur Pemberitaan Media Indonesia mengatakan, hanya ada dua-tiga media daring yang memasukkan kesaksian kawan Mira. Selebihnya, sebagian besar media hanya menonjolkan sensasi untuk mengejar clikcbait, ujarnya.
“Media yang mengangkat angle transpuan dengan sensitivitas gender sangat sedikit bahkan bisa dihitung dengan jari,” kata Usman.
Sebagai redaktur di salah satu media nasional, Usman merasakan betul pergolakan internal dalam pemberitaan mengenai LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Queer). Berita-berita seperti kasus Mira ini umumnya hanya dijadikan sebagai tambahan tulisan untuk memenuhi target berita daring saja. Sementara di media cetak, terlihat keengganan para redaktur untuk meliput, tambahnya.
Baca juga: KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan
Menurut pengamatan Hendrika, media daerah justru lebih ramah dalam pemberitaan terhadap komunitas marginal seperti dirinya ketimbang media nasional. Selama ini, berbagai pencapaian yang ia lakukan bersama komunitas Fajar Sikka diberitakan dengan penyampaian yang baik tanpa memandang dirinya yang transpuan.
“Kalau di Maumere, kita hidup berdampingan, pemberitaan hanya melihat apa yang sudah saya lakukan untuk masyarakat bukan jenis kelamin saya,” ujar Hedrika, yang merupakan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Rebecca Nyuei, aktivis SWARA yang meneliti tentang media dan transgender mengatakan, ada beberapa faktor mengapa media hanya mengejar sensasi dalam pemberitaan mengenai transgender. Pertama, dukungan bagi LGBT terutama transgender di Indonesia masih belum banyak, sehingga tidak menjadi target pasar media arus utama.
Kedua, banyaknya silent majority atau publik yang hanya diam saat isu kekerasan terhadap transgender terjadi. Mereka adalah pihak mengaku tidak membenci tapi juga enggan untuk secara terbuka mendukung. Ketiga, efektivitas kata yang disampaikan media belum benar-benar tersampaikan. Keempat, perspektif bisnis/pasar selalu menjadi acuan pemberitaan ketimbang perpektif kemanusiaan atau gender.
“Isu LGBT ini kan belum diterima masyarakat ya, terus kalau pemberitaannya positif nanti disangkanya media itu mendungkung LGBT, terus enggak dapet iklan,” ujar Rebecca.
Usman Kansong mengatakan, pemberitaan soal komunitas marginal seperti LGBT memang masih problematik dan menjadi pekerjaan rumah yang panjang.
“Masih kalahnya perspektif kemanusiaan dibanding perspektif bisnis/pasar menjadikan potensi ketakutan yang sama akan terus dirasakan para transpuan dan pihak terpinggirkan lainnya. Memang ini jadi PR kita semua,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments