Belakangan, TikTok sedang ramai dengan tren cewek kue, mamba, dan Bumi. Penyebutan tersebut mengacu pada pengategorian gaya fesyen perempuan berdasarkan warna atau pilihan baju mereka. Tren cewek kue, mamba, dan Bumi sudah diikuti sejumlah orang di TikTok, termasuk influencer Indonesia, Rachel Vennya, Ivan Gunawan, hingga @mmivia.
Tren itu mulanya dipopulerkan TikToker @javamassie alias Javanno, barista yang punya pengikut 5.970 orang. Menurutnya, cewek kue adalah mereka yang gemar mengenakan pakaian berwarna cerah, tas tangan kecil, dan flat shoes, lalu berkunjung ke lokasi galeri seni, cafe yang menjual makanan colorfull, atau tempat-tempat instagramable.
Sementara, cewek mamba adalah mereka yang sehari-hari nyaman berpakaian sederhana, seperti kemeja hitam atau nuansa gelap. Tak lupa aksesori hitam tas atau kacamata yang bisa dipadukan dengan sepatu boots. Terakhir, cewek Bumi adalah perempuan yang mengenakan busana feminin dengan tone warna “aman” — yang mudah dipadupadankan, termasuk krem, warna pastel, dan hijau.
Sebenarnya, selain tiga tren fesyen di atas, ada julukan lain untuk perempuan, yakni cewek “minmal” — kependekan dari minimalis, untuk perempuan yang berbusana dengan nuansa teduh dan sejuk, yang diibaratkan seperti open space. Mereka gandrung pada warna monochrome, dan memilih cardigan, jeans, sandal mahal, tote bag, kemudian foto sana-sini di tempat estetik dan minimalis.
Pertanyaannya, seberapa perlu gaya berpakaian perempuan harus dikelompokkan sedemikian rupa? Jika saya tak masuk dalam kategori cewek kue, mamba, Bumi, atau minmal, saya harus bagaimana? Magdalene merangkum beberapa catatan penting dari tren ini.
Baca juga: Raise The Bar: Hapus Stereotip Gender
Fesyen Perempuan Tak Lepas dari Stereotip
Jamak kita tahu, gaya berpakaian adalah salah satu cara manusia berekspresi. Kita bisa memilih potongan baju apa yang ingin dikenakan, gaya rambut tertentu, sepatu, dan tas yang paling menggambarkan personifikasi diri. Lalu dengan bebas menjadi apa yang kita mau tanpa harus “dikotak-kotakkan”.
Sementara, klasifikasi cewek kue, mamba, dan Bumi justru kontraproduktif dengan gagasan di atas. Maksudnya, fesyen yang mulanya dimaksudkan sebagai alat berekspresi paling jujur, malah diboncengi stereotip yang tak perlu. Pada akhirnya, kita menuruti pengotak-kotakan ini dan menginternalisasi stereotip sebagai sebuah kebenaran.
Misal, jika saya senang pakai baju berwarna, maka saya adalah orang yang cenderung ekstrover (cewek kue). Sementara, jika saya suka pakaian hitam, sudah barang tentu, saya adalah perempuan paling misterius (cewek mamba). Padahal bisa saja, karakter perempuan pemakai baju-baju itu sangat bertolak belakang dengan stereotip yang dipatok.
Contoh lain, Jamie Lower dalam tulisannya, Style Speaks: Clothing Judgments, Gender Stereotypes, and Expectancy Violations of Professional Women (2018) menyebutkan, perempuan dengan pakaian feminin dianggap kurang dalam sisi dominasi dan kecakapan. Sebaliknya, mereka yang berpakaian maskulin lebih rendah dalam aspek kebaikan dan keramahan.
Ini adalah stereotip yang menurut saya tak perlu 100 persen kita amini. Seperti pepatah yang dipopulerkan di novel Murder in the Glass Room, “Don't judge a book by its cover”, maka kita tak perlu menyederhanakan kompleksitas karakter orang dari cara berpakaiannya.
Sebab, fesyen hanya “bagian luar” dan tak sepenuhnya menampilkan karakter seseorang. Dalam hal ini, bukan pakaian yang menentukan karakter, tetapi pemakainya yang menciptakan persona diri lewat berbusana.
Terkait ini, artikel bertajuk You Are What You Wear yang diunggah The New York Times menyebutkan, fesyen tidak lagi membuat seseorang, tetapi pemakainya yang memperkenalkan diri lewat pakaian yang dikenakan.
“Kita menciptakan citra, memperkenalkan diri, melalui pakaian yang kita kenakan dan cara kita memakainya.”
Lepas dari itu, tren busana memang dipengaruhi media sosial, terutama sejak banyak influencer malang melintang di platform umum itu. Di sisi lain, tiap orang memiliki kebebasan memilih bagaimana berbusana. Karena itulah pertanyaannya, apa masih penting mengikuti tren?
Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan
Pentingkah Ikuti Tren?
Menurut Justine De Young, profesor seni dan sejarah mode di Fashion Institute of Technology di Manhattan, tak ada yang benar-benar bisa memprediksi tren berbusana, baik konsumen maupun desainer. Media sosial lah yang pegang andil besar dalam “menciptakan” tren. Melansir dari Independent.co.uk, jika dulu tren gaya busana dipengaruhi acara fashion week tiap musim, kini tren bergeser cepat, nyaris setiap minggu muncul.
Dunia mode kini perlahan merangkul inklusivitas dan keragaman, contohnya genderless fashion yang sempat viral saat Harry Styles mengenakan dress. Pemahaman bahwa tidak semua orang terlihat sama, membuat orang-orang sepakat, pakaian memang tak bisa dibatasi.
Memilih gaya busana sendiri sudah tidak diperlukan pembatas atau pelabelan. Karena itu, fesyen tidak bisa menjadi sasaran stereotip. Bebasnya pilihan berbusana dan cepatnya putaran tren fesyen tidak dapat dikotak-kotakkan lagi.
Perempuan bisa menjadi cewek kue, mamba, dan Bumi, sesuai dengan keinginan dan cara unjuk diri. Perempuan bebas pula menjadi cewek seblak, kue jajanan pasar, pasar malam, atau apapun itu. Namun yang paling mudah tentu saja, perempuan lebih mudah menjadi apa saja, berbusana apa saja tanpa perlu repot memikirkan label atau kategori tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya.
Comments