Kalimat itu seakan menjadi mantra bagiku dalam menjalani tantangan hidup. Kepercayaan terhadap mantra itu semakin mantap justru setelah tsunami, bencana maha dasyat yang menghancurkan kampung halamanku pada 26 desember 2014.
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak bencana yang membawa pergi lebih dari sepuluh anggota keluargaku yang aku cintai. Aku persembahkan tulisan ini untuk Bang Munir, sepupuku yang dibawa air bandang tsunami bersama istri dan anak-anaknya. Bang Munir adalah inspirasiku waktu kecil, sosok pemimpin muda di kampungku, yang selalu tampil terdepan dalam menyikapi berbagai peristiwa di masyarakat.
Beliau tidak diam menjadi pengamat dan hanya mampu mengkritik, tapi berbuat dan bertindak walaupun itu kecil. Nada suara dan tutur katanya yang enak didengar dan mudah dicerna menginspirasiku untuk mengikuti jejaknya untuk menjadi terdepan dalam melakukan sesuatu dan tidak tinggal diam dalam saja.
Selasa tanggal 28 Desember 2004, dengan susah payah aku berhasil sampai di Desa Kajhu, Kabupaten Aceh Besar, di sebuah kompleks perumahan tempat Bang Munir, motivatorku dalam setiap mengikuti perlombaanku waktu kecil, tinggal bersama keluarganya.
Setibanya di lokasi tersebut, aku hanya melihat hamparan tanah puluhan kilometer berisi puing-puing reruntuhan tsunami. Jangankan mencari rumah beliau, batasan antar desa saja sudah tidak terlihat lagi. Semua bangunan telah diratakan oleh tsunami.
Oh no! lirihku tanpa bisa berucap satu katapun. Air mata, yang tidak pernah berhenti sejak 26 Desember, kembali mengalir. Aku merasa lemas, dan sesaat tidak bisa bernapas. Terasa semuanya gelap. Sangat gelap. Seakan tidak ada asa lagi untuk bangkit.
Aku tidak sanggup lagi berharap bahwa Bang Munir masih hidup, dan bahwa Kampung Kajhu ini dan seluruh Kota Banda Aceh akan hidup lagi. Di depan mataku kumpulan lumpuran hitam menggunung diantara puing-puing tsunami berpuluh-puluh kilometer.
Apa yang harus aku lakukan? Ke mana aku melangkah mencari Bang Munir? Mencari keluarga lain yang belum ketahuan hidup atau mati dibawa tsunami? Bagaimana kalau mereka masih hidup namun tidak ada makan dan minum, tidak ada tempat untuk bisa tidur, tidak ada baju menghangat badannya? Seribu satu macam pertanyaan lain muncul di benakku ketika itu.
Tapi aku tidak boleh ikut hancur seperti kampung halamanku karena tsunami itu. Itulah hidup, kita tidak pernah tahu apa yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini, sebuah bencana seperti tsunami ini. Lalu, aku teringat mantraku dalam menjalani setiap tantangan berat dalam hidupku ‘ I cant do everything but certainly can do something’.
Mantra itu menguatkanku. Hidup harus terus berjalan dan tidak boleh berhenti di sini, di Desa Kajhu yang telah lenyap oleh air bah tsunami. Aku harus mengambil langkah untuk bergerak dari sini, bukan tenggelam dalam air mata yang sudah tidak bisa keluar lagi.
Langkah pertama yang kulakukan adalah meninggalkan Kajhu untuk melakukan sesuatu, meskipun aku sendiri belum tahu apa yang harus kulakukan. Bahkan aku juga tidak tahu akan menginap di mana malam itu. Tapi mantraku itu menuntunku untuk bersikap. “Do something!’ bisikku sendiri.
Almarhum ayahku pernah berpesan “kamu harus berjiwa besar nak, apapun yang terjadi dalam hidupmu.” Kepergian Bang Munir justru harusnya tidak mematikan semangatku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk meneruskan apa yang dilakukan Bang Munir dan teman-temannya yang aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan. Pasti Ayahku dan Bang Munir, akan bangga dan bahagia melihat aku dapat meneruskan apa diperjuangkannya.
Kembali ke Aceh
Pada 2004, ketika tsunami terjadi, aku aku sudah 14 tahun meninggalkan Aceh untuk kuliah dan akhirnya bekerja dan menetap di Jakarta. Tsunami membawa aku pulang. Aku minta izin dari kantor untuk kembali ke Aceh untuk melihat keluarga, dan kepulangan itu ternyata mengubah seluruh rencana perjalanan karir aku yang sudah aku susun puluhan tahun.
Sejak hari itu aku bertahan hingga sekarang di Aceh, meskipun saat ini aku banyak berbagi waktu antara Aceh dan Jakarta.
Setelah beberapa minggu di Aceh aku memutuskan untuk tetap di Aceh dan melakukan apapun yang bisa aku lakukan untuk berkontribusi dalam pembangunan Aceh kembali. Aku keluar dari tempat kerjaku di Jakarta dan fokus membantu secara pribadi apa yang bisa aku lakukan.
Aku berpikir, setelah merantau sekian lama ini mungkin saatnya menunaikan kewajibanku sebagai orang Aceh untuk berbuat sesuatu. Walaupun relatif kecil tapi kontribusiku ini harus mampu bertahan melampaui usia hidupku di dunia ini. Aku harus meninggalkan sesuatu, sesuatu yang baik, sesuatu yang bermanfaat dari kehadiranku di dunia ini, di Aceh, di tempat aku dilahirkan.
Aku mulai tinggal di lokasi-lokasi pengungsian di sekitar Desa Kajhu. Salah satu pamanku juga kehilangan seluruh harta bendanya dan rumahnya dan juga dua anaknya. Yang tersisa hanya baju yang melekat di badan. Ada sekitar 60 orang lebih tinggal di satu bangunan tak berdinding sebesar 10 x 12 meter persegi. Aku tinggal bersama mereka. Aku membeli mie instan, beras, minyak goreng, pembalut wanita, air mineral untuk kebutuhan sehari-hari.
Waktu berjalan seminggu, uang tunai yang aku bawa makin menipis. Toko, kantor, bank belum ada yang berfungsi. Kami harus mencari bahan-bahan kebutuhan sehari-hari di pengungsian di luar kota Banda Aceh. Syukurlah, teman-teman dari Jakarta juga banyak datang ikut membantu.
Kegiatan aku tinggal di tenda atau tempat pengungsian dan langsung mencari dan memberikan bantuan apa yang dibutuhkan itu, mendapat tanggapan dari teman-teman di luar Aceh khususnya dari Jakarta, bahkan dari Australia dan Amerika. Sebagian mereka ikut datang ke Aceh dan membantu aku ikut tinggal di lokasi pengungsian sehingga kami bisa langsung merespon kebutuhan yang ada.
Pelajaran yang kudapat, bantuan yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang di pengungsian adalah teman untuk tempat bercerita dan pemberi semangat untuk melanjutkan hidupnya. Mereka memerlukan orang yang terus mengingatkan bahwa masih ada hari esok, hidup harus terus bergerak dan kita tidak boleh tenggelam dalam musibah. Dukungan psikologis ini sangat dibutuhkan dalam kondisi pasca bencana, tidak hanya sekedar kebutuhan makan dan minum saja.
Aku juga belajar bahwa yang dibutuhkan adalah kecepatan menyampaikan bantuan walaupun itu kecil. Seberapa besarnya bantuan tidak akan membantu banyak jika korban sudah mati, atau sudah menemukan jalan mereka sendiri.
Pola bantuan langsung ini berhasil membangkitkan semangatku juga teman-teman relawan lainnya yang ikut tinggal di lokasi-lokasi pengungsian. Beberapa anggota keluarga dan kerabatku yang sebelumnya menangis tiap hari kembali dapat tersenyum. Tidak hanya duduk di tenda pengungsian meratapi nasib dan malapetaka tsunami itu, namun mereka kemudian bergerak membantu sesama, apapun itu bentuknya. Kami bergerak tiap hari dari satu lokasi ke lokasi lain.
Di saat yang bersamaan, saudara, kerabat dan teman-teman Aceh tidak hanya diam, tapi sambil mencari anggota keluarga mereka yang hilang, mereka ikut membantu yang lain meringankan beban mereka. Setiap Jumat kami berkumpul, saling berbagi cerita dan saling tukar bantuan di salah satu rumah pengungsian di Banda Aceh.
“Bang, ternyata dengan membantu dan meringankan beban orang lain, beban kita sendiri hilang juga ya,” ujar Musafir, sepupuku yang hilang rumahnya, rukonya dan abang kandungnya sendiri.
“Terima kasih telah mengajak aku terlibat dalam kegiatan membagi sembako ini ya. Aku jadi bisa tidur nyenyak lagi semalam. Selama berminggu-minggu aku pejam mata saja tapi tidak bisa, takut air laut naik lagi.”
Membangun organisasi
Kegiatan bantuan relawan tersebut akhirnya berkembang hari demi hari, dan pada Maret 2005 menjadi sebuah organisasi resmi di tingkat masyarakat yang aku beri nama Forum Bangun Aceh (FBA).
Sebelumnya aku tidak pernah terpikir akan membuat organisasi apapun, apalagi LSM, karena tujuanku saat itu murni untuk membantu keluarga, dan kampung halamanku saja. Namun, seorang teman Irlandia yang dulu pernah bertugas di Indonesia berhasil mengumpulkan donasi yang cukup besar dari tempat kerjanya dan kerabatnya dan dia ingin menyumbangkan langsung ke korban-korban tsunami. Aku menyarankan dia menyumbangkan saja ke organisasi yang sudah mapan dalam hal penanganan bencana dan dibidang kemanusiaan.
Dalam percakapan kami lewat telpon, Mr. O’Driscoll dari Dublin mengatakan dia ingin membantuku dan teman-teman mendistribusikan dana ini langsung ke para korban tsunami. Dia percaya bahwa kami akan bisa lebih cepat mendistribusikan bantuan ini dibandingkan organisasi-organisasi besar.
“Saya pernah bekerja untuk organisasi-organisasi internasional besar dan mereka tidak dapat menanggapi dengan cepat dan saya yakin kamu dapat melakukannya di Aceh. Ini waktu terbaik untukmu berbagi dengan orang-orang di kampung halaman,” ujarnya.
Dia menyarankan untuk mendaftarkan pekerjaan relawan kami di pemerintahan setempat dan membuka rekening bank untuk itu.
"Ini akan membantu setiap orang, para penyintas, kawan-kawanmu dan kamu sendiri. Kamu memerlukan kepercayaan mereka dan kamu punya itu. Tolong lakukan itu untuk kita semua,” tambahnya. Akupun melakukan apa yang diminta.
Sepuluh tahun setelah tsunami, FBA makin berkembang dan saat ini masih melanjutkan pekerjaan kesukarelaan ini dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat, terutama di bidang pendidikan dan pembangunan ekonomi.
FBA telah berhasil mendirikan pusat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan mengelolanya, mendirikan koperasi simpan pinjam, melakukan berbagai pelatihan untuk masyarakat, dan bahkan mengirimkan para guru, siswa dan pemuda di Aceh untuk ikut program pertukaran hingga ke luar negeri.
FBA kini juga menerima relawan tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari mancanegara. FBA menjadi saksi sejarah tsunami dan dibangun dari sebuah keyakinan bahwa perbuatan yang terlihat kecil bisa berdampak besar.
Terima kasih kepada semua pihak, terutama para relawan yang sudah datang langsung ke Aceh membantu kami di saat-saat sulit pasca Tsunami Aceh 2004.
Azwar Hasan adalah pendiri Forum Bangun Aceh (FBA). Dia lahir dan dibesarkan di Aceh. Dia dapat di hubungi di [email protected]
Artikel ini telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul How the Tsunami Brought Me Home to Rebuild It.
Comments