Jika pernah menonton drama Korea (drakor) Reply 1988, kamu tentu hafal bagaimana kisah cinta yang manis antara Sung Deok Sun dan Choi Taek bermula. Sejoli ini sudah lama saling mengenal lantaran tumbuh sebagai tetangga sekaligus sahabat di daerah Ssangmun-dong, Seoul. Sudah pasti mereka tahu sama tahu kejelekan, kebaikan, kekonyolan, dan berbagai hal tentang satu sama lain, dan telah melewati berbagai momen bersama. Inilah yang kemudian mendorong perasaan mereka yang mulanya saling sayang hanya sebagai teman, berkembang menjadi perasaan romantis.
Meski sudah mulai menyukai Deok Sun sejak remaja, Taek tak memacari Deok Sun saat itu. Pasalnya, Taek sempat menyadari bahwa sahabat sekampung mereka yang lain, Kim Jung Hwan, juga menyimpan rasa pada perempuan yang disukainya itu. Barulah ketika mereka sama-sama dewasa, dan setelah Jung Hwan “merelakan” Taek untuk mengejar Deok Sun, pasangan ini mulai berpacaran hingga akhirnya menikah.
Sebagian orang mungkin punya cerita serupa kedua tokoh ini dan mengamini lagu Jason Mraz dan Colbie Caillat, “Lucky I’m in love with my best friend”. Namun, sebagian lainnya masih melakukan pendekatan, macam Jung Hwan dalam drakor tadi, dan lebih memilih memendam perasaannya saja karena berbagai alasan.
Memang, memacari sahabat punya sisi positif dan negatif tersendiri yang kadang membuat orang-orang dilema. Berikut ini kami paparkan beberapa pandangan terkait keuntungan dan risiko yang mesti dihadapi saat seseorang memilih jadian dengan sahabatnya.
Baca juga: Saya Ingin Mencintai Laki-laki sebagai Mitra
Keuntungan Pacaran dengan Sahabat
Dalam The Conversation, profesor Psikologi dari Monmouth University, Gary Lewandowski mengungkapkan sebagian temuan polling terhadap 801 warga AS usia dewasa terkait relasi romantis dengan sahabat. Dari jumlah tersebut, 83 persennya menyatakan, mereka menjalin relasi (dalam pernikahan maupun relasi romantis lainnya) dengan sahabat sendiri. Dan, orang-orang yang berpasangan dengan sahabat sendiri ini ternyata memiliki hubungan lebih memuaskan dibanding mereka yang menganggap orang lain, bukan pasangannya, sebagai sahabat.
Tentu ada alasan tersendiri kenapa sahabat yang jadi pasangan merasa kepuasan lebih dalam relasinya. Kita tentu tak begitu saja menjadikan seseorang sebagai sahabat. Lazimnya, dua orang menjadi sahabat ketika mereka menemukan berbagai persamaan, mulai dari ketertarikan, keinginan atau cita-cita, atau berada di lingkungan yang sama sekian lama, entah itu rumah, sekolah/kampus, atau kantor. Kesamaan-kesamaan ini menjadi salah satu pendorong munculnya perasaan nyaman pada dirinya, yang kemudian disusul rasa percaya untuk berbagi banyak cerita dan pengalaman.
Menurut pakar relasi April Masini dalam Insider, perihal kepercayaan ini penting mengingat hal tersebut adalah salah satu kunci hubungan romantis yang sukses. “Dengan mengawali hubungan dari pertemanan yang kuat, kalian mungkin sekali sudah bisa mengandalkan satu sama lain,” kata Masini.
Selain itu, berbeda dengan proses pendekatan dengan orang baru yang harus dimulai dengan perkenalan dan membuka diri dari awal, proses pendekatan dengan sahabat dianggap banyak orang lebih menguntungkan karena sahabat sudah saling mengenal hal baik dan buruk yang dimiliki satu sama lain. Ini juga yang memungkinkan level toleransi dan penerimaan terhadap sahabat yang kemudian jadi pacarnya lebih tinggi. Seseorang jadi tak butuh jaga image atau menutupi celanya sendiri demi mempertahankan relasi karena sang sahabat tentu sudah paham itu, bahkan bisa saja membantunya untuk memperbaiki cela tersebut atau mengembangkan diri.
Tetap bisa menjadi diri sendiri, yang dimungkinkan dengan memacari sahabat, memang merupakan hal yang penting dalam berelasi. Bagaimanapun, kita perlu ingat bahwa tidak hanya ada “kita”, tetapi juga ada “saya” dan “dia” yang punya batasan kenyamanan masing-masing yang tetap perlu dihormati.
Dalam hubungan yang sehat, seseorang tak perlu berpura-pura atau selalu melakukan sesuatu demi menyenangkan pasangannya ketika ia sendiri tak suka melakukannya. Pasalnya, jika hal tersebut terjadi, ada potensi besar muncul konflik di kemudian hari karena relasi romantis membuatnya tak bisa lagi menikmati bermacam hal yang dia senangi.
Baca juga: Selamat Datang di Industri 'Mencintai dalam Diam'
Risiko Pacaran dengan Sahabat
Di sisi lain, pacaran dengan sahabat dianggap banyak orang bisa menimbulkan kerugian. Pertama-tama sebelum mulai berpacaran, tentu seseorang butuh mengetahui apakah sahabat juga merasakan hal yang sama dengan dia. Saat ia menyatakan perasaan dan ternyata bertepuk sebelah tangan, muncul kemungkinan situasi menjadi awkward, relasi berubah karena sahabatnya tak ingin tindak-tanduknya justru dianggap memberi harapan palsu.
Jikapun akhirnya ia jadian dengan sahabatnya itu, lantas terjadi konflik di kemudian hari yang membuat relasinya merenggang, ia bisa terancam kehilangan sahabat sendiri, orang yang sekian lama ia andalkan untuk berbagi. Memang dalam banyak kisah, ada orang-orang yang tetap bersahabat dengan mantan pasangannya. Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya, tak ada kontak lagi sama sekali, ini bisa menjadi pukulan ganda bagi seseorang karena saat hubungan berakhir, ia kehilangan dua hal sekaligus: relasi romantis dan persahabatan.
Bicara soal putus hubungan, dinamika pertemanan juga bisa terpengaruh bila seseorang mengencani sahabat di satu lingkaran yang sama. Teman-teman lain bisa saja merasa canggung atau tak enak hati pada salah satu pihak kalau pro pada pihak lain yang baru saja putus hubungan tidak baik-baik. Mereka juga bisa merasa tak nyaman bila mendengar dua versi cerita berbeda tentang putusnya hubungan dua sahabat mereka, dan cerita-cerita tersebut berisi kejelekan satu sama lain. Alhasil, kepercayaan teman-teman lain juga bisa terimbas dari hubungan retak dua sahabat di satu lingkaran ini.
Walau banyak mengetahui hal-hal tentang sahabat yang kemudian menjadi pacar bisa dipandang sebagai keuntungan, hal ini juga bisa saja menjadi sisi buruk pacaran dengan sahabat. Pasalnya, seseorang jadi kehilangan kesempatan untuk menemukan hal baru sebagaimana ia memacari orang yang tak ada dalam lingkaran pertemanannya. Dalam BetterHelp disebutkan, sebagian orang malah menikmati misteri berada di sisi orang yang belum mereka kenal. Dan, proses untuk mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut bisa menjadi sumber greget tersendiri.
Refleksi Sebelum Memilih Memacari Sahabat
Selain mempertimbangkan keuntungan dan risiko memacari sahabat seperti dipaparkan di atas, kita butuh menanyakan beberapa hal kepada diri sendiri sebelum memutuskan lanjut jadian atau tetap berteman saja.
Dalam The Washington Post, pakar perkencanan Lindsey Metselaar menyatakan, “Kamu mesti yakin apakah orang ini betul-betul sosok yang mau kamu kencani terlepas dari kalian berteman atau tidak. Kamu juga harus memastikan bahwa ia punya kualitas yang kamu cari dari sosok pasangan, dan kamu tidak mempertimbangkan berelasi dengannya hanya berdasarkan sejarah kalian berdua.”
Dalam banyak kisah, orang-orang mengatasnamakan perasaan nyaman untuk melanjutkan hubungan dari persahabatan menjadi relasi romantis. Penting kita tanyakan pada diri sendiri juga, apakah kenyamanan ini harus banget dipertahankan dengan cara mengubah bentuk relasi kita? Kemungkinan kenyamanan ini berubah atau tetap senantiasa 50:50 dalam konteks persahabatan menjadi pacaran, apakah kita siap menerima bila kenyamanan itu berubah nantinya, atau ketika terjadi penolakan di kemudian hari?
Di samping itu, kita juga perlu memastikan bahwa kita sudah siap untuk memulai relasi baru dengan sahabat kita ini. Jangan sampai kita mulai jadian setelah baru-baru saja putus dengan orang lain, dan merasa sahabat kita ini patut dipacari hanya karena ia berhasil menghibur kita setelah patah hati. Pandangan kita bisa saja sangat bias saat itu dan efeknya, relasi yang dijalin dengan sahabat bisa jadi tak panjang umur.
Comments