Diskursus tentang kekerasan berbasis gender tidak lepas dari budaya patriarkal yang mengakar di tatanan masyarakat dan privilese yang dimiliki laki-laki di dalamnya. Begitu kuatnya pengaruh budaya ini, tidak akan cukup bila perjuangan mematahkan kekerasan tersebut dilakukan oleh kaum perempuan saja. Laki-laki juga perlu berperan dalam mendukung upaya penghapusan kekerasan dan mencapai keadilan gender.
Sejauh ini, mulai terlihat bermunculan komunitas yang melibatkan laki-laki dalam advokasi keadilan dan kesetaraan gender walau skalanya masih terbatas. Keterlibatan mereka ini mengundang dua reaksi kelompok-kelompok feminis. Kelompok feminis yang pertama menilai laki-laki tidak bisa seutuhnya menjadi feminis karena tidak memiliki pengalaman tertindas sebagaimana dialami perempuan. Sementara, kelompok feminis lainnya beranggapan bahwa laki-laki bisa menjadi feminis karena laki-laki memiliki tanggung jawab untuk membongkar struktur sosial yang maskulin dan budaya patriarkal.
Menanggapi tentang terlibatnya laki-laki dalam gerakan perempuan, ketua bidang partisipasi organisasi keagamaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Dodi Hidayat berharap agar laki-laki dapat memberikan kontribusi positif untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Dengan demikian, perempuan tidak akan lagi berada di posisi inferior yang dilanggengkan oleh laki-laki itu sendiri.
“Terutama dalam interpretasi agama yang memandang inferioritas dan superioritas di antara kedua gender. Nyatanya secara kedudukan, manusia sama di mata Tuhan,” ujar Dodi dalam diskusi “Gerakan Laki-laki Pro Feminis: Kajian dan Refleksi Aliansi Laki-laki Baru (ALB) sebagai Bagian dalam Gerakan Feminis”, yang digelar atas kerja sama ALB, KemenPPPA, Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pada (3/11).
Ia juga berpendapat, pelibatan laki-laki dalam gerakan perempuan harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat untuk mencapai keadilan gender, serta tidak melemahkan gerakan pemberdayaan perempuan.
Baca juga: Saya Laki-laki, Saya Butuh Feminisme
Di Indonesia, gerakan anti-kekerasan basis gender yang secara bersamaan mendukung kesetaraan oleh laki-laki dipelopori Aliansi Laki-laki Baru. Organisasi ini berdiri sejak 2009.
“ALB berangkat dari kegelisahan laki-laki dan perempuan yang bekerja di organisasi perempuan setelah mengamati kasus-kasus ketidakadilan gender,” ujar salah satu pendirinya, Syafirah Hardani.
Sebagai organisasi laki-laki feminis, ALB berprinsip untuk tidak menerima dana dari lembaga donor karena dana sebaiknya lebih dialokasikan ke gerakan pemberdayaan perempuan.
Penelitian terkait ALB sebagai gerakan feminis di Indonesia juga dilakukan, salah satunya penelitian oleh Feby R. Ramadhan yang berjudul “Resistensi terhadap Kekerasan Perempuan dalam Praktik Gerakan Sosial Aliansi Laki-laki Baru”. Penelitian tersebut bertujuan untuk memahami posisi laki-laki dan melihat upaya ALB dalam melibatkan laki-laki demi penghapusan kekerasan berbasis gender.
Dalam penelitian itu, Feby menemukan, secara umum ALB memandang kekerasan terhadap perempuan berada dilestarikan lewat media, institusi agama, keluarga, pendidikan dan negara. Dari budaya patriarkal, lahir maskulinitas hegemonik yang mempengaruhi terjadinya kekerasan berbasis gender.
Ia juga menyarankan ALB sebagai gerakan yang mendukung gerakan perempuan untuk memiliki mekanisme ajeg ketika partisipan organisasi melanggar nilai, seperti melakukan kekerasan.
Baca juga: Menyelesaikan Kasus KDRT dari Sisi Pelaku
“Sebagian familier dengan fenomena laki-laki mengaku progresif dan feminis tetapi melakukan kekerasan berbasis gender. Ini harus diantisipasi ALB dan gerakan lain yang melibatkan laki-laki,” ujar Feby.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Elisabeth Windy tentang representasi laki-laki feminis di Twitter menemukan bahwa ALB merepresentasikan laki-laki sebagai sosok yang juga sensitif dan penuh kasih sayang. Laki-laki juga bisa berdandan dan berbagi peran domestik. Selain itu, ALB juga menganjurkan agar laki-laki tidak menormalisasi candaan seksis dengan menyerang maupun merendahkan perempuan, serta tidak mengujarkan ucapan misoginis.
Sejarah maskulinitas dan gerakan perempuan
Penelitian terhadap ALB juga dilakukan oleh Ira Larasati yang membahas tentang bagaimana organisasi tersebut membongkar konstruksi maskulinitas. Dalam penelitiannya, Ira setuju bahwa eksploitasi dan opresi yang dialami perempuan tidak akan berubah kecuali laki-laki turun secara aktif mengubah hal tersebut.
Selain itu, Ira juga menyoroti hadirnya ALB sebagai gerakan pro-feminis yang mampu menepis pernyataan tentang feminisme sebagai gerakan untuk melawan laki-laki.
Menanggapi penelitian Ira, peneliti dan aktivis perempuan Ita Nadia menyarankan agar penelitian tersebut dilengkapi dengan konteks maskulinitas saat ini dan konsepnya dalam kesejarahan Indonesia.
Ia menjelaskan, maskulinitas tidak bersifat tunggal, berciri khas, dan memiliki periodisasi sejarah, mulai sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, tahun 1965 yang menjadi tonggak perubahan iklim sosio-politik Indonesia, sampai masa Reformasi.
“Setiap periode sejarah punya sikap maskulinnya. Begitu juga dengan konstruksi gender yang tidak tunggal. Konstruksi gender sangat diwarnai dengan rezim yang berkuasa” ujar Ita.
Maskulinitas pada periode sebelum kemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Saat memasuki masa pendudukan Jepang, maskulinitas ditandai dengan aksi kekerasan fisik dan seksual kepada semua orang.
Maskulinitas perang kemerdekaan didefinisikan sebagai maskulinitas chauvanistik, bahwa negara dibangun, dimenangkan, dan ditulis dalam sejarah oleh laki-laki.
“Padahal banyak sekali perempuan yang terlibat dalam sejarah,” ujarnya.
Masing-masing presiden juga memiliki ciri maskulinitas tersendiri selama masa jabatan mereka. Maskulinitas Orde Baru menghancurkan bangsa melalui tindakan kekerasan seksual dan penganiayaan terhadap Gerwani.
Angin segar pada perjuangan melawan kekerasan berbasis gender baru datang pada era Reformasi. Saat menjabat sebagai presiden, B.J. Habibie memberikan ruang kepada gerakan perempuan dengan melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
“Komnas Perempuan adalah tonggak perlawanan terhadap maskulinitas yang diberikan oleh Habibie,” kata Ita.
Baca juga: Benarkah Menikah dengan Feminis itu Ribet?
Terkait gerakan perempuan, Ita mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi tentang posisi gerakan perempuan pasca-Reformasi.
“Apakah ada terus di bawah koordinasi donor atau sudah menentukan politics of location perempuan?” imbuhnya.
Politics of location sendiri adalah cara membaca simbol persoalan di lingkungan sekitar melalui kacamata kelompok marginal seperti perempuan, komunitas LGBT, dan remaja. Hal ini juga berkaitan dengan politik negara, politik lokal, adat istiadat, budaya, dan agama.
Selain itu, gerakan perempuan yang berkaitan dengan feminisme dan harus berangkat dari arti feminisme sendiri. Ita melihat, banyak organisasi perempuan muda feminis yang sangat luar biasa, tetapi belum menyangkut pada evidence base.
Menurutnya, feminisme memang merupakan kerangka berpikir, tetapi tidak harus selalu mengambil dari teori. Bagi Ita, di samping teori ada hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam gerakan feminis, yaitu memotret dan menelaah pengalaman-pengalaman perempuan dan ketertindasan mereka pada masa Orde Baru atau pasca-Reformasi.
“Dalam konteks Orde Baru, kita bisa melihat sejarah Gerwani yang luar biasa. Itu bisa dirumuskan secara konseptual. Tetapi setelah Reformasi, feminisme itu dikonstruksikan seperti apa? Kita bisa melihat misalnya dari gerakan atau upaya membangun kerangka feminisme dari pengalaman perempuan setelah Reformasi,” papar Ita.
“Kita memiliki banyak arsip tentang perempuan. Ini bisa digunakan untuk kepentingan membangun gerakan baru, merumuskan kembali kerangka berpikir gerakan perempuan, dan kemudian merumuskan bagaimana organisasi yang melibatkan laki-laki seperti ALB mendukung gerakan perempuan saat ini,” jelasnya.
Comments