Setelah namanya ramai di media sosial karena mengklaim kuliah di empat kampus, Wirda Mansur kembali jadi sorotan. Kali ini, putri sulung Ustaz Yusuf Mansur itu baru mendapat hadiah mobil mewah impiannya, setelah bersedekah.
Dalam video yang diunggah Instagram @lambe_turah, Wirda mengatakan BMW seri lima itu adalah keajaiban. Pasalnya, ia sudah menginginkan mobil tersebut, sampai rajin melihatnya di Instagram, test drive di showroom, hingga dibawa dalam doa. Kemudian, Wirda mengaku beberapa minggu sebelum menerima mobilnya, ia baru saja bersedekah sebanyak Rp200 juta.
“Gue pengen punya mobil harga Rp1,4 miliar, paling enggak harus sedekah Rp140 juta, tapi gue sedekah Rp200 juta,” jelasnya.
Berdasarkan kalimat tersebut, kita dapat menilai Wirda memahami makna sedekah yang sebenarnya. Dalam Islam diajarkan, sedekah dilakukan supaya harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya. Hal itu tertulis dalam surat Al-Hasyr ayat tujuh, yang berbunyi: Harta diperuntukkan bagi Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Artinya, pada dasarnya tujuan sedekah adalah memberikan hak kelompok marginal. Orang-orang mampu seharusnya menjadi perpanjangan tangan mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka yang kehilangan tempat tinggal, tidak memiliki akses pendidikan, atau kekurangan untuk makan sehari-hari.
Baca Juga: Banyak Orang Melakukan Flexing di Medsos, Apakah Ini Baik?
Alih-alih mementingkan dirinya sendiri, mungkin Wirda perlu memfokuskan agar sedekahnya bisa membantu menyejahterakan kelas bawah. Dengan sejumlah privilesenya, ia patut mempertanyakan konsep keadilan, mengapa ada kesenjangan ekonomi di saat setiap orang memperoleh hak dan kewajiban yang sama.
Lagi pula, enggak seharusnya sedekah dipamerkan, atau dilakukan demi memenuhi keinginan di dunia. Misalnya memperoleh ketenaran, jabatan, dan kekayaan.
Pemikiran seperti Wirda mungkin juga masih melekat di kalangan masyarakat. Tak dimungkiri, kita sering mendengar orang-orang mengungkapkan, agar rajin bersedekah dan tidak takut berkekurangan, karena Tuhan akan memberikan yang lebih besar.
Sayangnya, balasan dari Tuhan kerap diinterpretasikan berwujud serupa dengan yang diberikan manusia, baik berupa uang maupun barang. Padahal, balasannya bisa berupa kesehatan, kebahagiaan, maupun di akhirat. Artinya, balasan itu enggak langsung didapatkan, atau mungkin belum tentu akan diterima sama sekali.
Terlepas dari kekeliruan persepsi Wirda tentang sedekah, ada gambaran lebih besar yang layak disorot dari pernyataannya, yakni poverty porn.
Baca Juga: Kita Harus Berhenti 'Flexing' Soal Kekayaan
Memanfaatkan Kemiskinan demi Kepentingan Sendiri
Secara enggak langsung, pernyataan Wirda menunjukkan bagaimana ia memperkaya diri lewat kemiskinan orang lain. Kelas bawah diposisikan sebagai objek. Kesannya, Wirda bersedekah demi mendapatkan mobil mewah idamannya.
Tentu Wirda bukan yang pertama kali melakukan poverty porn, atau eksploitasi kelas bawah untuk mencapai tujuan tertentu. Konsep itu awalnya muncul pada 1980-an. Saat itu, banyak acara penggalangan dana menggunakan foto anak-anak kekurangan gizi.
Salah satunya Live Aid, sebuah konser amal pada 1985. Mereka memotret kemiskinan secara sensasional, demi menyita perhatian publik. Akibatnya, masalah kemiskinan tidak dibahas secara utuh.
Hal ini juga terjadi dalam industri media. Adalah program televisi Tukar Nasib, yang pernah tayang di SCTV. Acara tersebut menampilkan keluarga dari kelas atas dan bawah, yang merasakan nasib satu sama lain dalam sehari. Mereka yang berkecukupan tampak kesulitan, menjalankan aktivitas seperti bertani dan berkebun.
Sementara, keluarga yang ekonominya menengah ke bawah digambarkan sebagai orang-orang yang enggak bisa hidup berkecukupan. Sebab, mereka enggak ngerti teknologi, aktivitas yang harus dilakukan, dan tampak bahagia dengan fasilitas rumah tempat mereka menetap selama semalam.
Baca Juga: Di Balik Kecanduan Kita pada Konten Pamer Gaji di Media Sosial
Dengan kata lain, Tukar Nasib melanggengkan stereotip kelas bawah sebagai orang-orang udik. Latar belakang kehidupan mereka sekadar dipotret melalui pekerjaan dan kesehariannya. Itu pula yang mendefinisikan mengapa tempat tinggal mereka kurang layak, dan anak-anaknya harus putus sekolah. Tanpa faktor-faktor krusial bahwa kemiskinan adalah masalah struktural.
Akibatnya, semakin banyak audiens sebatas bersimpati dengan kehidupan kelas bawah. Kemudian, rating program televisi terus terdongkrak dari belas kasihan. Mereka menutup mata audiens, kalau ada tanggung jawab pemerintah di balik kemiskinan yang dieksploitasi.
Sementara pada konteks Wirda, di balik sedekah senilai ratusan juta rupiah itu ternyata ada harapan, supaya menerima 700 kali kebaikan dalam wujud mobil mewah. Wirda mengekspos urusan sedekahnya dengan alasan, memotivasi orang-orang supaya bekerja keras. Lalu bisa memberikan uang pada orang tua dan bersedekah.
Padahal, yang kemudian menjadi pusat atensi publik adalah jumlah uang yang disumbangkan dan mobil barunya. Bukan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, meskipun berulang kali Wirda menekankan perbuatan baiknya. Alhasil, tingkah lakunya enggak lebih dari flexing kekayaan.
Hal itu menggarisbawahi mengapa poverty porn berbahaya karena menyorot orang yang salah. Dari perilaku Wirda, segelintir orang akan memuji kebaikannya setelah memberikan sejumlah harta untuk membantu orang lain. Citra tersebut memperkuat posisi Wirda di masyarakat, bahwa ia lebih berdaya dibandingkan masyarakat yang rentan. Padahal, perkara privilese juga berperan dalam hal ini.
Lebih dari itu, poverty porn turut menyederhanakan kompleksnya masalah kemiskinan, seolah setelah menerima sejumlah uang, kehidupan kelas bawah akan membaik. Padahal, untuk memperbaiki kehidupan mereka dibutuhkan perubahan sistem.
Dengan penyederhanaan tersebut, kelas bawah juga diposisikan sebagai orang-orang tidak berdaya, dan mengandalkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Comments