Aksi Women’s March Jakarta yang identik dengan pawai dengan poster berwarna-warni dan beragam, serta pembacaan orasi tuntutan kesetaraan harus berlangsung secara daring tahun ini karena situasi pandemi COVID-19. Orasi aktivis, perwakilan organisasi perempuan, hingga lembaga bantuan hukum disiarkan melalui kanal YouTube Women’s March Jakarta pada (24/4) sebagai hari puncak pelaksanaan Women’s March Jakarta 2021.
Anindya Restuviani, inisiator gerakan Hollaback! Jakarta dan perwakilan dari Women’s March Jakarta mengatakan, antusiasme dari masyarakat Indonesia tetap tinggi bahkan bisa menggaet warga yang tidak berdomisili di Jakarta. Pada 21 hingga 24 April lalu, lebih dari 300 orang yang telah mengunggah foto bersama poster tuntutan di media sosial, lalu menandai akun @womensmarchjkt. Sementara itu, siaran langsung via YouTube telah ditonton lebih dari 1.200 orang.
“Dengan aksi online bisa melibatkan teman-teman (berasal dari daerah lain) yang tidak bisa turun marching bersama di Jakarta. Orator aksi juga ada yang berasal dari Papua dan Sulawesi,” kata Vivi kepada Magdalene (27/4).
Baca juga: Aksi Women’s March Bandung Suarakan Ketidakadilan Berbasis Gender
Ia menambahkan bahwa pihaknya sempat ragu dengan antusiasme publik untuk melakukan aksi daring. Namun, ternyata semangat itu tetap muncul, termasuk saat aktivitas persiapan persiapan pelaksanaan Women’s March, seperti pembuatan poster tuntutan bersama BTS ARMY Indonesia. Selain itu, ada juga diskusi dengan koalisi masyarakat sipil untuk membahas dampak pandemi terhadap perempuan dan kelompok marginal yang menjadi fokus Women’s March Jakarta 2021, ujar Anindya.
“Hanya karena melakukan aksi online bukan berarti mereduksi perjuangan perempuan dan kelompok marginal Indonesia. Meski mengalami keterbatasan melakukan aksi, dengan platform lain (online) kita bisa tetap menyuarakan tuntutan,” ia menambahkan.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan Selama Pandemi
Data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan, dari 794 pengaduan sepanjang 2019 menjadi 1,178 kasus pada 2020. Sementara itu, kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) mencapai 307 kasus pada 2020. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat kenaikan kasus KBGO, dari 87 kasus pada 2019 menjadi 310 pada 2020. Lonjakan tersebut berkaitan erat dengan berpindahnya ruang sosial dan profesional ke ranah daring selama pandemi COVID-19.
Direktur LBH APIK, Siti Mazuma mengatakan, peningkatan kasus kekerasan menjadi bukti kegagalan negara memberikan perlindungan kepada semua warga. Karenanya, perlu ada solidaritas untuk mendukung korban yang berani bersuara, ujarnya.
“Kita harus berjuang agar tidak ada lagi yang merasakan sulitnya membuat laporan di kepolisian dan memperjuangkan keadilan,” ujarnya dalam orasi daring Women’s March Jakarta 2021.
Prameswari Puspa Dewi, yang mewakili ARMY Indonesia, atau para penggemar boyband BTS dari Korea Selatan, mengatakan para penggemar kerap menghadapi KBGO saat melakukan aktivitas fandom di ranah daring. Bentuknya juga beragam, seperti perundungan yang meremehkan status penggemar, hingga kekerasan dan pelecehan seksual secara online.
“Melihat situasi ini, kami mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai hukum yang mampu melindungi penyintas secara komprehensif harus segera disahkan,” ujar Prameswari.
Baca juga: Feminisme Interseksional Setelah Perjuangan Kemerdekaan
Women’s March Jakarta 2021 juga menyorot kekerasan, diskriminasi, dan stigma yang dihadapi perempuan dari berbagai sektor. Contohnya di ranah media, jurnalis perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dari narasumber dan atasan di kantor. Mereka uga menerima stigma sebagai terlalu lemah dan sensitif yang menghambat kiprah perempuan di ranah pengambil keputusan dan posisi strategis.
Ada juga pembunuhan transpuan di berbagai daerah di Indonesia hingga kerentanan Pekerja Rumah Tangga (PRT) perempuan atas kekerasan karena belum menerima perlindungan lewat RUU PPRT yang 17 tahun belum disahkan. Selain itu, isu tentang perempuan penyandang disabilitas yang harus mengalami kekerasan berlapis karena status dan gendernya.
Ayu Oktariani, aktivis dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), sebuah jaringan nasional untuk perempuan yang hidup dengan atau terdampak oleh HIV, menuntut akses kesehatan yang lebih setara dan bebas diskriminasi, terutama di masa pandemi. Hal itu disebabkan karena perempuan terjangkit HIV rentan mendapat aksi kekerasan dari keluarga, masyarakat, dan pasangan akibat dianggap bukan perempuan baik-baik.
“Isu HIV masalah yang bisa dicegah bersama dengan membangun sistem kesehatan berperspektif gender dan inklusif. Perlu menghapus stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV dan pengguna narkotika di fasilitas kesehatan,” jelasnya.
Pekerja dan Perempuan Adat Semakin Rentan Akibat Omnibus Law
Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) mengatakan, isu perempuan juga tidak lepas dari perdebatan tentang Omnibus Law Cipta Kerja yang mengancam kesejahteraan pekerja, lingkungan, hingga masyarakat adat. Ia mengatakan skema upah berdasarkan satuan waktu dan hasil untuk buruh perempuan sangat tidak menguntungkan, terutama jika sedang hamil atau menstruasi.
“Menggunakan skema upah tersebut mereka tetap harus menyelesaikan target (per hari) meski sudah bekerja delapan jam sehari. Ini akan mempengaruhi kesehatan perempuan,” ujarnya.
Jusmiati, perempuan adat yang mewakili masyarakat Massenrempulu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, mengatakan akibat Omnibus Law Cipta Kerja pengakuan untuk perlindungan masyarakat adat semakin sulit dicapai karena memberi lampu hijau untuk mengeksploitasi wilayah adat. Ia mengatakan dengan situasi ini semakin jelas untuk mendorong disahkannya RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pengakuan hak bagi masyarakat adat.
Baca juga: IWD 2020: Sulitnya Wujudkan Interseksionalitas dalam Gerakan Progresif
Melengkapi pernyataan Jusmiati, Rukmini Paata Toheke, perempuan adat yang mewakili komunitas masyarakat adat Ngata Toro, Sulawesi Tengah mengatakan isu perlindungan terhadap masyarakat adat juga harus dilengkapi dengan perempuan yang terlibat dalam posisi pengambilan kebijakan atau representasi dalam kelembagaan adat. Meskipun demikian, sampai sekarang hal tersebut belum tercapai, ujarnya.
Asfinawati mengatakan: “Kita harus bicara soal perempuan karena manusia dilahirkan sederajat. Tidak mungkin membicarakan kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, tanpa membicarakan perempuan.”
Comments