Uttar Pradesh adalah salah satu tempat paling terkenal di India. Ia rumah keajaiban dunia Taj Mahal sekaligus negara bagian dengan populasi terbanyak se-India, dan langsung berbatasan dengan Nepal karena letak geografisnya di utara.
Namun, ia juga dikenal sebagai tempat paling tidak aman buat perempuan India—negara yang dikenal paling berbahaya buat perempuan. Crime in India pada 2019 mencatat Uttar Pradesh sebagai tempat dengan kekerasan terhadap perempuan tertinggi selama empat tahun sebelum laporan itu rilis. Angkanya sampai 66,7 persen. Dalam periode yang sama, negara bagian yang dikenal sebagai The Heartland of India itu juga jadi tempat tertinggi kedua dalam kasus pemerkosaan terhadap perempuan kasta terendah di India.
Uttar Pradesh sedang meghadapi epidemi kekerasan terhadap perempuan—sebuah mimpi buruk, terutama buat perempuan dari kasta Dalit--kasta terendah di India yang biasa disebut kasta “tak tersentuh”.
Kendati angka kekerasan terhadap perempuan meningkat signifikan, media arus utama di India nampaknya tak tertarik sedikit pun mengangkat realitas pilu ini. Kebalikannya, industri media yang didominasi laki-laki ini lebih memilih mengangkat isu politik, seperti nasionalisme Perdana Menteri Narendra Modi dari sayap kanan Hindu. Isu yang diklaim lebih laku dan mendatangkan uang dari banyaknya klik yang ada.
Melihat bagaimana media arus utama enggan mengangkat realitas yang terabaikan ini, sekelompok perempuan jurnalis berusaha memulai sebuah perubahan. Dimulai pada tahun 2002, Kavita Devi dan Meera, perempuan dari kelas Dalit mendirikan sebuah perusahaan surat kabar bernama Khabar Lahariya.
Selama dua dekade berdiri, Khabar Lahariya hanya merekrut perempuan jurnalis. Dibekali dengan peralatan seadanya, seperti handphone, para perempuan jurnalis ini menelusuri berbagai pedesaan yang tak punya akses listrik atau toilet untuk menggali cerita langsung dari masyarakat kelas bawah, utamanya dari kelas Dalit.
Kisah perjalanan perempuan jurnalis Khabar Lahariya inilah yang berusaha disampaikan Rintu Thomas dan Sushmit Ghosh dalam film dokumenter mereka Writing with Fire (2021). Film yang masuk dalam nominasi Best Documentary (Feature) ajang penghargaan Academy Award 2022.
Film dokumenter yang baru-baru ini dirilis secara perdana di KlikFilm menawarkan banyak perspektif baru bagi penonton. Terutama tentang jurnalisme yang humanis dan mampu membuat penonton berempati, serta berkontemplasi mengenai berbagai isu sosial struktural di sekitarnya.
Baca juga: 5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan
Writing with Fire Blak-Blakan Mengungkap Kekerasan Terhadap Perempuan
Satu hal yang membuat Khabar Lahariya berbeda dengan media arus utama di India adalah kemampuan memotret realitas tentang kekerasan terhadap yang lebih blak-blakan. Kemampuan ini tentu saja tidak dimiliki media arus utama yang didominasi laki-laki sebagai kelompok puncak dalam masyarakat patriarki.
Di dalam kantor yang sederhana dan peralatan seadanya, Khabar Lahariya berusaha menggali cerita perempuan dalam perspektif feminis. Semua karya mereka, mulai dari tulisan dan video, ditulis, diedit, diproduksi, dan didistribusikan seluruhnya oleh perempuan pedesaan dari perempuan kelas Dalit dan Muslim.
Sejak menit pertama, Writing with Fire langsung membuat penonton terpatri pada konflik yang mereka jabarkan. Adegan itu dibuka dengan editor in chief Meera melakukan sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil untuk mewawancarai seorang perempuan dari kasta Dalit, yang merupakan korban pemerkosaan.
Dari wawancaranya bersama korban dan suami korban, Meera mendapatkan informasi bahwa pihak kepolisian menolak menerima pengaduan korban dan justru mengancamnya dan suaminya. Sebuah fakta jamak yang terjadi berulang kali pada perempuan-perempuan korban pemerkosaan dari kasta Dalit.
"Orang-orang ini bisa melakukan apa saja pada kami," ungkap korban kepada Meera. Kendati ia tahu bahwa keselamatannya bisa terancam, hal ini tidak menghentikannya untuk mencari lebih dari sekadar fakta. Ia ingin jawaban dan ia ingin pihak kepolisian tak mangkir dari tanggung jawabnya. Ia ingin kasus ini diusut dan korban mendapat keadilan.
Keberanian Meera ini juga dimiliki setiap perempuan jurnalis di Khabar Lahariya. Sebagai perempuan dari kelompok marginal, mereka paham pahitnya realitas hidup perempuan di India. India sebagai negara, yang biasa dipanggil masyarakatnya sebagai “Ibu”, sayangnya tak pernah adil bagi perempuan.
“Terkadang aku merasa lahir sebagai perempuan adalah dosa. Pertama, dia (perempuan) dibuat merasa seakan seperti beban orang tua, kemudian menjadi budak suaminya,” ungkap Suneeta, perempuan jurnalis Khabar Lahariya. Saat itu, ia sedang mengunjungi rumah seorang perempuan yang dibunuh dan diperkosa oleh suaminya sendiri.
Realitas inilah yang jadi bensin bagi para perempuan jurnalis Khabar Lahariya untuk mengungkap fakta. Mereka tak peduli bahwa pekerjaan mereka sangat berisiko, bahkan bisa membahayakan nyawa mereka sendiri. Mereka rela pergi meliput ke daerah terpencil yang akses listrik dan jalan layak saja tidak ada. Berkali-kali mereka diusir oleh warga desa, dimaki-maki, dan disudutkan oleh aparat penegak hukum. Namun, tak sedikit pun tantangan ini menyurutkan semangat mereka.
Sebab, yang penting buat mereka adalah suara perempuan bisa terangkat. Masyarakat bisa membuka mata serta berempati pada kondisi mereka yang selama ini terabaikan. Dan mereka percaya bahwa ini adalah cara seorang jurnalis memperjuangkan keadilan dalam demokrasi.
Baca juga: Dokumenter ‘Semesta’ Soroti Para Perempuan Penjaga Alam
Jurnalisme yang Berpihak pada Kelompok Tertindas
Writing with Fire juga merekam bagaimana media arus utama di India dipolitisasi dan dijauhkan dari realitas kelam yang menghantui perempuan di sana. Keberpihakan mereka pada pemerintah atau kelompok politik tertentu membuat mereka sering kali bias memberitakan sebuah berita. Tak ayal, berita arus utama jarang atau bahkan tak pernah menyoroti isu-isu sosial struktural yang terjadi menimpa langsung kelompok masyarakat kelas bawah.
Mereka kehilangan sentuhan humanisnya.
Khabar Lahariya hadir di sana, sebagai pengeras suara buat suara-suara kelompok tertindas yang diabaikan media. Dalam babak kedua misalnya, penonton dibawa menelusuri kekerasan yang dialami oleh penduduk di sekitar tambang ilegal lewat perjalanan Suneeta.
Suneeta yang ditugaskan meliput mafia tambang, berangkat dengan bekal pengalaman pribadinya semasa kecil ketika diperbudak mafia tambang saat masih berusia 10. Pengalaman ini dijadikannya garis awal menelusuri sebuah desa situs tambang yang harus terus berkabung, karena banyak nyawa warganya melayang karena kecelakaan kerja.
Mengetahui kondisi warga desa yang tertindas, Suneeta dengan gigih mengumpulkan bukti eksploitasi yang sedang terjadi disana. Ia mewawancarai keluarga korban yang kehilangan nyawa di situs tambang, hingga melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Karya jurnalistik itu sempat jadi sorotan masyarakat India yang mendorong kasus itu diusut pihak berwajib.
Baca juga: Dokumenter ‘You & I’ dan Masa Tua yang Tak Terelakkan
Apa yang dilakukan Suneeta, juga dilakukan oleh perempuan jurnalis Khabar Lahariya lainnya. Mulai dari mafia tambang, akses toilet dan air bersih yang tak pernah didapatkan kasta Dalit, hingga agama yang jadi alat mempersekusi kelompok minoritas agama lainnya, mereka tak takut mengungkap realitas ketertindasan masyarakat. Lalu, menyajikannya dengan sentuhan humanis langsung dari narasumber dan tempat kejadian perkara. Mereka memperlihatkan bagaimana India masih jadi tempat kelam buat banyak orang—terutama mereka yang dipinggirkan sistem—dan mendorong tiap orang untuk, setidaknya, peduli.
Dengan bekal keyakinan bahwa jurnalisme adalah salah satu inti dari demokrasi, Writing with Fire membangkitkan kepercayaan penontonnya bahwa dunia yang tak baik-baik saja ini masih memiliki pahlawannya.
Comments