Women Lead Pendidikan Seks
July 07, 2022

'Kebelet' Digital Pemerintah, Kenapa MyPertamina dan PeduliLindungi Problematis?

Akses gawai dan literasi digital yang rendah membuat MyPertamina dan PeduliLindungi berpotensi halangi pemberian subsidi.

by Rizky Deco Praha dan Ramada Febria
Issues
Share:
Sumber image: The Conversation Indonesia

Digitalisasi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi ia bermanfaat, tapi di sisi lain justru menyusahkan. Apalagi jika infrastruktur digitalnya tak memadai. Ini tampak dari penggunaan aplikasi smartphone sebagai syarat pemberian subsidi minyak goreng dan bahan bakar minyak (BBM). Hal itu bisa jadi malah menghalangi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah untuk mendapatkan hak mereka.

Hal ini karena kalangan menengah ke bawah di Indonesia masih memiliki akses internet dan literasi digital yang rendah. Daripada bergantung pada aplikasi, pemerintah lebih baik memanfaatkan data dari program-program Kementerian Sosial untuk mengidentifikasi golongan yang berhak menerima subsidi.

Baca juga: Pakar Terbelah, Tepatkah Menaikkan Harga Pertamax Sekarang?

Digitalisasi Subsidi

Baru-baru ini, pemerintah mensyaratkan penggunaan aplikasi gawai PeduliLindungi dan MyPertamina untuk mengakses minyak goreng dan BBM bersubsidi.

Memang, harga minyak goreng melonjak tajam dan belum terkontrol semenjak akhir 2021 lalu. Sementara, BBM subsidi tipe Pertalite kini jadi pilihan utama masyarakat karena harganya yang dianggap paling murah, apalagi sejak pemerintah menaikkan harga Pertamax pada awal April.

Pada Mei lalu, sebagai respons terhadap keluhan publik mengenai harga minyak goreng yang makin tak terjangkau, pemerintah mengeluarkan regulasi mengenai distribusi minyak goreng curah pada masyarakat yang berasal dari 25 persen populasi dengan pendapatan terendah, serta untuk bisnis di tingkat mikro dan kecil. Kebijakan ini diiringi dengan penetapan harga eceran tertinggi di kisaran Rp14,000 per liter atau Rp15,500 per kilogram, yang jauh berada di bawah harga yang tengah berlaku di pasaran.

Sementara itu, pemerintah juga meminta Pertamina untuk membatasi distribusi Pertalite dengan melarang mobil dan motor “mewah” untuk membeli produk tersebut.

Pemerintah mengklaim bahwa penggunaan PeduliLindungi dan MyPertamina dapat membantu mengawasi potensi kebocoran, memastikan pemberian subsidi jatuh ke golongan penerima, dan mencegah penyelewengan pasokan.

Masyarakat – mulai dari pakar dari berbagai latar pengalaman, warganet, hingga target penerima – beramai-ramai menyanggah klaim ini.

Baca juga: Sebuah Ode untuk Indomie: ‘I Love You 3000’ Meski Hargamu Naik

Penggunaan Aplikasi Rawan Halangi Pemberian Subsidi

Dalam pandangan kami, pemerintah telah menyalahi peruntukan kedua aplikasi ini.

PeduliLindungi merupakan platform yang dibuat untuk mengawasi perkembangan pandemi COVID-19. Sementara, MyPertamina ditujukan sebagai aplikasi pembayaran non-tunai untuk transaksi di pom bensin.

Selain penggunaan yang tidak sesuai dengan desain awal, langkah pemerintah untuk menggunakan kedua platform ini sebagai alat identifikasi dan pengawasan distribusi subsidi bisa memberatkan masyarakat.

Semenjak rencana penggunaan aplikasi ini diumumkan, masyarakat dari kelas menengah bawah —- yang seharusnya menjadi target penerima subsidi —- mengeluhkan ide tersebut karena dianggap tidak efektif dan efisien. Sebagian khalayak juga mengkhawatirkan persoalan keamanan data.

Kekhawatiran mereka cukup beralasan.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan banyaknya penduduk Indonesia yang belum memiliki akses ke layanan digital. Survei tersebut mengungkap bahwa hingga 2021, 34 persen penduduk usia dewasa tidak memiliki gawai. Data tersebut juga mengindikasikan bahwa 52,3 persen populasi belum memiliki akses internet.

Mekanisme distribusi ini bahkan tidak memenuhi model kebijakan “Java-centric”, yang menggambarkan kecenderungan pemerintah untuk memprioritaskan penduduk pulau Jawa. Walaupun merupakan pulau paling maju di Indonesia, data BPS menunjukkan bahwa 34,27 persen populasi di pulau Jawa tidak memiliki gawai, sementara 56,7 persen populasi tidak memiliki jaringan internet.

Data SUSENAS 2021 menunjukkan, satu dari empat penduduk menengah bawah tidak memiliki gawai maupun smartphone dan juga tidak mengakses internet.

Alternatif pemerintah bagi mereka yang tidak memiliki gawai adalah dengan mengizinkan pembelian luring dengan sebelumnya menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP). Masalahnya, SUSENAS menunjukkan bahwa 9,3 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki KTP.

Hal ini menunjukkan adanya salah perhitungan dalam rencana pemerintah untuk memanfaatkan PeduliLindungi dan MyPertamina, karena mengabaikan fakta-fakta ini.

Sebagai tambahan, walaupun telah diunduh oleh 98 juta pengguna, PeduliLindungi hanya memiliki 60 juta pengguna aktif. Padahal, aplikasi ini merupakan platform yang wajib digunakan selama pandemi.

Sementara itu, MyPertamina malah baru diunduh sebanyak 6 juta kali.

Pemerintah perlu memastikan siapa saja dari 60 juta pengguna aktif PeduliLindungi dan 6 juta pengguna MyPertamina yang merupakan target penerima subsidi minyak goreng dan berhak membeli Pertalite.

Padahal, angka ini belum menggambarkan keseluruhan penduduk yang selayaknya menjadi target subsidi, mengingat Indonesia memiliki 26,5 juta populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini juga belum mencakup masyarakat kelas menengah bawah ataupun pelaku UMKM yang turut masuk sebagai kategori penerima barang-barang subsidi.

Kami berpandangan bahwa pemerintah membuat kompleks apa yang seharusnya bisa dilakukan secara sederhana. Langkah yang ditempuh justru dapat menciptakan persepsi bahwa pemerintah tidak dapat mengatur perdagangan dan distribusi kebutuhan sehari-hari dengan baik di tingkat domestik.

Bukannya membantu masyarakat yang membutuhkan untuk memperoleh minyak goreng dan BBM murah, kebijakan penggunaan platform ini justru membatasi akses mereka.

Baca juga: Angka-angka Penting: Mengapa Indonesia Tak Mampu Lagi Menanggung Subsidi BBM

Kembali ke Jalur Analog

Kami percaya program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Program Keluarga Harapan (PKH) dapat menyediakan basis data yang lebih tepat bagi pemerintah untuk memastikan distribusi barang subsidi berjalan lancar.

Kedua program yang dinaungi oleh Kementerian Sosial tersebut bertujuan untuk memberikan bantuan sosial bersyarat bagi masyarakat dari kelas menengah bawah. Basis data yang digunakan untuk mengeluarkan kartu identifikasi untuk dua program ini jauh lebih superior dari data yang dihimpun PeduliLindungi, utamanya untuk menandai penerima subsidi minyak goreng dan BBM.

Keluarga penerima manfaat dari kedua program ini tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Basis data elektronik ini menyimpan informasi sosial, ekonomi, dan demografi sekitar 99 juta penduduk Indonesia yang berasal dari status yang kurang atau tidak sejahtera.

Selain itu, DTKS juga memiliki data mengenai usaha mikro kecil dan menengah, yang merupakan pelanggan reguler minyak goreng curah dan BBM bersubsidi.

Oleh karena itu, data penerima KKS dan PKH lebih cocok untuk menjamin distribusi minyak goreng dan Pertalite jatuh ke tangan pihak yang membutuhkan ketimbang menggunakan data dari PeduliLindungi dan MyPertamina.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Rizky Deco Praha, Researcher, The Prakarsa dan Ramada Febrian, Researcher, Auriga Nusantara.