Omongan berbalut stigma selalu membayang-bayangi orang yang bercerai, terutama bagi perempuan, yang selalu jadi objek tuntutan-tuntutan masyarakat yang tidak masuk akal. Sebagai anak dari orang tua yang bercerai, saya selalu hidup dalam banyak ketakutan akibat berbagai label yang masyarakat berikan. Banyak sekali pernyataan-pernyataan negatif yang saya dapatkan, seperti “Anak yang orang tuanya bercerai, pasti nanti bercerai juga” atau “Jangan kayak ibumu, ya. Nanti harus bisa ngurus keluarga”. Itu membuat saya merasa tidak diterima. Apa jangan-jangan saya akan langsung ditolak oleh keluarga pasangan saya, karena dianggap sebagai produk gagal dari sebuah pernikahan?
Anggapan-anggapan ini telah mendistorsi makna sebenarnya dari sebuah pernikahan, karena kita hanya dituntut untuk mempertahankan pernikahan tanpa memedulikan kualitas hubungan, tanggung jawab antar pasangan, sampai kewarasan diri sendiri. Lagi pula, memang ada orang yang menikah untuk bercerai? Perceraian adalah langkah terakhir yang diambil setelah berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan pernikahan itu. Sangat tidak adil bila itu sekonyong-konyong disalahkan tanpa melihat alasan di belakangnya.
Untuk itu saya selalu tertarik dengan buku atau film dengan tema perceraian. Ada banyak film yang mengangkat isu ini, tapi lima film ini adalah yang paling bermakna buat saya, karena menggambarkan dampak perceraian dari berbagai spektrum dan sudut pandang. Apa saja film-film itu?
-
Marriage Story (2019)
Satu konflik yang kerap Noah Baumbach angkat dalam film-filmnya yang bertema perceraian adalah bagaimana persaingan karier (baca: sosok suami yang tidak terima karier istrinya lebih baik darinya) bisa jadi akar permasalahan besar dalam pernikahan. Dalam Marriage Story, dua karakter utamanya, Charlie (Adam Driver) dan Nicole (Scarlett Johansson) bekerja di industri yang sama, bahkan dalam naungan kelompok kerja yang sama. Istri lebih sukses, suami tidak terima, lalu jadi abusive dan bahkan selingkuh—bukan alur cerita yang jarang disaksikan penonton. Baumbach memang tidak mengangkat sebuah konflik yang unik, tapi usahanya untuk menampilkan konflik ini dari dua perspektif patut diapresiasi.
Nilai terpenting yang bisa saya ambil dari film ini adalah betapa dahsyatknya efek bom waktu ketika meledak. Selain komunikasi, kompromi jadi hal penting yang harus dilakukan sepasang suami istri. Membungkam pasangan, atau melarangnya melakukan ini-itu tanpa mau mendengarkan dan mengindahkan aspirasinya, jelas bukanlah sebuah solusi untuk menjadikan rumah tangga tenteram dan harmonis. Pernikahan tanpa kerja sama di koridor ini berpotensi melahirkan banyak bom waktu akibat konflik yang tidak terlihat karena tidak pernah dibicarakan. Marriage Story berhasil menyampaikan kompleksitas permasalahan dalam pernikahan tanpa menyederhanakan persoalan ataupun dramatisasi berlebihan.
Baca juga: ‘Love for Sale 2’ dan Stereotip Menantu Perempuan Idaman
-
What Maisie Knew (2013)
Film ini menceritakan dampak perceraian orang tua dari perspektif sang anak, kalau penonton mau lebih memperhatikan berbagai detail yang ditunjukkan. Salah satunya sudut pengambilan gambar yang banyak menyoroti sosok Maisie, bocah lima tahun yang orang tuanya bercerai, yang sedang bermain, melamun, atau berjalan sendirian. Maisie tidak pernah marah, menangis, atau terkejut tatkala mendengar suara teriakan ataupun barang yang pecah ketika orang tuanya bertengkar di rumah. Andai bisa, saya ingin sekali mengatakan pada Maisie, bahwa dia tidak perlu memaksa dirinya untuk jadi orang dewasa.
Film ini adalah gambaran realistis tentang besarnya komitmen yang dibutuhkan untuk menjadi orang tua. Kalaupun pada akhirnya memutuskan untuk berpisah, kerja sama antar orang tua ini tidak boleh berhenti. Itu jelas bukan hal yang mudah. Terlebih, banyak orang dewasa yang terjebak dan menganggap anak sebagai objek pasif yang harus melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, alih-alih makhluk logis yang berhak membuat pilihan.
-
Enough Said (2013)
Perceraian mengubah cara pandang seseorang mengenai sebuah hubungan. Kehati-hatian ekstra dan sikap skeptis sebagai hasil trauma, sering kali muncul dan menjadi tantangan tersendiri. Itulah yang terjadi pada Eva, seorang ibu tunggal, tatkala dirinya bertemu dan kemudian menjalin hubungan dengan Albert yang humoris.
Di satu sisi, kehangatan sikap Albert telah membuat Eva merasa nyaman. Di sisi lain, Eva masih ragu sehingga terus mencari validasi dari celah-celah sikap Albert. Konflik batin itu kian terasa ketika Eva berkata pada Albert, “Maybe I was trying to protect myself, you know, because, you know, we've both been married before. And you know how things can turn out,” dan Albert membalasnya dengan pertanyaan, “What about us? What about protecting us?” Albert memang tampak lebih berani buat jatuh cinta ketimbang Eva. Tapi itu bukan berarti ia tidak berjuang untuk melawan ketakutannya sendiri. Kisah Albert dan Eva telah memberi angin segar pada narasi cinta baru bagi mereka yang sudah bercerai. Dan akting mendiang James Gandolfini sebagai Albert sungguh bersinar.
Baca juga: ‘Little Women’: Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta
-
Eat, Pray, Love (2010)
Pernikahan bukanlah tujuan akhir dari hidup manusia. Kita bisa kehilangan diri kita sendiri di dalam pernikahan, kemudian menemukan diri kita kembali setelah bercerai, bahkan dalam versi yang lebih baik. Julia Roberts berhasil membuktikan itu secara apik lewat karakter Elizabeth Gilbert yang penuh jiwa petualang. Dibandingkan dengan empat film yang sebelumnya disebutkan, Eat, Pray, Love rentan dianggap memiliki konflik yang terlampau sederhana. Dan kok ya enak banget perempuan kulit putih yang cukup berada lalu keliling dunia untuk melupakan patah hati. Terlebih karena tokoh utamanya tidak memiliki anak, jadi tidak ada cerita rebut-rebutan hak asuh atau kepusingan menghadapi anak remaja yang memberontak. Tapi film ini bisa menunjukkan bahwa perjalanan self healing untuk meredefinisi diri dan kehidupan sendiri setelah perceraian adalah hal penting dalam hidup manusia yang sering kali terlewat untuk dibahas.
-
The Squid and The Whale (2005)
Satu lagi dari Noah Baumbach, yang kali ini menyoroti sisi anak dalam menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Walt dan Frank, dua anak laki-laki yang memasuki usia remaja, menunjukkan perubahan sikap yang berbeda. Ada Walt yang mulai minum minuman beralkohol (padahal masih di bawah umur) dan mengklaim bahwa salah satu lagu Pink Floyd adalah lagu ciptaannya, juga Frank yang jadi kecanduan masturbasi di sekolah. Yang membuat itu kian miris adalah pengakuan Walt bahwa selama ini dia meniru perilaku kasar dan arogan yang ayahnya tunjukkan. Walt juga mengaku sang ayah tidak pernah benar-benar hadir dan merawatnya.
Film ini membawa nilai penting mengenai bagaimana kondisi relasi antar kedua orang tua secara langsung memengaruhi kondisi psikologis anak. Perceraian tentu bukan faktor tunggal yang harus selalu disalahkan, karena pada kenyataannya ada banyak “orang tua” yang tidak bertanggung jawab pada anaknya meski statusnya masih menikah. Menjaga partnership dengan pasangan ataupun mantan pasangan dalam membesarkan anak adalah hal yang sangat penting. Dari situ, anak akan menginternalisasi nilai-nilai baik mengenai tanggung jawab dengan mencontoh kedua orang tuanya.
Comments