“Astrid”, seorang mahasiswi, merasa kebingungan karena seorang cowok yang sedang ditaksirnya membatalkan rencana untuk menonton film di bioskop karena Astrid sedang menstruasi.
“Aku pikir si cowok menolak ketemu karena takut aku sedang mudah marah dan emosional, seperti stereotip perempuan yang sedang mengalami PMS (premenstrual syndrome),” ujar Astrid, seperti yang dikutip oleh teman dekatnya, “Dita”.
Tetapi beberapa hari kemudian, alasan cowok tersebut akhirnya terbongkar: ia tidak ingin menghamili Astrid.
Astrid bingung karena ia tidak mengerti korelasi antara ia sedang menstruasi, bioskop, dan kehamilan. Ternyata sang cowok mengatakan ia pernah membaca suatu tulisan di media sosial bahwa laki-laki tidak boleh menonton bioskop dengan pacarnya jika si pacar sedang menstruasi, karena pendingin ruangan di bioskop bisa membawa sperma masuk ke dalam ovum perempuan.
Hendra Gunawan, dokter spesialis penyakit dalam dari Klinik Angsamerah yang fokus pada perawatan kesehatan reproduksi dan seksual, mengatakan bahwa memang masih banyak mitos seputar seks yang masih dipercayai banyak orang. Hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan seks yang benar, sehingga banyak orang mendapatkan informasi tentang seks dari media sosial atau sarana lain yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, ujarnya.
“Ditambah mereka juga tidak bisa membahas seks dengan guru, orang tua ataupun teman-temannya karena merasa sebagai topik yang tabu dan hanya pantas dibicarakan dengan pasangannya jika mereka sudah menikah nanti,” kata Hendra.
Berikut adalah lima mitos tentang seks yang menurut Hendra masih dipercayai banyak orang.
1. Ukuran penis menentukan kepuasan seks
Menurut Hendra, ini tidak sepenuhnya benar karena kepuasan dari seks tidak ditentukan oleh ukuran penis saja, tetapi juga dari kemampuan atau kinerjanya.
“Anggaplah ukuran penis adalah modal, bagaimana kita bisa mengolah modal itu dengan baik adalah yang menentukan kepuasan dalam seks,” kata Hendra.
“Jika ukuran penis besar, maka anggaplah itu memiliki keuntungan yang dasar. Tetapi jika tidak dapat digunakan dengan benar, ya sama saja, percuma,” tambahnya.
Baca juga: 5 Cara Dobrak Stereotip Peran Gender dalam Keluarga
2. Dapat hamil dengan cara lain selain penetrasi
Kehamilan terjadi jika sperma masuk ke dalam vagina dan sel-sel sperma mencari sel telur, dan hal ini hanya bisa dimungkinkan dengan adanya penetrasi. Kebanyakan sperma tidak dapat bertahan jika bersentuhan dengan udara. Karenanya, menurut Hendra, informasi yang dipercayai oleh laki-laki yang ditaksir oleh Astrid, atau bahwa seorang perempuan dapat hamil jika ada sperma di dalam kolam renang atau melalui seks oral, adalah tidak benar.
3. Perempuan tidak bisa orgasme
Banyak laki-laki (dan bahkan perempuan sendiri) yang tidak menyadari bahwa perempuan bisa mencapai klimaks atau orgasme. Hal ini mungkin terjadi karena proses orgasme perempuan tidak terlihat sejelas orgasme laki-laki.
“Ini sungguh tidak benar karena enak saja ya kalau laki-lakinya saja yang mendapatkan kepuasan,” kata Hendra.
“Perempuan pastinya bisa orgasme tetapi terkadang karena kurangnya pengetahuan mengenai ini, laki-lakinya tidak mengetahui cara yang tepat untuk membuat pasangannya orgasme. Bahkan ada yang percaya bahwa perempuan tidak dapat mencapai kepuasan melalui seks,” tambahnya.
4. Vagina yang ideal adalah vagina yang kering dan sempit
Sejumlah orang percaya bahwa vagina yang ideal adalah vagina yang tidak memproduksi banyak cairan dan juga sempit. Mereka yakin bahwa ukuran vagina itu tergantung oleh seberapa seringnya mereka melakukan hubungan seks, bukan karena memang pengaruh fisik dan genetisnya.
“Sebenarnya saya juga tidak tahu vagina yang ideal seperti apa,” kata Hendra sambil tertawa.
Menurutnya, cairan yang dikeluarkan oleh seorang perempuan saat dia terangsang adalah cairan yang akan menjadi pelumas untuk penetrasi penis. Cairan yang diproduksi juga tergantung dari kondisi setiap orang. Ukuran vaginanya sendiri atau sempit tidaknya vagina juga tergantung dari perempuannya sendiri. Hendra mengatakan bahwa tinggi badan, ukuran panggul, kesehatan, dan juga kebiasaan perempuan tersebut dapat memengaruhi produksi cairan dan ukuran vagina.
“Tidak ada yang namanya overproducing natural lubrication, karena itu justru reaksi yang akan membantu dalam kepuasan seks agar tidak ada gesekan yang membuat tidak nyaman. Justru kalau vagina tidak memproduksi cairan yang cukup, you’re doing something wrong,” kata Hendra.
Baca juga: Pendidikan Seks di Usia Dini Bisa Cegah Kekerasan Seksual pada Anak
5. Perempuan tidak menonton film biru atau pornografi
Menurut Hendra, mitos ini dapat dipengaruhi dengan adanya sudut pandang kuno dan misoginis yang menganggap perempuan adalah inferior. Karenanya, banyak orang percaya bahwa pornografi atau topik mengenai seks adalah sebuah topik yang maskulin, seakan-akan perempuan tidak bisa menyukai seks.
“Banyak kok teman-teman perempuan saya yang juga menonton pornografi. Terkadang malah lebih banyak variasinya daripada laki-laki, and there’s nothing wrong with that,” ujar Hendra.
Sama halnya dengan laki-laki, mungkin mereka menonton pornografi karena memang sumber pengetahuan tentang seks terbatas jadi mereka mencari pengetahuan dari film-film tersebut. “Atau ya, memang mereka cuma suka menontonnya saja,” tambahnya.
Hendra menceritakan bahwa kita harus mulai menghentikan perasaan tabu, takut dan malu jika membicarakan tentang seks. Menurutnya, kita bisa memulai dengan membahas topik tersebut secara terbuka dengan teman-teman dekat kita, pasangan, dan kepada anak-anak kita pada saat kita sudah berkeluarga nanti.
“Karena pada dasarnya seks adalah suatu kebutuhan biologis yang dilakukan dua orang dengan consent. Pendidikan seks tidak hanya membahas kegiatan seksnya sendiri tetapi juga untuk menjelaskan kesehatan, risiko, konsekuensi, masalah yang dapat terjadi, dan juga manfaat dari seks sendiri,” kata Hendra.
“Dengan terbuka dengan topik ini, kita dapat membahas seks dengan informasi yang tepat. Dengan ini kita dapat mengurangi misinformasi tentang seks dan tentunya mengurangi mitos-mitos seperti ini.”
Artikel ini adalah bagian dari kampanye 1001 Cara Bicara, hasil kerja sama Magdalene dan SKATA, sebuah inisitiaf digital yang membantu pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik.
Comments