Penulis Erni Aladjai, 33, tumbuh dengan keresahan terhadap permusuhan dua kampung di daerah asalnya di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Ujung pangkal perseteruan itu tidak jelas, konon sejak zaman kerajaan berabad lampau, namun dendam masa lalu itu diturunkan sampai sekarang. Meski tidak sampai menimbulkan konflik berdarah, kedua kelompok itu tidak saling berinteraksi satu sama lain.
Pada 2017, Erni kemudian mendapatkan ide menggunakan paupe, seni puisi tradisional Banggai yang sudah lama tidak dipraktikkan oleh masyarakat lokal, sebagai medium perdamaian. Ia mengajak remaja-remaja dari dua desa tersebut untuk belajar bersama dan membuat paupe. Hasilnya, banyak sekali yang antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, termasuk para orang tua yang mengikutsertakan anak-anaknya.
“Kami menggunakan pondok-pondok kecil untuk mengumpulkan anak-anak itu, dan menciptakan syair perdamaian. Mereka diajarkan oleh salah satu seorang seniman tua satu-satunya di kepulauan itu,” ujar Erni, novelis peraih penghargaan Dewan Kesenian Jakarta yang juga penggerak pustaka bergerak bernama Bois Pustaka di Banggai.
Meski idenya terdengar sederhana, namun program ini sangat menantang secara sosial dan juga geografis, mengingat bentuk Banggai sebagai kepulauan dengan infrastruktur yang sangat tidak memadai.
“Tantangannya bukan lagi karena saya perempuan, tapi lebih kepada infrastruktur dan birokrasi aparat pemerintah di sana, apalagi di sana seni itu dianggap remeh oleh aparat-aparat desanya,” tambah Erni dalam diskusi “Seni dan Aktivisme 101” Sabtu (23/2) di toko buku Aksara, Jakarta Selatan.
Diberi nama Re-present Paupe, inisiatif Erni ini kemudian meraih Hibah Cipta Perdamaian 2017 dari Yayasan Kelola, organisasi nirlaba nasional yang fokus pada pengembangan seni budaya Indonesia agar terus berkembang dan berdaya saing di dunia internasional.
Pengalaman Erni serta pembicara lainnya dalam diskusi menunjukkan bahwa seni dapat menjadi medium penting dalam aktivisme sosial, atau sering disebut artivisme. Direktur Yayasan Kelola, Gita Hastarika mengatakan, artivisme ini belum terlalu dikenal masyarakat, padahal banyak sekali praktik seni yang dapat digunakan sebagai medium untuk menciptakan perubahan.
“Praktik seni adalah sesuatu yang cair dan dapat digunakan sebagai alat perubahan di daerah-daerah tempat asal para peserta hibah seni ini, dan kita dapat bertukar ide-ide tersebut,” ujar Gita.
Inisiatif-inisiatif peraih hibah tersebut kemudian dikumpulkan dalam buku Unjuk Rasa Seni – Performativitas dan Aktivisme, dengan jumlah total 20 peserta untuk periode 2017 dan 2018.
Selain tantangan dari aparat lokal dalam melakukan artivisme, tantangan lainnya datang dari orang-orang luar yang tidak paham konteks daerah tersebut. Hal ini dialami oleh Jatiwangi Art Factory (JAF) dari Majalengka, Jawa Barat, yang menggunakan seni untuk memberdayakan masyarakat yang sebagian besar adalah buruh pabrik genteng dan petani penggiling beras. JAF mengenalkan seni dengan cara-cara sederhana, seperti menggunakan material tanah dalam berbagai karya seni yang mereka ciptakan.
“Kami menggunakan material tanah karena material ini yang sangat dekat dengan mereka. Lalu dari material tersebut dibuat alat musik, setelah itu dibuat sebuah band, lalu terakhir menjadi sebuah pertunjukan. Jadi tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa yang sulit, yang penting menyenangkan bagi masyarakat,” ujar Bunga Siagian, pengelola Badan Kajian Pertanahan (BKP) yang merupakan bagian dari Jatiwangi Art Factory.
BKP mendapat tantangan saat membuat proyek bersama ibu-ibu untuk membuat masakan dari bahan-bahan yang sudah jarang digunakan. Dari ide tersebut, dibuatlah lomba memasak, dan untuk menarik perhatian masyarakat lainnya, foto ibu-ibu tersebut digunakan sebagai poster.
“Poster itu membuat kami dituduh memosisikan perempuan di dapur terus. Padahal seharusnya melihat situasi dan kondisi yang terjadi di daerah tersebut,” ujar Bunga.
Inisiatif JAF yang lain adalah membuat tasbih dari tanah yang diambil dari delapan desa yang wilayahnya tercakup dalam klaim dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
“Kita mencoba menduduki tanah itu lagi lewat karya, salah satunya membuat tasbih. Kami membagikannya ke pengajian-pengajian, istilahnya minta didoakan. Setelah itu kami juga membuat pertunjukan gotong rumah yang melibatkan semua lapisan masyarakat, ada dari pemerintah, tentara, ulama, dan masyarakatnya sendiri,” kata Bunga.
Pada awalnya, masyarakat yang berpartisipasi hanya sedikit. Namun, seiring berjalannya waktu, Bunga mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat meningkat dan ini juga berpengaruh pada meningkatnya kepercayaan diri mereka. Kolaborasi-kolaborasi inilah yang membantu masyarakat lebih percaya diri dengan hal yang mereka kerjakan lewat seni yang dibuat, ujarnya.
“Dengan mengolah tanah tersebut bersama dengan masyarakat, mereka jadi semakin percaya diri, bahwa tanah ini bisa bermanfaat bagi kami, dan kebudayaan tanah ini kami yang mengelola, bukan AURI,” kata Bunga.
Baca tentang beban berlipat yang ditanggung transmigran perempuan.
Comments