Representasi keberagaman dalam sastra yang mencakup ras, budaya, identitas gender, orientasi seksual menjadi dambaan banyak pembaca. Namun, isu tentang representasi perspektif di luar pandangan laki-laki kulit putih heteroseksual yang tipikal lebih kompleks dari sekadar memberikan karakter beragam. Terdapat banyak pertimbangan tentang representasi keberagaman yang inklusif dalam literatur, seperti siapa penulisnya, editor, penerbit, dan pelbagai sektor yang bermain di balik layar.
Representasi juga hadir dengan bebannya sendiri untuk sastrawan kelompok marginal, sehingga suara mereka sering diasumsikan sebagai satu-satunya perspektif dari komunitas mereka, ujar penyair asal Filipina, Eunice Andrada. Ia mengatakan, supremasi kulit putih dan pandangan kolonial (colonial gaze) adalah penyebabnya.
“Ada kerja dari white supremacy yang memaksa untuk melihat satu suara mewakili keseluruhan komunitas marginal. Ketika mereka [kelompok dominan] membaca karya penulis marginal, ada colonial gaze yang memisahkan suara saya dengan komunitas saya,” ujarnya dalam diskusi virtual “Donning the Cape—On The Power and Limit of Representation” yang digelar oleh Jakarta International Literary Festival (JILF) (5/12).
Baca juga: ‘Herstory’: Mengangkat Pahlawan-pahlawan Perempuan di Tepi Sejarah
Andrada mengatakan, satu orang yang menjadi representatif untuk keseluruhan sudut pandang suatu komunitas adalah bentuk kekerasan, karena hal itu menghilangkan agensi individu atau masyarakat berbicara untuk diri mereka sendiri.
“Representasi seharusnya tidak melihat satu suara saja yang valid, sementara banyak cerita dan perspektif lain yang belum ditemukan. Yang perlu kita lakukan adalah menghancurkan pagar elitis itu,” kata Andrada yang menulis kumpulan puisi Flood Damages.
Penulis dan ilustrator Bonni Rambatan mengatakan, bahwa colonial gaze itu membuat masyarakat melihat orang tertentu sebagai ‘default’, yang tentu saja berupa laki-laki kulit putih heteroseksual.
“Saya rasa orang berkeinginan baik untuk membawa lebih banyak representasi, tapi tetap melihat keragaman ras, identitas gender yang berbeda dan lainnya sekadar sebagai ornamen yang bagus,” kata Bonni.
Andrada mengatakan ia berfokus pada gerakan untuk menghancurkan bentuk kekerasan media dan internet kepada perempuan Filipina yang ditampilkan dalam dua spektrum toksik: sebagai objek untuk hasrat seksual dan objek yang harus dihancurkan. Lewat puisinya, Andrada melawan narasi yang tidak memanusiakan perempuan itu, sekaligus bentuk penghormatan untuk perempuan kelas pekerja di keluarganya.
Kendati demikian, ia tidak merasa karyanya mampu menjadi representasi untuk seluruh perempuan di komunitasnya karena pengalaman perempuan Filipina sangat beragam. Selain itu, pengalaman mereka juga terintegrasi dengan identitas gender, seksualitas, dan kelas ekonomi-sosial yang sangat berbeda.
“Saya tidak ingin dipahami seperti itu [representatif] karena ada privilese yang membuat saya tidak cocok. Alih-alih representatif, saya ingin dilihat sebagai suara yang tidak terpisahkan dari komunitas saya dan puisi saya sebagai persembahan dan jembatan untuk suara perempuan FIlipina lainnya,” ujarnya.
Tatapan heteroseksual dari pembaca
Seiring hadirnya colonial gaze ada juga heterosexual gaze atau sudut pandang heteroseksual dari pembaca buku karya penulis queer. Heterosexual gaze itu datang dengan prasangka dan kritik apakah karya dengan karakter LGBTQ+ adalah seruan identitas politik. Padahal untuk penulis queer, karya mereka tidak memiliki sangkut paut dengan propaganda identitas politik.
Baca juga: ‘All Male Authors’ di Nominasi Penghargaan Sastra 2020 Badan Bahasa
“Saat membahas tentang representasi, kita harus bahas pandangan yang melihat representasi itu. Paling penting, imajinasi siapa yang bekerja saat melihat karya literasi dan gaze apa yang digunakan penulis, editor, penerbit, dan pembaca saat melihat buku itu,” jelas Norman Erikson Pasaribu, penulis Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya, yang juga menjadi panelis diskusi.
Bagi pembaca mayoritas Indonesia yang perspektifnya masih didominasi sudut pandang heteroseksual, Jawa dan Muslim, hubungan karakter queer dengan latar belakang Batak, Kristen, dan berasal dari Bekasi (non-Jakarta) seperti dirinya kerap dianggap terlalu rumit.
“Saat berbicara tentang representasi queer, pembaca tidak ingin identitas berlapis. Jika saya tidak menuliskan aspeknya secara keseluruhan, maka saya tidak menulis apa yang saya inginkan. Jadi, ada jarak antara queer creative writing dan hetero-reading,” tambahnya.
Norman juga melihat ada kecenderungan dari publik untuk menyambut dengan bahagia penulis heteroseksual yang menulis tentang karakter LGBTQ+ dan secara bersamaan mengusik penulis queer. Padahal menulis karakter queer dalam buku tidak otomatis membuat mereka menjadi sekutu untuk komunitas LGBTQ+, ujarnya.
Satu orang yang menjadi representatif untuk keseluruhan sudut pandang suatu komunitas adalah bentuk kekerasan, karena hal itu menghilangkan agensi individu atau masyarakat berbicara untuk diri mereka sendiri.
“Menulis karakter queer memang tidak langsung membuatmu [menjadi] ally, tapi bergantung pada apa yang ditulis, bagaimana menulisnya, dan apakah respectful enough to write it. Sama juga kalau bilang saya tidak rasialis karena punya tiga teman kulit hitam,” tambah Norman.
Tampilkan ragam identitas, asal ada profit
Bagaimana cara untuk memberikan representasi bermakna bagi pembaca?
“Representasi menjadi bermakna jika bisa mengangkat semua suara dan memastikan mereka ada akses dan kesempatan untuk memberikan perspektif mereka,” ujar Andrada.
Bonni, yang menjalankan bisnis komik, mengatakan bahwa dalam sektor bisnis, representasi menjadi bagus asal membawa keuntungan untuk mereka yang sudah berkuasa. Narasi untuk cerita selalu digiring ke apa isu atau produk yang disukai pasar, ujarnya.
Namun, jika menelisik konten yang disesuaikan oleh algoritme berdasar “selera” masyarakat Indonesia, banyak di antaranya menunjukkan kekerasan, baik secara verbal melalui kata kasar untuk menghina kelompok tertentu atau pelecehan seksual dibalut sebutan prank. Lanskap informasi yang disajikan pada publik adalah prasangka untuk merundung kelompok marginal dan tidak berprivilese. Dari sana, muncul asumsi bahwa selera jelek ini adalah kesalahan masyarakat.
Baca juga: Lasminingrat Lawan Perjodohan di Tatar Sunda Lewat Sastra
Bonni mengatakan, algoritme yang tidak bekerja untuk orang terpinggirkan adalah penyebab muncul banyaknya konten toksik. Bila diasumsikan, telah banyak konten yang menunjukkan keberagaman masyarakat, tetapi sistem pencarian masih melawan kelompok marginal, maka menjadi tanda tanya siapa yang akan mengonsumsi konten tersebut.
Secara struktural, kelompok marginal juga lebih sulit memiliki akses informasi, pasar, dan kesempatan untuk menyampaikan keberagaman narasi mereka dibanding kelompok dominan. Maka, tidak heran masyarakat berprivilese jauh lebih terbuka dengan identitas gender maupun seksualitasnya. Situasi ini pun mampu menciptakan kesenjangan lebih besar akan isu representasi, ujarnya.
“Melihat isu representasi dari kekayaan identitas dan dasarnya saja tanpa mengobservasi pasar itu tidak cukup. Masih ada tugas untuk menghadapi permasalahan struktural dan isu ekonomi yang melihat representasi bertugas untuk keuntungan,” ujar Bonni.
Sementara itu, Norman menyatakan, “Kalau ingin membebaskan orang yang dimarginalkan, seluruh sistem harus dibongkar. Sayangnya, agak susah karena ada beberapa orang muda yang ingin mempertahankan status quo karena diuntungkan.”
Comments