“Waktu pacaran, (uang) sepuluh ribu itu bisa jadi romantis, tapi kalau sudah nikah mah sepuluh ribu bisa dilepehin,” kata “Tari” sambil tertawa. Siang itu kami bertemu di rumah kontrakannya yang sederhana di Tangerang Selatan, yang didiaminya bersama suami.
Tari menikah setahun yang lalu, dibuatkan resepsi indah di rumah orang tuanya, dan sebelum itu juga membuat foto pre-wedding sesuai dengan konsep yang ia inginkan. Tidak ada alasan yang mendesak untuk menikah; keluarga menganggap Tari sudah siap menjalani rumah tangga di usianya yang mencapai 21 tahun.
Tapi sebetulnya, di lubuk hati paling dalam, ia masih ingin hidup melajang dan bekerja sambil mengenyam pendidikan. Ia mengatakan terkadang tidak habis pikir dengan pola pikir teman-temannya yang mendukung kampanye gerakan nikah muda.
“Padahal nikah mah nggak seindah yang diomongin di Instagram mereka,” ujarnya.
Baru menikah setahun, Tari menghadapi kenyataan yang berbeda dengan saat pacaran dan yang didengung-dengungkan di media sosial. Mereka sering bertengkar, dan suaminya, yang berusia empat tahun lebih tua, terkadang berlaku kasar, mulai dari mengolok-olok sampai membentak hanya karena masalah sepele.
“Ya .. yang aku baca dari tulisan Komnas Perempuan, apa yang dia lakuin udah termasuk kekerasan,” katanya.
Ketika Tari bertengkar dengan suaminya, biasanya ia mengadu pada keluarganya, menyindir lewat status di Facebook, atau curhat dengan orang yang ia percayai di luar lingkup keluarga, karena terkadang curhat dengan keluarga malah dihakimi dan malah dirinya yang disalahkan.
“’Kamu kalau mau curhat, curhat ke Tuhan saja,’” kata Tari, mengutip suaminya.
Tempat mencari solusi terkadang sangat susah ia cari. Untuk ukuran seusianya, meminta solusi pada teman sebaya yang sudah menikah pun tak bisa menjawab keresahan Tari. Sekarang ia semakin tertekan karena sedang hamil lima bulan dan cuti kuliah, sehingga lebih banyak berada di rumah.
KDRT pada pasangan muda
Kasus yang menimpa Tari tidak unik dialaminya. Tren menikah di usia muda (biasanya di usia masih sekolah atau kuliah) di kalangan kelas menengah urban di Indonesia adalah salah satu faktor yang mendorong tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pada laporan catatan tahunan Komnas Perempuan (Catahu) 2016, KDRT masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 11.207 kasus, dengan 60 persen korbannya adalah istri. Menurut Catahu 2016, kelompok usia yang banyak menjadi korban adalah 13-18 tahun dengan jumlah korban tercatat 1.494 orang dan pelaku 514 kasus. Dalam kelompok usia 19-24 tahun, jumlah korban mencapai 700 dan pelaku 654 orang, sebuah kelompok usia dewasa muda dengan hubungan dalam masa pacaran atau masa awal pernikahan.
Padahal nikah mah nggak seindah yang diomongin di Instagram mereka.
Tentunya jumlah ini adalah puncak gunung es karena korban sebagian besar masih tidak ingin melaporkan kasusnya, berpikir bahwa hal itu adalah privasi, aib dan sebagainya. Selain itu, mereka masih belum terjangkau layanan dan pasangan muda ini tidak tahu mengenai organisasi-organisasi yang menangani kasus ini.
Staf Komnas Perempuan Mia Olivia mengatakan, jangankan melapor, perempuan-perempuan muda ini sering kali tidak tahu kalau mereka sudah mengalami KDRT. Mereka pikir KDRT hanyalah sebatas kekerasan fisik, padahal ada berbagai macam kekerasan dalam wilayah domestik, mulai dari fisik, psikis, ekonomi dan seksual.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan ini, tren KDRT memperlihatkan bahwa semakin banyak korban yang berusia muda dan ada ketimpangan gender dalam suatu hubungan suami istri.
Menurut psikolog Kristi Poerwandari, hal ini dikarenakan si individu belum memahami dirinya sendiri, apalagi ketika korban dalam usia dimana mereka seharusnya mengeksplorasi diri sendiri.
“Mereka perlu paham apa yang membuat mereka nyaman dan enggak nyaman. Paham apa yang mereka inginkan. Ada juga yang enggak tahu, nah ini yang perlu kita bantu sadarkan, karena yang akan menjalani hidupnya ya dirinya sendiri,” ujarnya.
Kristi menambahkan bahwa salah satu cara agar mereka sadar dengan apa yang diinginkan oleh mereka adalah mencari orang-orang yang tidak akan menghakimi mereka untuk menjadi diri mereka sendiri.
“Ketika mereka di dalam hubungan itu dan merasa bukan diri mereka sendiri, itu sudah termasuk dalam kekerasan,” ujarnya.
Konseling Pernikahan Sejak Masa Puber
Koordinator komunikasi dan advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Frenia Nababan menjelaskan, ada banyak aspek yang perlu dipersiapkan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah. Persiapan itu meliputi dimensi masa depan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, ujarnya.
“Dalam perencanaan keluarga itu harus dipikirkan masa depannya ingin seperti apa. Mereka harus sama-sama sehat untuk melahirkan anak yang sehat juga. Lalu juga dipikirkan kesehatan anaknya seperti imunisasi dan lain sebagainya. Kemudian apakah kesejahteraan mereka cukup dan tidak, belum lagi soal pendidikan, dari pendidikan mereka sendiri dan anak mereka,” katanya.
Dimensi-dimensi ini sangat penting dipersiapkan bagi pasangan yang ingin menikah, agar ke depannya mereka dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas, tambah Frenia.
Lembaga Plan Internasional menemukan beberapa oknum pejabat daerah yang memberikan dispensasi-dispensasi, salah satunya dengan mengubah usia anak dalam proses pencatatan perkawinan untuk memenuhi batas minimum perkawinan – 16 untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Sebelum menikah, calon-calon pasangan suami istri ini seharusnya diberikan sebuah konseling pranikah. Namun beberapa pasangan muda yang ditanyai mengenai hal ini mengatakan mereka tidak mendapatkannya. Jika pun ada, hanya bersifat nasihat-nasihat dalam satu hari itu saja.
“Iya aku waktu itu dapat dari KUA (Kantor Urusan Agama) cuma satu hari aja, isinya tentang tanggung jawab suami itu apa, tanggung jawab istri itu apa,” kata Tari.
Menurut Frenia, pelajaran mengenai pernikahan seharusnya sudah dipersiapkan sejak remaja beranjak puber.
“Konseling pranikah itu untuk mereka yang memang sudah ingin menikah. Nah, sebelum mereka memutuskan untuk menikah kan mereka harus tahu konsekuensi dari menikah. Jadi memang seharusnya disiapkan dari mereka puber, disesuaikan dengan perkembangan reproduksi dan psikologis mereka,” katanya.
Married by Accident (MBA) atau kehamilan yang tidak diinginkan adalah penyebab sebagian besar pasangan-pasangan muda ini memutuskan untuk menikah. Jika kedua pasangan tersebut sudah di atas 17 tahun, mereka dapat menikah secara resmi di KUA. Jika tidak, ada dua cara yang dapat membantu pasangan ini, yaitu menikah siri atau memanipulasi data umur mereka.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF, yang bekerja sama dalam kajian perkawinan usia anak, menunjukkan temuan terbaru lembaga Plan Internasional bahwa sejumlah pegawai pemerintahan daerah yang memberikan dispensasi-dispensasi. Salah satunya dengan mengubah usia anak dalam proses pencatatan perkawinan padahal batas minimum seseorang untuk dapat menikah menurut Undang-undang Perkawinan adalah 16 untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Keputusan untuk menikah karena kasus kehamilan yang tidak dinginkan ini, terjadi pada Iswari. Ketika teman-temannya tengah sibuk bekerja atau kuliah, Iswari yang baru berusia 19 tahun saat itu harus memutuskan untuk menikah dengan pasangannya karena ia sudah terlanjur hamil.
“Bukan karena cinta, tapi aku memang terpaksa karena aku nggak mau anakku nanti lahir nggak punya bapak,” ujarnya dalam obrolan lewat telepon. Iswari kini berusia 21 tahun dan hanya hidup bersama anaknya yang baru berusia satu tahun.
Suami Iswari meninggalkan mereka begitu saja karena masalah keuangan yang melanda pernikahan yang baru beberapa bulan itu. Sebelumnya, suaminya juga sudah mengabaikan kewajibannya untuk mengurus anak mereka. Bahkan ketika anak mereka sakit, Iswari harus menahan malu untuk meminjam uang pada temannya.
Kehamilan yang tidak diinginkan memang sebagian besar berujung pada pernikahan dini yang benar-benar tanpa persiapan. Frenia mengatakan ini terjadi karena edukasi kesehatan reproduksi yang diberikan di sekolah masih kurang menjelaskan secara komprehensif mengenai masalah kesehatan reproduksi. Karena tidak dipersiapkan dan dijalankan terpaksa atas nama ‘tanggung jawab’, ujung-ujungnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dengan berbagai bentuk, ujarnya.
Mencari pertolongan
Jika kamu sudah menikah lalu menyadari berada dalam hubungan yang tidak sehat bahkan sudah dilukai secara fisik oleh pasanganmu, kamu perlu tahu bahwa kamu tidak sendiri dalam menghadapi masalah ini. Cari orang yang dapat kamu mintai tolong, atau tempat yang dituju, ujar Frenia.
Simpan barang-barang berharga seperti KTP, ijazah, buku tabungan, dan uang dalam satu tempat yang aman, agar ketika dalam situasi genting saat pasanganmu melakukan kekerasan kamu bisa menyelamatkan hal-hal itu. Bahkan kamu perlu menyiapkan satu tas berisi keperluanmu seperti pakaian dan handuk, saat kamu memutuskan untuk keluar dari rumah. Kamu juga perlu menyimpan nomor-nomor penting yang dapat dihubungi ketika kamu dalam situasi seperti ini, seperti nomor telepon teman, keluarga, pihak kepolisian, atau lembaga pemerhati isu kekerasan terhadap perempuan.
Mia Olivia dari Komnas Perempuan mengatakan, korban kekerasan rumah tangga juga dapat menghubungi Komnas Perempuan terlebih dahulu dan setelah itu lembaga itu dapat mengarahkan bantuan apa yang memang diperlukan oleh orang tersebut.
“Apakah mereka perlu bantuan hukum, atau konseling ke psikolog, malah kadang mereka yang telepon itu hanya sekadar ingin bercerita saja. Tentu ketika mereka bercerita kami mencatat bagaimana kronologinya dan lain sebagainya untuk setelah itu kami masukkan ke catatan tahunan,” ujarnya.
Mutiara Malika Proehuman adalah salah satu penyintas yang kini juga menjadi pendamping para penyintas KDRT.
“Aku tahu rasanya nggak punya rumah, aku tahu rasanya enggak tahu mau ke mana,” ujarnya. Ia membuat Whatsapp Group untuk mereka saling bercerita, dan jika ada penyintas yang membutuhkan tindakan khusus, Mutiara akan merekomendasikan ke seorang psikolog.
Dalam menangani dampingannya, Mutiara lebih fokus untuk membuat para penyintas ini dapat berdaya dan tidak bergantung padanya.
“Bagaimana pun supaya mereka berdaya, jadi kuncinya sebenarnya pemberdayaan.”
Ia juga mengatakan bahwa kelompok pendukung yang ideal tetap dari pihak keluarga dan sahabat sebagai fungsi penguatan, dan hal yang sama juga disampaikan oleh Kristi.
“Kadang kalau bercerita ke psikolog enggak terlalu nyaman. Dan mungkin kita lebih ke arah melatih konselor sebaya, jadi tidak melulu harus ke ahli. Intinya kan mereka butuh tempat untuk didengarkan tanpa dihakimi. Nah, ketika konselor sebaya ini melihat permasalahan yang dihadapi rumit atau sulit baru dioper ke ahli,” ujarnya.
Baca artikel Elma tentang kampanye menikah muda.
Comments