Women Lead Pendidikan Seks
May 31, 2016

Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia

Mengatasi masalah kejahatan seksual yang marak di Indonesia memerlukan bangsa ini untuk mengakui adanya budaya pemerkosaan dan mengubahnya.

by Devi Asmarani
Issues // Politics and Society
Share:

Waktu saya remaja, ada lelucon yang beredar tentang laki-laki yang merampok seorang janda di rumahnya dan kemudian memperkosanya. Setelah itu, ketika bersiap hendak pergi, sang janda membalas: “Mau pulang atau mau ulang?”
Bahkan ketika masih SMP, saya merasa ada yang aneh dengan lelucon tersebut, terutama karena merefleksikan perilaku sosial sampai hari ini, yang menganggap janda itu kurang bermoral, gila seks dan tukang merebut suami orang. Tapi saya ikut ketawa waktu itu, berpikir bahwa itu gurauan orang dewasa yang saya belum “pahami.” Bertahun-tahun kemudian, saat kuliah di Amerika, saya sering mendengar ekspresi dengan sentimen serupa: “Can’t rape the willing” atau bukan pemerkosaan kalau orangnya mau.
 
Lama sesudah itu baru saya paham apa yang sangat salah dengan becandaan itu: pemerkosaan bukanlah hal yang lucu. Pemerkosaan itu sesuatu yang mengerikan. Lelucon itu juga cerminan masyarakat yang menganggap kekerasan seksual normal, menyamakannya dengan sejenis hubungan seksual bukannya sebuah serangan, dan mempersalahkan korban. Ini alasan kenapa banyak korban pemerkosaan tidak mau terbuka dan mengapa banyak pemerkosa tetap bebas dan tidak pernah dihukum.
 
Saya sendiri seorang penyintas kekerasan seksual, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk akhirnya menyadari bahwa yang terjadi pada saya adalah salah dan itu bukan kesalahan saya. Yang saya tahu saat itu adalah bahwa mengakui saya dicabuli hampir setiap hari akan mengekspos saya, membuat saya ada dalam kategori yang sama dengan “cewek-cewek rusak.” Karena, seperti tanggapan ibu saya dulu terhadap keluhan kakak perempuan saya mengenai para pembantu laki-laki (orang-orang sama yang mencabuli saya waktu itu) yang suka mengintip: “memang cowok seperti itu.”
 
Jadi saya tutup mulut dan belajar untuk duduk dengan kaki yang selalu tertutup rapat ketika ada pembantu laki-laki. Saya juga belajar untuk mengunci pintu kamar, meskipun hal itu tidak berhasil menghentikan pencabulan. Saya tumbuh menjadi pribadi yang selalu waspada untuk tidak mengirim sinyal-sinyal yang salah kepada anak laki-laki dan dewasa, sesuatu yang secara bawah sadar masih saya lakukan sekarang.
 
Sejak saya terbuka mengenai pengalaman saya, banyak perempuan mengatakan kepada saya bahwa mereka juga mengalami kekerasan seksual. Beberapa diantaranya begitu mengerikan sampai saya tidak tahan untuk tidak menangis ketika mereka menceritakan kembali pengalamannya secara langsung atau lewat email atau SMS.




Ada yang berulangkali dicabuli ayahnya, ada yang oleh abangnya ketika tumbuh remaja, dan ada yang diperkosa tetangganya. Untuk beberapa dari mereka, saya adalah orang pertama yang mereka beritahu mengenai pemerkosaan atau pelecehan yang mereka alami. Hal yang paling menyedihkan adalah bahwa dalam sebagian besar hidup mereka, mereka berasumsi telah melakukan sesuatu yang salah sampai mengundang serangan tersebut, yang seringkali dilakukan oleh orang yang mereka percayai. Dan yang mengerikan adalah, tidak ada satupun dari pemerkosa atau penyerang itu pernah dihukum, atau bahkan dilaporkan.
 
Semakin banyak kisah yang saya dengar, semakin jelas bagi saya bahwa kekerasan seksual itu endemis di Indonesia. Statistik tidak berbohong: setiap dua jam, tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di negara ini, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dan angka ini hanyalah puncak gunung es.
 
Serentetan kasus pemerkosaan brutal dan pembunuhan gadis-gadis muda baru-baru ini telah menarik perhatian media secara luas, dan tekanan dari kelompok-kelompok perempuan dan para aktivis telah membuat pemerintah dan parlemen menanggapi dengan membuat rancangan undang-undang baru mengenai kekerasan seksual. 
Peristiwa-peristiwa itu juga telah memicu pemikiran mengapa masalah tersebut begitu merasuk di negara ini. Muncul pertanyaan-pertanyaan, meskipun hampir tidak menyentuh akar permasalahan, yang menekankan pada faktor-faktor eksternal seperti alkohol dan pornografi sebagai pemicu kejahatan seksual. Di luar lingkaran feminis dan mereka yang memiliki perspektif gender, kelihatannya sedikit sekali pembahasan mengenai sebab nyata tingginya angka kejahatan seksual: budaya pemerkosaan.
Mengapa ini sebuah “budaya”
Secara sederhana, budaya pemerkosaan adalah lingkungan di mana kekerasan seksual mengakar dan dinormalisasi dalam media, budaya pop dan masyarakat. Hal ini seringkali ada, meski tidak secara eksklusif, dalam masyarakat yang sangat patriarkis dimana dinamika gender melenceng, dengan perempuan sebagai subordinasi laki-laki, dan kurangnya kesetaraan gender secara umum.   
 
Budaya pemerkosaan mengejawantah dalam cara media mengobyektifikasi perempuan; dalam interaksi sosial sehari-hari, bagaimana perempuan dinilai dari penampilan fisik; dalam bahasa kita, yang menjadikan pemerkosaan lelucon, atau penghalusan kata “memperkosa” menjadi “menggagahi” atau “menodai”; dalam perangkat hukum yang tidak berpihak pada korban pemerkosaan; dalam sikap penegak hukum yang kurang berempati kepada korban dan apatisme mereka ketika menangani kasus-kasus pemerkosaan, sehingga para penyintas enggan mencari keadilan; dalam budaya yang menstigmatisasi korban kekerasan seksual sebagai perempuan ternoda; dan dalam banyak hal lain.
 

Para sosiolog percaya bahwa budaya pemerkosaan mengaitkan hubungan seks yang tidak konsensual dengan struktur budaya masyarakat yang sangat patriarkis, menyebabkan pemerkosaan diterima luas secara sosial dan institusional. 

 
Menyalahkan korban adalah salah satu ciri-ciri paling jelas dari budaya pemerkosaan. Melontarkan pertanyaan seperti apa yang dikenakan perempuan ketika ia diperkosa, atau apakah ia minum alkohol, atau mengapa ia sendirian saat itu di tempat tersebut, adalah beberapa dari cara yang umum dalam mempersalahkan korban.
Pendamping penyintas kekerasan seksual di Indonesia terbiasa mendengar polisi, jaksa penuntut atau hakim bertanya hal-hal seperti itu pada korban. Beberapa tahun lalu, seorang perempuan yang menghadapi serangan seksual dari empat pegawai TransJakarta di sebuah halte di Jakarta Pusat secara nyata dilecehkan oleh majelis hakim, yang bertanya warna beha yang ia pakai hari itu dan mengapa ia memakai celana selutut padahal ia Muslim dari Aceh. Pada akhirnya, keempat pria itu hanya dihukum 18 bulan penjara, semakin menghina korban yang harus mengalami trauma fisik dan psikologis sepanjang hidupnya.
 
Reaksi dan komentar dari para pejabat tinggi dan politisi mencerminkan bagaimana kelompok elit melihat pemerkosaan. Beberapa tahun lalu, Gubernur Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, merespon kasus pemerkosaan beramai-ramai atas seorang perempuan dalam sebuah angkot di Jakarta Selatan, dengan mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak memakai rok mini saat naik angkutan umum untuk menghindari “konsekuensi yang tidak diinginkan.”
Seorang kandidat Hakim Agung yang mengepalai Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan saat itu, ketika ditanya pendapatnya soal hukuman mati untuk para pemerkosa dalam uji integritas, mengatakan: “baik pemerkosa dan korban menikmatinya. Jadi kita harus mempertimbangkan kembali hukuman mati itu.”
Ia kemudian mengklarifikasi bahwa ia hanya bergurau dan pernyataannya telah dilihat di luar konteks. Namun hal itu menunjukkan karakter asli dari banyak pembuat keputusan di Indonesia, yang melihat kekerasan seksual sebagai masalah yang harus ditangani perempuan, bahwa pemerkosaan hanya dapat dicegah oleh perempuan. Para sosiolog percaya bahwa budaya pemerkosaan mengaitkan hubungan seks yang tidak konsensual dengan struktur budaya masyarakat yang sangat patriarkis, menyebabkan pemerkosaan diterima luas secara sosial dan institusional.
Lintas wilayah dan budaya
Sebuah studi tahun 2013 dari PBB menemukan bahwa masyarakat di negara-negara Asia Tenggara cenderung permisif dengan kekerasan seksual terhadap perempuan, dan bahwa pemerkosaan tidak dianggap sebagai kejahatan serius di sebagian besar wilayah ini.
 
Studi tersebut didasarkan pada survei terhadap 10.000 laki-laki di Bangladesh, Kamboja, China, Indonesia, Papua Nugini dan Sri Lanka, dan seperempat dari pria-pria ini mengaku telah melakukan pemerkosaan suatu kali dalam hidup mereka.
 
Satu dari 10 pria itu telah memperkosa seseorang yang bukan pasangan mereka. Laki-laki di provinsi Papua ada di nomor dua dengan 40,6 persen, setelah Papua Nugini-Bugenvil (62,4 persen), dan diikuti dengan wilayah perkotaan di Indonesia (26,2 persen) dan pedesaan Indonesia (19,5 persen).
 
Lebih penting lagi, studi tersebut menunjukkan bahwa banyak dari para pria ini tidak paham bahwa pemerkosaan berarti seks yang tidak konsensual dan dipaksakan. Mereka tidak tahu bahwa pemerkosaan terjadi di dalam pernikahan. Studi itu mengungkapkan bahwa pemerkosaan antara pasangan menikah lebih sering terjadi dibandingkan mereka yang tidak berada dalam hubungan asmara.
 

Langkah pertama dalam menanggulangi penyakit sosial ini adalah dengan mengakui bahwa Indonesia memiliki budaya pemerkosaan yang serius. 


Survei itu juga menunjukkan bahwa tingkat kejahatan berulang tinggi diantara pemerkosa, dengan hampir dari setengah responden mengaku memperkosa sejumlah korban. Hampir seperempatnya mengatakan mereka telah memperkosa dua sampai tiga orang.
Sebab utama dari tingginya angka peristiwa pemerkosaan ini adalah rasa berhak yang diberikan gender mereka, yang timbul sejak usia muda. Lebih dari setengah responden mengaku telah memperkosa seseorang ketika mereka remaja.
Tujuh puluh persen dari pria-pria itu mengatakan mereka melakukannya karena mereka merasa memiliki hak untuk mengklaim tubuh perempuan, sementara 40 persen mengatakan mereka marah atau ingin menghukum perempuan-perempuan itu. Setengah dari pria ini mengatakan mereka tidak merasa bersalah dan hanya 23 persen dari para laki-laki ini mengaku pernah dipenjara karena kejahatan tersebut.
Masalah ini meluas di luar batas wilayah dan bahkan di negara-negara maju sekalipun. Di Amerika Serikat, tempat budaya pemerkosaan tumbuh subur, diperkirakan hanya 3 persen dari pemerkosa yang akhirnya dipenjara, menurut Jaringan Nasional Pemerkosaan, Kekerasan dan Inses (RAINN).
Mengubah budaya pemerkosaan
Langkah pertama dalam menanggulangi penyakit sosial ini adalah dengan mengakui bahwa Indonesia memiliki budaya pemerkosaan yang serius. Hal ini berarti mengakui bahwa kita hidup di dalam masyarakat yang lebih menyukai sikap diam, dimana para korban kemungkinan besar tidak melaporkan penyerangan yang dihadapi karena takut disalahkan atau stigma.
 
Kita hidup dalam masyarakat yang menyebabkan seorang perempuan yang diperkosa tetangganya, tokoh masyarakat terkemuka, pindah dari lingkungannya untuk menghindari kekejaman publik terhadapnya. Kita hidup dalam masyarakat dimana orang-orang tidak melihat ada sesuatu yang salah dengan berbagi di media sosial atau grup messenger gambar-gambar rontgen seorang korban pemerkosaan yang dibunuh secara brutal.
Kita hidup dalam masyarakat dimana seorang anggota DPR yang terhormat menyalahkan korban pemerkosaan karena berjalan sendirian dari sekolah, dan politisi-politisi bersikeras bahwa RUU mengenai larangan alkohol lebih penting daripada RUU penghapusan kekerasan seksual.
 
Kita hidup dalam masyarakat dimana media seringkali melukiskan para pemerkosa secara positif (“pria santun yang rajin shalat”), tapi menggambarkan korban secara seksual (“jenazah perempuan itu ditemukan memakai beha merah”).
Kita hidup dalam masyarakat yang kompromis, dimana umum terjadi anak-anak perempuan perempuan dipaksa oleh orangtuanya menikahi pemerkosa mereka (dan media merasa hal itu mengharukan); dan polisi merekomendasikan para korban pemerkosaan untuk menempuh “jalan damai” di luar pengadilan. Dan kita hidup dalam masyarakat yang diatur oleh steretotip-stereotip gender yang kaku, yang menggambarkan laki-laki rentan melakukan kekerasan dan merupakan makhluk dengan dorongan seksual besar.
 
Bagaimana kita mengubah budaya pemerkosaan ini?
Caranya seperti mengatasi masalah-masalah sosial lain, dengan menyasar akar permasalahannya, yaitu ketidaksetaraan gender. Seharusnya, fokus dari upaya apapun untuk mengakhiri kekerasan seksual adalah pada para pelaku, bukan korban perempuan atau calon korban, dan membalikkan beberapa dinamika gender yang berkontribusi pada budaya pemerkosaan.
Pencegahan harus mencakup pendidikan seks komprehensif untuk anak-anak dan remaja yang termasuk diskusi mengenai persamaan gender dan hubungan yang sehat. Upaya-upaya pendidikan harus melibatkan semua orang, termasuk pejabat pemerintah, pembuat undang-undang, tenaga pendidik, orangtua, atasan, pemimpin agama dan, yang paling penting, penegak hukum dan para anggota sistem peradilan.
Aturan yang lebih ketat seperti peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dikeluarkan baru-baru ini bukanlah obat mujarab untuk masalah ini. Tapi disertai sistem hukum yang lebih baik, sebuah aturan yang komprehensif akan bekerja lebih efektif sebagai faktor pencegah serta cara untuk memastikan dukungan bagi para penyintas kekerasan seksual.
 
Hal-hal ini adalah beberapa langkah untuk mulai membangun masyarakat yang lebih baik dan adil, dimana setengah dari populasi merasa sama amannya dengan setengah yang lain.
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris. Baca juga laporan Devi mengenai perda-perda diskriminatif di Indonesia dan ikuti @dasmaran di Twitter.