Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, sekitar 200 orang berpartisipasi dalam aksi Women’s March di Bandung pada Minggu pagi (4 Maret 2018). Massa melakukan aksi berjalan kaki dari kawasan car free day di Jalan Dago menuju Gedung Sate, Bandung.
Tema yang diangkat pada Women’s March Bandung 2018 adalah ketidakadilan berbasis gender. Penyelenggara menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran, pemahaman serta empati masyarakat mengenai pentingnya perlawanan atas ketidakadilan berbasis gender.
Lima isu utama yang diangkat pada aksi ini adalah perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi terhadap perempuan, perkerja perempuan dan human trafficking serta perluasan pasal zina dalam KUHP.
Selain itu, masalah seperti seperti marjinalisasi perempuan juga tak luput dari perhatian massa aksi. Beberapa perempuan korban penggusuran terlihat membawa poster bertuliskan “Tanah untuk rakyat”, “Patriarki itu bernama penggusuran”, dan “Kami bukan penghuni liar”.
Amanda Ayodia Exsalabor, yang akrab dipanggil Bor, wakil ketua panitia Women’s March Bandung menjelaskan mengapa isu penggusuran sangat terkait dengan isu perempuan: “Saya baru ngobrol dengan ibu ibu korban penggusuran Taman Sari. Ada intimidasi dari pihak pihak yang ingin menggusur. Dan yang lebih banyak melawan di Taman Sari itu kebanyakan ibu-ibu, bukan bapak bapak.”
Mahasiswi di sebuah universitas swasta di Bandung ini juga mengungkapkan bahwa penggusuran berdampak pada kehidupan ekonomi para perempuan. “Perempuan yang tadinya bikin kios untuk berdagang, sekarang sudah tidak bisa karena (tempat tinggalnya) digusur,” tambahnya.
Aksi damai ini juga diikuti oleh para perempuan penyandang disabilitas. Ratna, seorang perempuan difabel menuturkan alasannya mengikuti acara ini: “Perempuan penyandang disabilitas rentan mengalami diskriminasi ganda , sebagai perempuan dan penyandang disabilitas. Dalam segala sektor seperti pendidikan, pekerjaan, atau pun dalam kehidupan sosial, perempuan disabilitas akan menjadi yang terbelakang. Kami tidak hanya bersaing dengan laki-laki namun juga dengan perempuan non disabilitas.”
Ratna menceritakan bahwa ia pernah mengalami diskriminasi di dunia kerja, namun tak mengalaminya di dunia pendidikan, baik di sekolah menengah maupun universitas. Tempatnya bekerja saat ini, sebuah rumah sakit mata milik pemerintah di Bandung, juga memberikan kuota bagi pekerja disabilitas.
“Dalam undang-undang tentang penyandang disabilitas, lembaga pemerintah harus menyediakan kuota minimal 2 persen (bagi penyandang disabilitas) . Untuk instansi swasta, (minimal) harus ada satu persen. Selama ini, hal itu belum terwujud,” ungkapnya.
Comments