Penting bagi kita untuk memahami bagaimana aktivisme iklim telah berevolusi sejak Perjanjian Paris tahun 2015. Jadi makin penting, jika kita ingin memahami kesepakatan negara-negara di dunia dalam konferensi iklim COP26 di Glasgow, akhir tahun lalu.
Para aktivis iklim telah berperan besar. Selama ini, mereka senantiasa memberikan tekanan pada pemerintah dunia untuk serius menerapkan janji iklim Paris mereka dan semakin meningkatkan ambisi “hijau” pada tahun-tahun mendatang.
Dua gerakan iklim baru – Fridays for Future (“Hari Jumat untuk Masa Depan”) dan Exctinction Rebellion (“Melawan Kepunahan”) – punya pengaruh besar beberapa tahun belakangan. Studi yang kami lakukan menunjukkan kedua gerakan ini membawa model dan taktik baru dalam aktivisme iklim, sekaligus melawan rasisme di tubuh mereka sendiri.
Keunikan dan evolusi kedua kelompok ini menunjukkan pada kita banyak hal tentang arah baru aktivisme iklim kontemporer.
Baca juga: Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi
Model Baru, Taktik Baru
Fridays for Future dan Extinction Rebellion telah mendorong terbitnya era baru pembahasan isu iklim dengan menentang pola protes yang konvensional.
Fridays for Future, misalnya, sukses menggerakkan jutaan orang di seluruh dunia, terutama anak muda. Penelitian kami menunjukkan hal ini terus berlanjut, walau lebih banyak secara daring ketimbang di jalanan saat pandemi COVID-19.
Sementara, Extinction Rebellion telah membudayakan beragam aksi nyata dan penggunaan dirupsi aktivitas ekonomi melalui ketidakpatuhan sipil – misalnya menduduki ruang publik di London, Dar es Salaam, Kota Meksiko, dan Roma. Baru-baru ini, mereka mengelem diri mereka di tangga parlemen Selandia Baru untuk memprotes kebijakan iklim negara tersebut yang dirasa kurang progresif.
Kedua kelompok ini menggambarkan berbagai perubahan dalam tren aktivisme iklim selama satu dekade ke belakang. Teknologi telah mendorong distribusi aktivisme digital. Pengorganisasian ini berpusat pada satu tujuan sentral, tapi memberikan ruang pada aktivis lokal untuk merancang pesan dan taktik yang lebih relevan untuk daerah mereka masing-masing.
Beralih ke Digital
Organisasi iklim 350.org memperkenalkan cara baru pengorganisasian digital melalui gerakan iklim global mereka pada tahun 2009. Dengan struktur yang terdesentralisasi, siapapun dan di manapun, orang-orang bisa terlibat.
Baca juga: LSM Lingkungan Hidup di Media Sosial: Banyak Aksi, Minim Reaksi
Pengorganisasian secara terdistribusi juga telah membantu banyak kelompok aksi iklim menjadi lebih inklusif.
Wawancara yang kami lakukan dengan aktivis Fridays for Future mengindikasikan bahwa gerakan ini menaungi pandangan politik yang beragam di antara anak muda. Namun, mereka punya gairah yang sama untuk melindungi alam dan menuntut pemerintah untuk setia pada Perjanjian Paris.
Melalui taktik-taktik baru ini, Fridays for Future dan Extinction Rebellion tidak hanya memberi ‘darah’ baru pada gerakan iklim, tapi juga mempercepat aksi iklim. Mantan kanselir Jerman, Angela Merkelbahkan mengakui bahwa Fridays for Future telah mempercepat repons negara tersebut dalam mitigasi krisis iklim.
Kini, aktivis iklim berperan besar untuk memastikan pemerintah mematuhi Pakta Iklim Glasgow. Mereka tidak hanya akan mendorong perubahan dari luar; banyak pemerintah dan perusahaan semakin gencar merekrut aktivis muda untuk membantu strategi iklim mereka.
Pemerintahan Presiden Biden di Amerika Serikat (AS), misalnya, mengundang aktivis iklim kulit hitam yang berusia 19 tahun, Jerome Foster II untuk menjadi bagian dari dewan penasihat keadilan iklim Gedung Putih. Foster menghabiskan 58 minggu melalukan protes aksi iklim di luar Gedung Putih, dan kini ia berada di dalamnya.
Meski ini bisa dianggap suatu kemenangan bagi aktivis dan upaya mereka untuk meraih legitimasi arus utama, masih menjadi pertanyaan apakah kerja sama dengan korporasi dan pemerintah benar-benar akan mendorong kebijakan iklim yang radikal.
Bersamaan dengan Inklusivitas, Ada Tanggung Jawab Besar
Demonstrasi yang dilakukan Gerakan untuk Kehidupan Kulit Hitam (M4BL)selama musim panas di Eropa pada 2020 memicu refleksi besar-besaran di antara banyak kelompok aktivisme iklim. Rasisme selama ini menjadi masalah besar banyak kelompok iklim di AS, Inggris, Jerman, dan negara lain.
Di AS, banyak organisasi lingkungan non-pemerintah didominasi oleh pegawai kulit putih. Staf senior non-kulit putih hanya 22%, meski kelompok etnis non-kulit putih mencapai 40% dari total populasi AS.
Wawancara kami menunjukkan bahwa demonstrasi Black Lives Matter di AS juga telah mendorong banyak kelompok lingkungan untuk berkaca pada organisasi mereka dan meningkatkan keberagaman etnis pada rekrutmen maupun promosi pegawai mereka.
Baca juga: Curhatan Peneliti Pasca-BRIN Dibentuk: Gabut Hingga Ancaman Riset Tersendat
Extinction Rebellion bahkan harus mempertimbangkan ulang penggunaan taktik frontal mereka, di mana para aktivis dengan sengaja berupaya ditangkap polisi. Sebab, taktik tersebut lebih berbahaya bagi aktivis non-kulit putih.
Namun, rasisme struktural terkadang memang susah untuk dibasmi.
Sebagai contoh, suatu cabang Fridays for Future di Selandia Baru terpaksa bubar karena, menurut mereka sendiri, telah menjadi “ruang rasis yang didominasi kulit putih” yang “menjauhi, mengabaikan, dan tidak tulus menghargai orang kulit hitam, orang adat, dan kelompok non-kulit putih lainnya (BIPOC).”
Tidak semua aktivis iklim telah mentransformasi taktik, pola rekrutmen, atau organisasi mereka. Meski demikian, banyak dari mereka semakin meningkatkan dukungan atas gerakan keadilan iklim, dan telah mengakui batasan dari “aktivisme iklim gaya hidup” dari kelompok ekonomi menengah. Beberapa aktivis iklim juga telah mengakui perlunya ruang yang lebih menghargai identitas rekan-rekan mereka yang beragam.
Komunitas adat pun telah lama menuntut keadilan iklim. Aktivis iklim dari suku Maori, India Logan O'Reillymenyampaikan pidato penting saat pembukaan konferensi Glasgow. Dia memohon pada pimpinan dunia untuk “belajar sejarah kami, mendengarkan cerita-cerita kami, menghormati wawasan kami dan mendukung agenda kelangsungan hidup kami atau setidaknya jangan menghambatnya” (“get in line or get out of the way”).
Kita hanya bisa berharap bahwa negara-negara akan mendengarkan seruan ini dan benar-benar mengamalkan aksi iklim yang inklusif.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments