Aku punya kepala
Aku memiliki dua mata
untuk melihat semua warna
dan segala bentuk rupa
Aku juga memiliki dua telinga
aku bisa mendengar suara-suara
baik maupun buruk
Aku memiliki hidung, memiliki mulut
dan bibir untuk tersenyum
Aku memiliki dua tangan dengan lima jari
Aku juga memiliki dua kaki
Aku bisa berjalan dan berlari
ke mana pun aku suka
Aku sama … sama seperti kalian
tapi kalian tak menganggapku sama
~Vely Hilda Elma Ningtiyas (hal. 186)
Dalam praktik keseharian, para penyandang disabilitas masih kerap menerima diskriminasi dan stigma dari masyarakat. Keterbatasan mereka diperburuk dengan masih minimnya kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan dan bersikap inklusif, termasuk dalam dunia kerja, serta rendahnya penerapan peraturan negara yang disebut-sebut memberi perlindungan kepada mereka.
Kondisi diskriminatif bisa lebih membebani penyandang disabilitas perempuan. Menurut aktivis gender dari Afrika Selatan, Shanaaz Majiet, dalam tulisannya yang bertajuk “Women and Disability”, perempuan disabilitas lebih sering dilekatkan dengan stigma dari masyarakat dan perasaan malu. Menurut Majiet, ketidaksetaraan hak-hak perempuan dan peluang berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik dalam memperoleh pendidikan diperparah oleh keterbatasan tambahan, baik fisik maupun sosial yang menyertai sebagian besar penyandang disabilitas.
Perempuan disabilitas mengalami diskriminasi karena buta huruf (kurangnya pendidikan) atau kurang pelatihan kerja, memiliki lebih sedikit kesempatan berkeluarga, minim dukungan baik berupa fisik, finansial, dan emosional dari keluarga atau komunitas, serta dikungkung oleh stigma disabilitas dan mitos tentang sebuah fisik yang ideal. Selain itu, perempuan penyandang disabilitas cenderung tidak diidentifikasi dan tidak diberi bantuan.
Latar belakang situasi inilah yang melandasi lahirnya buku Aku Perempuan Unik yang disusun oleh Nanik Indarti. Buku ini berisi kisah-kisah tujuh perempuan penyandang achondroplasia atau tubuh mini yang turut membangun sikap positif dan konstruktif terhadap penyandang disabilitas melalui partisipasi mereka sendiri. Ketujuh perempuan itu adalah Christianingtyas, Inung Setyami, Miftahun Naufa, Nanik Indarti, Ninit Ungu, Tri Lucky Novita Sari, dan Vely Hilda Elmaningtiyas.
Baca juga: Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas
Buku yang diterbitkan Jejak Pustaka ini memaparkan perjuangan perempuan bertubuh mini dalam menjalani kehidupan, utamanya dalam masalah pendidikan dan pekerjaan. Mereka pada satu sisi tampak lebih beruntung dibanding penyandang disabilitas lain seperti tunanetra, tunarungu, dan tunawicara. Keterbatasan fisik juga tak mengharuskan mereka duduk di atas kursi roda. Namun, bukan berarti mereka tidak menghadapi perisakan dan diskriminasi.
Walau demikian, ketujuh perempuan yang diceritakan dalam buku ini mampu menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka telah mengantongi ijazah sarjana, sementara lainnya bahkan sudah menyelesaikan pendidikan S2 dan ada yang tengah menjalani kuliah doktoral.
Seni yang menembus batasan sosial
Mayoritas mereka berlatar belakang pendidikan di bidang seni. Bidang ini menjadi semacam jalan hidup di mana mereka mampu mengekspresikan dan melakukan aktualisasi diri sehingga menjadi lebih percaya diri. Seni membuat Lucky bebas menyampaikan semua yang dirasakan dalam berbagai bentuk. Bagi Nanik, seni adalah tempat menemukan diri seutuhnya dan dalam seni, tidak ada batasan berekspresi dan masalah fisik manusia tidak dipersoalkan.
Meminjam istilah Sara Upstone dalam buku Spatial Politics in the Postcolonial Novel, seni dapat dipandang sebagai ruang yang cair. Di sana terdapat kekacauan dan ketidakstabilan. Berbeda dengan dunia di luarnya yang cenderung baku, seragam, homogen, punya batas-batas yang jelas, seni dilekati dengan istilah yang heterogen, tanpa batas-batas yang baku dan mutlak. Di dalamnya segala sesuatu berjalan dinamis. Oleh karena itu, seni menjadi ruang aktualisasi bagi mereka yang memiliki keterbatasan di dalam tatanan sosial dominan.
Jika dikaitkan dengan pekerjaan, seni menjadi ruang alternatif dari dunia yang serba membatasi. Mereka barangkali akan kesulitan bekerja misalnya sebagai sales promotion girl (SPG), penjaga toko busana, model iklan produk kecantikan, dan pekerjaan lain yang menentukan standar ideal utamanya persoalan fisik. Menjadi model terutama sulit sebab standar kecantikan masih mengidealkan putih, tinggi, dan langsing, meski beberapa iklan produk kecantikan sudah berkompromi dengan berbagai warna kulit modelnya.
Baca juga: Ketika Rumah Jadi Penjara bagi Perempuan dengan Disabilitas
Dalam dunia hiburan pun sosok penyandang disabilitas masih cenderung dianggap lelucon dan patut dikasihani. Selama tatanan dominan masih mengutamakan persyaratan fisik, partisipasi kelompok seperti mereka masih mengalami hambatan. Sayangnya, ketika penyandang disabilitas tak mendapatkan bagian pada bidang yang mengutamakan fisik, banyak dari mereka yang nasibnya juga tidak terlalu beruntung di ranah akses pendidikan formal. Inilah yang membuat mereka tak teridentifikasi, bahkan terbuang dari tatanan sosial dominan. Kesetaraan bagi mereka bisa saja menjadi semacam utopia.
Terkait bentuk partisipasi dan tindak kesetaraan yang hubungannya dengan pekerjaan, ketujuh perempuan ini membuktikannya dalam kerja intelektualitas dan kreativitas. Seni dan pengajaran menjadi jalan. Dua perempuan menjadi dosen, Inung Setyami dan Miftahun Naufa. Dua perempuan menjadi pengajar, Christianingtiyas di sanggar Natya Lakshita Didi Nini Thowok dan menjadi fasilitator klub tari di Labschool Rumah Citta Early Chilhood Care Development-Resource Center Yogyakarta. Tri Lucky sebagai guru pembina teater dan pengurus utama sanggar Karya Turangga Mudha, dan guru di MTsN 1 Lumajang. Tiga perempuan lain menjadi pelaku seni: Vely sebagai pemain pantomime, Ninit Ungu di Unique Project Teater, sebuah kelompok teater yang menghimpun orang-orang bertubuh mini dari berbagai wilayah Indonesia. Teater ini didirikan oleh Nanik Indarti yang juga masih sering terlibat sebagai pimpinan produksi di beberapa komunitas seni.
Menurut filsuf Peter Hallward, teater merupakan tempat di mana para aktor melakukan dua hal dan menjadi dua orang pada saat yang sama. Dalam konteks perempuan-perempuan ini, keberadaan mereka di dunia nyata memang sebagai perempuan penyandang tubuh mini, namun di atas panggung mereka bisa berperan sebagai perempuan yang normal. Artinya, teater menyediakan ruang untuk sebuah tontonan dan ruang bergerak bersama untuk menampilkan subjek baru, subjek yang sebelumnya tak terhitung.
Buku Aku Perempuan Unik dapat dianggap sebagai langkah awal menghamparkan partisipasi aktif dan kesetaraan dalam tatanan dominan. Ia membawa pesan bahwa sikap positif dan konstruktif tidak hanya dibangun dari luar, tetapi juga dari subjek disabilitas sendiri. Mereka tidak menunggu segala peraturan undang-undang tentang disabilitas dibuat dan dilaksanakan secara menyeluruh, tidak juga menunda partisipasinya agar terlebih dahulu dikasihani oleh masyarakat yang memandang sebelah mata.
Comments