Istilah mabuk sering diartikan sebagai perilaku di luar kesadaran. Mabuk pada umumnya disebabkan oleh minuman keras atau mabuk perjalanan (darat, laut, dan udara). Ada juga mabuk karena cinta, sementara yang aku alami adalah mabuk agama. Bukan karena agama yang memabukkan, tapi aku sendiri yang memabukkan diri dengan agama.
Tanpa akal sehat, aku menelan mentah-mentah ajaran ustaz-ustazah sampai membuat keputusan besar dalam hidupku untuk menikah muda. Padahal, saat teman-teman SMA-ku menanyakan kapan saya ingin menikah, saya selalu menjawab, “Mungkin di usia 28-29 tahun.” Sementara teman-teman menyebut usia sekitar 23-25 tahun. Saya tidak peduli saat itu.
Namun kenyataan kemudian berbicara lain. Mabuk agama membuat saya menikah di usia 21 tahun.
Awal rasa mabuk itu adalah sekitar lima tahun lalu, saat aku merasakan kekosongan dalam hidupku. Belum menemukan “jati diri” mungkin ungkapan yang tepat, hal yang sering dialami oleh seseorang di usia belasan. Setelah menghabiskan 12 tahun pendidikan dasar dan menengah, kemudian menjalani masa kuliah, aku tidak tahu ke mana arah hidup akan membawaku. Karena itulah, aku sangat gencar mempelajari hal-hal baru yang dapat memotivasiku menjalani hidup. Mempelajari agama Islam adalah salah satu yang aku gandrungi kala itu.
Sedari kecil, orang tuaku mengajarkan bahwa agama adalah yang paling utama dalam hidup. Keyakinan itu mendorongku untuk mencoba mempelajari agamaku lebih dalam. Berawal dari malu-malu mendatangi pengajian, aku akhirnya mulai terbiasa mengikuti pengajian secara rutin. Kagum dengan sisi ilmu agama yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya, aku memutuskan untuk mengubah gaya hidup dan lamaku. Pakaian yang aku kenakan juga menyesuaikan seiring dengan berjalannya waktu.
Singkat cerita, aku menjadi salehah secara instan, meninggalkan grup band yang aku bangun selama empat tahun, memutuskan hubungan dengan pacar karena mendekati zina, dan menjalin pertemanan dengan orang-orang baru yang aku temui dari kelompok pengajian.
Baca juga: Tren Menikah Muda, Mencari Jalan Ke Surga
Pada masa itu, aku merasa menjadi manusia yang “tercerahkan”. Aku mulai melihat orang-orang di sekitarku sebagai pendosa yang wajib untuk diingatkan. Dan tanpa terasa, aku pun menjadi keras kepala. Menjadikan agama sebagai alasan di balik keras kepalaku, aku memutuskan menikah muda dengan mantan pacarku.
Sebelum putus, aku meminta dia untuk mendalami agama, karena lelaki kelak adalah menjadi pemimpin rumah tangga. Semenjak putus, ia menuruti saranku dan melakukan perubahan drastis (berhijrah). Meskipun berstatus putus, komunikasi kami tetap intens dengan topik yang lebih agamis. Tidak lama, ia menawarkan untuk membawa keluarganya untuk meng-khitbah (melamar). Aku pun mengiyakan dengan segera, mengesampingkan pendapat ibuku yang kurang setuju karena usiaku yang baru 21 tahun. Tidak ada yang bisa mengubah keputusanku saat itu.
Enam bulan setelah lamaran, pernikahan kami berlangsung dengan sederhana. Seluruh keluarga berdoa untuk kehidupan baru kami, bahkan teman-teman pengajianku merasa cemburu karena aku bisa menikah di usia belia.
Kami selalu didongengkan oleh ustaz-ustazah bahwa menikah adalah pelengkap agama. Tidak tanggung-tanggung, menikah akan melengkapi separuh dari agama seseorang. Maka. kami para single fi sabilillah (sendiri di jalan Allah) berlomba-lomba memurahkan mahar, memudahkan khitbah, dan menyegerakan pernikahan. Setelah masuk ke dalam pernikahan, aku kecewa dengan kenyataan yang belum pernah aku bayangkan. Pernikahan ternyata tidak seindah itu.
Selain itu, setelah beberapa bulan menikah, ada beberapa kasus politik yang sempat membuatku kalut. Dimulai dari gubernur yang didemo besar-besaran selama beberapa jilid, hingga kasus bom dan penyerangan di berbagai daerah yang membuat situasi tidak menentu. Dalam kondisi seperti itu, aku tidak menemukan solusi yang memuaskan dari pengajian-pengajian yang aku ikuti. Sebaliknya mereka kebanyakan menarasikan untuk bertahan dan menunjukkan kekuatan seperti pada saat peperangan.
Baca juga: Auto Bahagia ala Kampanye Nikah Muda (dan Bagaimana Melawannya)
Grup-grup sosial media juga berisikan informasi yang diulang-ulang tentang kewajiban aksi nyata membela agama. Untuk menenangkan pikiran, aku memutuskan untuk tidak mengikuti pengajian dulu hingga situasi tenang kembali. Sejujurnya, aku kecewa pada majelis pengajian tersebut dan beberapa ustaz yang berupaya memprovokasi di tengah konflik politik.
Pencerahan kembali aku temui saat aku melebarkan pandang kepada persepsi lain di luar golonganku. Aku tidak lagi hanya belajar agama Islam, namun beberapa agama yang berasal dari Timur Tengah dan juga sejarah di baliknya. Dari beberapa buku aku menemukan bahwa segala unsur dari kehidupan memang mengandung politik dan sebagian dari tujuannya antara lain kekuasaan terhadap masyarakat, sumber daya, atau suara massa. Aku menjadi tidak heran, bahwa agenda pengajian juga bisa berubah menjadi agenda politik. Semenjak kejadian itu, kepercayaanku surut. Bukan pada agama, namun pada oknum-oknum yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan tertentu.
Di sisi lain, pernikahanku tidak berjalan dengan baik. Hal-hal penting yang harusnya dipertimbangkan sebelum menikah, serta merta dikalahkan oleh nilai agama tanpa pertimbangan. Selama dua tahun ini, kami bertumbuh ke arah yang berbeda dan akan saling menyakiti apabila kami tetap bersama. Akhirnya belum sampai umur pernikahan dua tahun, kami memutuskan untuk berpisah.
Sebuah keputusan yang berat memang, karena penyesalan terdalam dirasakan oleh keluarga kami. Kami berdua menikah karena sedang dimabuk agama, namun kami akan saling mendukung untuk kebahagiaan masing-masing.
Comments