Pernahkah kamu lihat orang di media sosial ramai-ramai mengunggah foto dengan senyum sumringah mereka? Liburan di luar negeri, menonton festival musik, makan di restoran mewah, atau sekadar menunjukkan kemesraan dengan pasangan. Tak lupa dibubuhi caption dengan beragam kata mutiara atau penegasan bahwa dirinya bahagia.
Artikel ini bukan dimaksudkan untuk julid pada kebahagiaan orang, tapi menawarkan diskusi baru soal esensi kebahagiaan di jagat maya. Sebagian orang menyebut istilah pura-pura bahagia ini dengan Duck Syndrome atau Stanford Duck Syndrome. Dilansir dari Psychology Today, sindrom ini pertama kali dipakai di Stanford University untuk menjelaskan gejala umum mahasiswa tahun pertama di kampus pilihan tersebut. Para mahasiswa tersebut biasanya bakal menampilkan diri seperti bebek (duck) yang tampak tenang di permukaan air, sementara kakinya berusaha kuat untuk berenang cepat.
Ini selaras dengan tesis Sarah Kristenson dalam artikelnya di Happier Human bertajuk Should You Fake Happiness on Social Media? Our Answer (2021). Menurutnya, memang ada beberapa alasan orang pura-pura bahagia di media sosial. Ada rasa ingin diterima oleh lingkungan tertentu, keinginan mendapatkan pencapaian yang instan, takut terlihat gagal, pengaruh publik figur, ada dorongan untuk bersaing dengan orang lain, perasaan insecure dengan hubungan, serta keinginan mendapatkan feedback positif dan disukai.
Pada intinya mereka yang memunggah kebahagiaan palsu adalah orang yang memiliki ketakutan dan kebohongan, kata Kristenson. Mereka takut tampak tidak lebih baik dan berharga dari orang di sekitarnya. Tidak hanya itu mereka mengunggah kepalsuan di media untuk menutupi kebohongan yang mereka buat sebelumnya, dan harus mereka tutupi.
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu orang itu bahagia betulan atau memalsukan kebahagiaannya? Jawabannya tak ada yang pasti, sebab ini bisa sangat subjektif dan kebanyakan cuma diketahui oleh orang yang bersangkutan. Namun, Happify.com menjelaskan, beberapa ciri kebahagiaan palsu. Di antaranya, gejala mood swing, sering merasa lelah sepanjang waktu, terlalu berusaha keras untuk menunjukkan betapa bahagianya hidupmu ke orang lain, kerap mengisolasi diri, dan dalam beberapa kasus menunjukkan gejala ketergantungan pada alkohol atau obat-obatan. Artikel lain menyebutkan, ciri yang mudah dikenali adalah mereka selalu merasa hidupnya kurang, ada lubang yang menuntut untuk terus ditambal.
Baca juga: Konflik Tasya-Tasyi dan Obsesi Warganet pada Drama ‘Public Figure’
Dampak Buruk Pura-pura Bahagia
Menurut British Medical Journal (BMJ), pengguna media sosial yang berpura-pura bahagia dengan unggahan di media sosial, lebih rentan akan gangguan kesehatan mental. Ini berlaku pula pada selebriti atau figur publik yang perfeksionis, sehingga rentan mengidap depresi dan gangguan kecemasan. Publik hanya melihat mereka tampak menikmati hidup tetapi di dalam hati merasa ada yang kurang. Tuntutan dan kebencian yang diterima dari media sosial menjadi salah satu faktor yang mengancam kesehatan mental.
Robert T Muller Ph.D. berujar kepada Psychology Today, media sosial dapat memengaruhi harga diri, kepercayaan, dan kesehatan mental pengguna media sosial. Menurutnya, perbandingan yang terjadi di masyarakat memiliki dampak negatif untuk kesehatan mental, karena membutuhkan tenaga lebih. Sebab, orang yang berpura-pura bahagia di media sosial hanya berfokus pada perbandingan sosial dan tidak memikirkan dampak buruknya, seperti merasa rendah diri dan suasana hati yang makin jelek.
Seluruh hidup dan karier mereka di media sosial kemudian diinvestasikan di media sosial. Mereka yang hanya berfokus pada perbandingan sosial dapat mengalami efek yang merugikan, termasuk puas dengan penampilan, memandang diri rendah, suasana hati negatif yang lebih tinggi, rasa tidak aman, dan kecemasan.
Baca juga: Berusaha Untuk Selalu Bahagia Itu Enggak Perlu
Mulailah Bersikap Jujur
Unggahan kebahagiaan palsu ini sudah menjadi perhatian publik figur. Mereka yang sadar akhirnya memilih untuk beristirahat dan atau merombak cara kerja mereka di media sosial.
Sebagai contoh adalah YouTuber Pewdiepie dan Jacksepticeye. Keduanya merupakan YouTuber terkenal dan sudah lama aktif di Youtube sejak dekade lalu. Mereka merasakan dampak negatif dari terus berkutat di YouTube.
Pewdiepie terbuka dengan penggemarnya mengenai perubahaan video yang diproduksi setelah pindah ke Jepang. Dia ingin merasakan hidup barunya di Jepang. Sebelum pindah ke Jepang pun ia sering mengambil waktu istirahat untuk mengatasi kebiasaan buruknya terlalu fokus pada konten YouTube.
Ini sama seperti teman sesama YouTuber Jacksepticeye. Pada video Jacksepticeye diwawancarai Anthony Padilla, ia mengatakan dahulu dia bisa dalam seminggu membuat dua video. Kesehariannya hanya memproduksi video YouTube, tidak ada waktu untuk dirinya sendiri. Sampai pada satu waktu, dia sadar butuh istirahat dan menghabiskan waktu untuk dirinya dan orang terdekatnya.
Saya sebagai penonton setia khususnya Pewdiepie, dahulu hanya melihat keriangan dia di YouTube. Tanpa tahu kondisi dirinya sesungguhnya, karena dia hanya terus tersenyum dan membuat candaan untuk para fans. Ternyata di balik kebahagian dia, sama seperti orang lain ia menyembunyikan masalah hidupnya.
Baca juga: Aku Pamer, Maka Aku Ada: Koar-koar Dahulu, Prestasi Kapan-kapan
Lalu, bagaimana cara untuk setop pura-pura bahagia?
Mengutip End Now Foundation, ada dua cara untuk melepaskan diri dari kebahagian palsu di media sosial. Pertama, mengurangi penggunaan media sosial dan lebih menjalankan hidup di luar media sosial.
Mengurangi penggunaan media sosial bisa dimulai dengan tidak menggunakan media sosial sebelum dan setelah bangun tidur, mengurangi penggunaan handphone saat bekerja dengan menonaktifkan notifikasi, dan tidak memakai handphone saat bersama teman dan keluarga.
Kedua, lebih banyak berinteraksi dengan orang sekitar, bukan teman online. Langkah awalnya bisa dengan tidak terlalu pusing membuat profil akun media sosial, mengalihkan perhatian dengan melakukan hobi dan aktivitas yang tidak perlu menggunakan handphone, bergabung dengan komunitas agar lebih sibuk, terakhir kunci utamanya tidak menginginkan secara berlebihan like dan share di media sosial.
Comments