Mereka sudah menunggu di depan kelas dari pagi. Rambut disisir klimis, raut wajah berseri-seri, tapi hampir tak ada yang mengenakan seragam sekolah dasar (SD). Ah, seragam sekolah memang tak penting-penting amat. Yang penting adalah mereka datang tak terlambat ke sekolah, menunggu saya, si guru baru.
Saya tersanjung mendapat sambutan ini. Setelah mengucapkan salam, saya mempersilakan anak-anak untuk duduk. Mereka berhamburan di mana saja dalam ruangan kelas yang kecil di mana kotoran anjing dan bulu-bulu burung bertebaran tiap sisi. Suasana cukup riuh, dari hentakan meja, teriakan, kakak yang sibuk memangku adiknya, suara tangisan.
Selembar kertas saya ambil dari dalam tas. Lalu saya meminta anak-anak bergantian membaca isi kertas tersebut. Beberapa di antaranya menyahut, “Pak guru, saya tak bisa membaca.” Amboy, sekolah yang berlokasi di Sulawesi Tengah ini ternyata diisi siswa yang 90 persen di antaranya buta huruf.
Baca juga: Saya Dipanggil Pak Guru Bencong, Bukti Sekolah Tak Jadi Ruang Aman
Buta huruf mungkin cuma satu persoalan. Semangat tinggi mereka untuk menuntut ilmu kerap mental, ketika alarm panggilan untuk membantu orang tua berkumandang. Ya, pendapatan perkapita di kabupaten tempat sekolah ini berdiri di bawah Rp1 juta. Banyak dari masyarakat yang tinggal di sini termasuk dalam golongan ekonomi rentan. Sehingga, mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar. Anak-anak pun terpaksa terlibat untuk membantu pekerjaan orang tua bahkan hingga harus putus sekolah.
Ironisnya, susah bersusah payah kerja pun, kemiskinan tetap enggan beranjak dari mereka. Ini mengafirmasi penelitian lembaga riset SMERU Institute (2019) bahwa, anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) itu mencatat, pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah ketimbang mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin, dilansir dari The Conversation.
Sayangnya, kemiskinan makin langgeng ketika pendidikan juga tak memberi kesempatan bagi anak-anak untuk lepas dari jerat tersebut. Anak dari keluarga berpendapatan rendah di sini memiliki keterbatasan ekonomi untuk menunjang proses pembelajaran mereka. Orang tua di sisi lain tidak terlibat aktif untuk urusan pendidikan anak, karena mereka harus bekerja bahkan meminta anak turut serta.
Sementara itu, guru-guru sekolah terlalu sibuk mengurusi kebun dan sawah mereka. Kepala sekolah apalagi, barangkali mereka terlampau sibuk dengan berbagai perjalanan dinas, sehingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ludes. Boro-boro dibelanjakan untuk fasilitas, seperti spidol, penghapus, papan tulis, buku, atau perlengkapan lainnya.
Imbas dari berbagai hal ini akhirnya membuat capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk tingkat SMP dan SMA di kabupaten ini relatif rendah. Mayoritas anak yang sudah bekerja merasa sekolah tak signifikan mendukung upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Tak hanya itu, kualitas lulusannya pun sama memprihatinkannya. Jangan heran jika menemukan tamatan SD namun belum tahu caranya membaca. Apalagi di era pandemi di mana mereka menghadapi situasi ketiadaan perangkat elektronik. Anak-anak mengalami learning loss yang sangat besar. Sehingga, itu kian memperburuk kualitas pendidikan di sana.
Baca juga: Ketika Harapan Besar Guru Mendatangkan Beban Tersendiri bagi Siswa
Regulasi dan Peran Orang Tua
Regulasi pendidikan dapat berjalan apabila ada kontrol yang tepat terhadap regulasi itu. Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengupayakan berbagai cara untuk memoles dunia pendidikan. Namun, kerap kali mereka lupa memikirkan relevansi masing-masing kebijakan, sudah cukup tepatkah, apa lagi yang harus dievaluasi?
Tak melulu regulasi, dalam hal ini, orang tua sebagai pemegang kontrol terhadap anak juga punya andil mengawal proses pembelajaran. Sayangnya, banyak orang tua yang belum paham akan pentingnya keterlibatan tersebut, terutama orang tua yang berasal dari ekonomi rentan. Berdasarkan studi mengenai hasil belajar yang dilakukan oleh SMERU Institute, keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran memberikan dampak besar pada hasil belajar siswa. Hal ini bisa terus ditingkatkan dengan meminta orang tua terus berkomitmen, mengubah pola pikir, dan mau terlibat aktif dalam pendidikan anaknya.
Disarankan untuk orang tua agar sering mengajak anak-anak mengobrol dan berdiskusi. Mereka harus mulai mengubah mindset, bahwa pendidikan barangkali adalah cara jitu untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Baca juga: Pendidikan Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments