Aku harus mengaku pada Indri bahwa aku sedang tidak memakai BH atau bra atau beha atau kutang. Langkah Indri begitu cepat, dan itu membuat organ yang menempel di dadaku ini terasa sakit. Jika sedang memakai bra, aku akan berjalan bahkan lebih cepat dari Indri. Kini, kami seperti anak SD yang berpuasa setengah hari. Satu-satunya tenaga yang kami sisakan adalah untuk berjalan menuju kantin. Kenapa saat Ramadan, bahkan tanpa sahur sekalipun, perut rasanya aman-aman saja. Namun pada hari biasa, baru melewati makan siang, malamnya sudah minum Promag?
Hari ini jam kuliahku dimulai seperti anak sekolahan dan tak sempat sarapan. Dosen keduaku pun terlalu tepat waktu, hingga tidak ada yang namanya kesempitan apalagi kesempatan. Untuk minggu ini, tiap hari ada ujian, dan ditambah belum sarapan, jadilah kami harus menanggung dua ujian.
"Masa?" kata Indri sambil tertawa seraya memberhentikan langkah, setelah kukatakan tidak ada bra di balik bajuku. Sekarang ia menyesuaikan langkahnya denganku. Aku bilang, tak ada satu pun yang bisa digunakan.
Sebelum aku mulai bercerita, aku teringat soal kejadian tahun lalu soal kata “bra” ini. Ketika masih menggunakan miniset, hanya kata beha yang beredar di lingkunganku, meski ada kata lain seperti kutang yang sepertinya adalah kata baku, tapi sayangnya terlalu kaku. Namun ketika memakai bra dan hijrah ke kota, atau mungkin karena berteman dengan Indri, kini kata beha sepertinya terlalu kasar dan gamblang diucapkan. Mungkin karena orang-orang belum begitu akrab dengan kata bra, maka menggunakan kata itu tidak akan membuat pikiran ke mana-mana hingga mengarah pada hal sensitif yang dilindunginya.
Kapan hari Indri bermalam di tempat kosku. Karena aku tak melihatnya membawa pakaian ganti, maka aku bercanda dengan mengatakan, “Mau pinjam bra-ku?”. Ya, ini hanya candaan, karena sesuai pengamatan terhadap teman perempuanku, bra tidak seperti celana dalam yang dipakai sekali atau sebaiknya diganti dua kali sehari. Beberapa perempuan memilih menggantungnya setelah digunakan, ketimbang menaruhnya langsung di keranjang cucian atau langsung dicucinya setelah mandi, yang artinya bra yang telah diangin-anginkan di kipas angin atau AC akan digunakan lagi esok atau lusa.
Indri menanggapi candaanku dengan serius. Ia balik bertanya, “Apa bedanya bra, beha dan kutang?”. “Ndak tahu”, jawabku spontan sambil tertawa. Ia bilang, beha itu dari bahasa Belanda dan seharusnya ditulis BH, karena singkatan dari buste houder yang artinya penyangga payudara. Kemudian kutang berasal dari bahasa Perancis. Lalu Indri menceritakan sejarah lucu mengenai masyarakat Indonesia yang mendengar kata kutang dari orang-orang Perancis yang sebenarnya mengatakan coutant yang berarti berharga. Kata yang dikeluarkan seorang Jenderal kepada perempuan-perempuan yang membiarkan payudaranya tanpa penyangga.
Lalu bra juga berasal dari Perancis, suatu singkatan yang agak sulit diingatnya, namun kata bra-lah yang digunakan orang-orang Prancis.
Aku percaya saja semua yang dikatakan Indri, tanpa ingin tahu dari mana segala ceritanya datang. Untukku memercayai Indri adalah hal yang harus dilakukan oleh orang yang jarang membaca dan kurang peduli dengan hal-hal di sekitarnya.
Aku mulai bercerita, kalau Jumat malam kemarin aku mencuci seluruh pakaian kotorku, termasuk bra. Esoknya, aku yang tidak menghambakan diri pada organisasi kampus, meluangkan sepenuh Sabtu untuk persiapan ujian di hari Senin. Setelah minum segelas air sebagai rutinitas setelah bangun pagi, kemudian mengecek kemungkinan adanya pesan masuk plus melihat postingan teman online-ku yang tidak penting, namun tetap kulakukan karena ini kebiasaan. Akhirnya aku pun membuka laptop dan mulai menonton drakor.
Dengan waktu yang tidak banyak, aku memilih drama dengan episode paling sedikit. Sepuluh episode dengan durasi sejam mampu kulalap sehari semalam tanpa mengorbankan makan dan mandi. Pengasingan di kamar kos itu berhasil membuat pakaian yang kujemur di balkon milik bersama warga kos lebih lama terpapar sinar matahari. Aku sempat ingin mengambilnya, tapi Lina yang punya jadwal menjemur hari ini sedang menginap di kos temannya, jadi tak akan ada yang terzalimi oleh pakaianku. Keterasingan yang ditemani Drama Korea pilihan mendorongku untuk mengambil pakaian besok saja.
Tanpa menyalahkan keputusanku itu, Indri masih menyimak penjelasanku. Setiap mereka yang sering menonton drama Korea tentu mengerti akan keterasingan yang mereka ciptakan sendiri, dan sulit untuk dihindari. Kulanjutkan kisahku, bahwa di hari Minggu, aku bangun kesiangan karena harus bergadang sampai subuh menyelesaikan drakor yang ternyata masih tersisa dua episode yang harus ku-download terlebih dahulu.
Baca juga: Laki-laki Tahu Apa Tentang Perempuan
Aku lupa dengan cucian yang dijemur sejak kemarin lusa, yang ada di kepalaku adalah drakor semalam yang membuat mataku sembab. Hingga malam, yang kulakukan adalah mencari informasi tentang para pemain, menonton behind the scene dan cuplikan drama yang baru saja kutonton, pokoknya apa pun yang berhubungan dengan drama itu, sambil sesekali men-download gambar dan dokumen contekan dari group WA kelas sebagai bekal ujian besok.
Indri masih mendengarkan dan tanpa menghina status mahasiswa yang kuisi tanpa organisasi dan tidak pula capaian akademis. "Ndak kentara kan?" tanyaku memastikan tak ada yang terlihat timbul dari jilbab yang sengaja kubiarkan jatuh menutupi cardigan berlapis jersey kebesaran dengan sablon Arsenal dan Puma yang berada tepat di depan kedua putingku.
"Ndak, Ji," jawabnya secepat lirikan matanya ke arah dadaku. Yah, terlalu lama memerhatikan dapat menarik minat orang-orang yang berlalu di koridor untuk ikut mengamati. Rahasia yang sedari tadi kutanggung di ruang kelas di samping teman gondrong dan brewokanku ini tidak boleh diketahui banyak orang. Cukup Indri yang kesehariannya tidak kalah memalukan dari ini. Mungkin nasib hidupnya itu yang membuatku terbuka kepadanya untuk hal apa pun.
“Untung punyaku kecil, tidak seperti punyamu”.
Setelah mengeluarkan kalimat itu sambil tertawa pada Indri, aku jadi tidak enak. Bukan karena yang kukatakan barusan akan dianggap hinaan, karena teman perempuanku tak ada yang tak bangga dengan payudara yang besar. Bukankah itu yang menjadi daya tarik seorang perempuan juga. Perasaan tidak enak pada Indri adalah karena dia aktif mengimbau untuk tidak melakukan body shaming, hal yang baru saja kulakukan sepertinya. Mengomentari tubuh orang lain. Semoga Indri mengerti bahwa kondisiku yang berpayudara kecil tanpa bra inilah yang membuatku beruntung, sebab tidak akan membuatku malu. Kenapa pula kalimatku tidak berhenti sampai di tubuhku saja, kenapa harus kulanjutkan dengan membandingkannya dengan tubuh orang lain?
“Bagaimana cara menentukan payudara itu besar atau kecil?” sambar Indri.
Apakah pertanyaan Indri ini secara tidak langsung berujung penyesalan untukku? Bahwa aku memang telah melakukan body shaming? Dugaan di pikiranku membuat Indri terlalu lama menunggu, hingga dia yang harus menjawabnya sendiri.
“Banyak orang yang beranggapan bahwa nomor bra mengartikan besarnya payudara, padahal itu salah. Nomor bra hanya menunjukkan lingkar dada, bukan payudara. Jadi sesuai dengan lebar badan! Nah, kalau mau tahu besarnya payudara itu dari ukuran cupnya A,B, C, D atau E.”
“Besaran yang mana?” tanyaku.
“A kecil, semakin ke E besar,” jawabnya, yang kubalas dengan anggukan.
“Makanya saya itu jengkel sama orang-orang yang sok tahu. Terutama lelaki, tapi perempuan juga banyak yang tidak tahu. Selalu saja menilai besar kecil dari nomor bra, ‘kan ndak cocok. Sama halnya dengan menganggap orang kurus pasti berpayudara kecil dan yang lebar otomatis berpayudara besar. Padahal kan orang kurus bisa berpayudara besar, toh ada bra ukuran 32 E. Sebaliknya ada bra ukuran 40 A”.
Aku hanya merespons dengan anggukan, sambil menahan untuk bertanya, “Berapa ukuran bra-mu?”. Tapi, aku yakin payudaranya besar untuk badannya yang kurus sepertiku.
"Terus tadi bagaimana lanjutan ceritamu?" tanyanya menagih kelanjutan ceritaku.
Tadi pagi setelah mandi aku baru sadar dengan tanggung jawabku untuk mengambil cucian kemarin, sebab ada Hesti yang punya giliran untuk menggunakan ruang jemuran yang terbatas. Aku buru-buru keluar kamar dan berjalan hati-hati karena air menetes dari bulu di betisku ke setiap langkahku. Mukena bahan parasut yang kugunakan juga sudah menempel pada badan yang basah dan telanjang di baliknya. Belum sampai di balkon, aku sudah melihat pakaianku berada di atas sofa panjang.
Aku jadi tidak enak dengan Hesti yang harus bekerja memungut pakaianku terlebih dahulu sebelum menjemur miliknya. Sayangnya, Hesti tidak mengambil BH-ku, mungkin itu terlalu pribadi untuk disentuh. Kuperiksa di balkon, semua BH masih terpajang di bagian paling bawah jemuran besi. Tapi mataku refleks melotot ketika kulihat celana jins dijemur di atasnya dan masih lancar meneteskan air. Inilah balasan yang langsung kuterima dari ia yang kuzalimi.
Dan begitulah, tak ada satu pun yang mampu kugunakan untuk membantu menopang dan membuat payudaraku aman dan nyaman selagi mengendarai motor dan melewati polisi tidur.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments