Women Lead Pendidikan Seks
April 29, 2020

Antara Dirumahkan dan PHK: Pentingnya Berserikat di Tengah Pandemi

Banyak pegawai dirumahkan tanpa gaji di tengah pandemi, untuk menghindari PHK dengan pembayaran pesangon.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Issues
Dirumahkan_PHK_KarinaTungari
Share:

Meski kelihatannya bisnis makanan pesanan marak di tengah pandemi ini, namun perusahaan-perusahaan food and beverage atau restoran terpukul karena tidak ada tamu yang datang. Banyak perusahaan semacam ini yang telah “merumahkan” para karyawannya, seperti yang dialami “Ellie, 21.

Sebelum benar-benar dirumahkan, Ellie sempat mengalami pemotongan gaji 30 persen bulan lalu. Kini pemasukannya benar-benar nihil setelah perusahaan tempatnya bekerja selama setahun terakhir itu tidak membayar gajinya sama sekali.

“Sampai sekarang belum ada kejelasan tentang nasibku ke depannya mau gimana, padahal aku enggak ada pemasukan sama sekali,” ujar Ellie kepada Magdalene.

Ia menduga tidak ada niat perusahaan untuk menyisihkan hasil penjualan untuk karyawan seperti dirinya, sehingga mereka lebih memilih menahan Ellie tanpa gaji dengan bahasa “dirumahkan”. Ia sendiri lebih berharap mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mewajibkan pesangon, daripada dipertahankan sebagai karyawan tapi tidak digaji sama sekali.

“Ya sama aja kayak pengangguran, kalau dapat pesangon seenggaknya ada bekal selama pandemi ini,” ujarnya.

Ia berusaha mengikuti program prakerja yang dibuat pemerintah, namun hingga sekarang belum ada kejelasan tentang mekanisme program ini, padahal Ellie membutuhkan penghasilan secepat mungkin. Untungnya Ellie masih tinggal di rumah orang tuanya, sehingga tidak perlu memikirkan biaya sewa tempat tinggal.

Ellie dan kelima anggota keluarganya menyiasati keuangan selama pandemi ini dengan menekan biaya hidup sehari-hari, karena kedua kakaknya yang bekerja dari rumah juga mengalami pemotongan gaji 50 persen.

Baca juga: Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi

Selain Ellie, nasib dirumahkan juga menimpa “Nindy”, 25, yang bekerja sebagai desainer junior di salah satu perusahaan Interior di Jakarta. Nindy dan kelima temannya diminta untuk mengambil cuti tanpa gaji, dan mereka dipaksa menandatangani surat persetujuan pengambilan cuti dengan alasan sudah tidak ada lagi pekerjaan bagi mereka.

“Padahal dalam kontrak tertulis bahwa segala sesuatu yang kurang berkenan bisa didiskusikan, tapi kenyataannya keputusan diambil sepihak oleh perusahaan. Tiba-tiba saja disuruh tanda tangan,” ujar Nindy.

Sementara itu, para seniornya lebih “beruntung” dari Nindy karena masih digaji meski ada pemotongan hampir 50 persen. Awalnya perusahaan menjanjikan pengurangan jam kerja menjadi empat jam sehari karena pemotongan gaji, namun kenyataannya, mereka kadang bekerja lebih dari delapan jam tanpa ada uang lembur.

Nindy menyesalkan perlakuan perusahaan yang tidak memprioritaskan karyawan, padahal perusahaan bukan usaha kecil menengah, melainkan cabang perusahaan multinasional yang berpusat di Australia dan Hongkong.

“Ini kantor kerjaannya party mulu, tiap party ngomongin perusahaan profitnya gede, tapi kemarin baru dua minggu kerja dari rumah langsung bilang enggak ada pemasukan sama sekali, padahal mereka pake konsultan keuangan. Aneh banget,” ujarnya.

Opsi “dirumahkan” tanpa gaji selama pandemi seolah menjadi “jalan aman” perusahaan untuk memangkas biaya operasional perusahaan, padahal ini tidak adil dan menyengsarakan pekerjanya.

PHK upaya terakhir

Opsi “dirumahkan” tanpa gaji selama berlangsungnya pandemi COVID-19 seolah menjadi “jalan aman” perusahaan untuk memangkas biaya operasional perusahaan, tapi pilihan ini tidak adil dan menyengsarakan pekerjanya. Kebanyakan dari perusahaan merumahkan para pekerjanya tanpa adanya perundingan terlebih dahulu. Mereka tidak mau rugi membayar uang pesangon jika harus memilih opsi PHK. Kalau pun opsi PHK akhirnya dipilih, banyak perusahaan yang tetap tidak mau rugi dengan melupakan kewajibannya untuk membayar pesangon, padahal mekanisme PHK sudah diatur jelas dalam undang-undang ketenagakerjaan.

“Alex”, 24, misalnya di-PHK tanpa pesangon setelah dua tahun bekerja di agensi digital yang bergerak di bidang pemasaran food and beverage di Bandung. Dari 20 orang karyawan di sana, hanya dia yang mengalami PHK. Awalnya ia diberitahu akan dirumahkan dengan pemotongan gaji 50 persen. Esoknya, tiba-tiba ia diberitahu bahwa ada kesalahan dan diberhentikan saat itu juga.

“Harusnya perusahaan enggak serta merta pilih opsi untuk PHK, kalau emang ada pemotongan ya baiknya merata, jangan yang satu dikorbankan. Yang baru enam bulan kerja malah dipertahankan dan enggak dipotong gaji,” ujar Alex.

Perihal pesangonnya yang tidak dibayarkan, ia memilih pasrah dan hanya mengadu ke Dinas Ketenagakerjaan Kota Bandung melalui akun instagramnya, yang sampai sekarang masih belum memberi kejelasan.

Baca juga: Di Tengah Krisis Akibat Pandemi, 7 Bisnis Ini Malah Bertumbuh

Dalam siaran pers tertanggal 22 April, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengimbau kepada para pelaku bisnis untuk sebisa mungkin lakukan berbagai cara untuk menghindari PHK.

Data terbaru Kemenaker per 20 April 2020 menunjukkan, jumlah pekerja total yang terdampak pandemi adalah 2,08 juta pekerja dari 116.370 perusahaan, baik sektor formal maupun informal.

Jumlah pekerja formal yang dirumahkan sebanyak 1,3 juta dari 43.690 perusahaan, sedangkan pekerja formal yang di-PHK adalah 241.431 orang dari 41.236 perusahaan. Sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja dari 31.444 perusahaan atau UMKM.

Nuraini, Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), mengatakan bahwa ada sekitar 20 kasus yang kini tengah ditangani Sindikasi yang situasinya hampir sama dengan kasus Ellie, Nindy, dan Alex. Kebanyakan laporan tentang PHK sepihak, dirumahkan, dan cuti tanpa gaji.

Menurutnya, keputusan dirumahkan dan di PHK sudah ada mekanisme berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang mengatur tentang syarat pemberhentian sebagai upaya terakhir setelah dilakukan upaya lain. Selain itu ada juga Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang berisi imbauan untuk menghindari merumahkan karyawan maupun PHK dengan jalan mengurangi upah dan fasilitas pekerja di tingkat atas, seperti manajer dan direktur, bukan malah pekerja rendahan yang dikorbankan.

“Kalaupun hendak merumahkan pekerja dengan pemotongan gaji, harus dilakukan secara begilir sehingga tidak serta merta langsung mengorbankan beberapa orang,” ujar Nuraini.

“Jangan hanya memikirkan untung-rugi perusahaan, tapi karyawan berhak mendapatkan keadilan,” ia menambahkan.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan mengimbau agar perusahaan menghindari merumahkan karyawan atau PHK dengan mengurangi upah dan fasilitas pekerja di level atas, bukannya mengorbankan pegawai rendahan.

Pentingnya berserikat

Terkait pesangon, Nuraini menegaskan bahwa perusahaan wajib memberikan pesangon kalau memang akhirnya opsi PHK terlanjur diputuskan, sesuai dengan Pasal 62 UU No. 13/2003. Dalam aturan tersebut, uang pesangon untuk pekerja kontrak adalah membayar ganti rugi sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja.

Sedangkan bagi pekerja tetap, Pasal 156 Ayat 1 dari UU Ketenagakerjaan menyebutkan, saat terjadi PHK, maka kewajiban pengusaha adalah membayarkan uang pesangon atau uang masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

“Misalnya masa kerja kurang dari 1 tahun, maka pesangon adalah 1 bulan upah. Masa kerja 1 tahun tapi kurang dari dua tahun, pesangon 2 bulan upah, dan seterusnya,” ujar Nuraini.

Ia mengingatkan pekerja akan pentingnya berserikat karena dengan berserikat bisa membantu memperjuangkan hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi perusahaan.

Pasal 151 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan menyebutkan, jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan maka wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, jadi perundingan bisa dilakukan dengan pendampingan serikat pekerja. Sehingga mereka yang bernasib sama dengan Ellie, Nindy dan Alex tak lagi kebingungan dan pasrah ketika nasib pemberhentian menerpa mereka secara tiba-tiba, ujar Nuraini.

Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti

“Di saat genting seperti pandemi kayak gini yang semua orang bisa aja tiba-tiba diberhentikan, menjadi penting untuk semua pekerja tahu haknya apa dan hak perusahaan apa,” katanya.

Sindikasi sendiri mengatakan pihaknya sudah bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarkat (LBHM) di berbagai daerah untuk turut membantu mengadvokasi para pekerja yang terkena dampak Covid-19. Mereka yang mengalami PHK, dirumahkan, atau cuti tanpa gaji sebaiknya lebih sering melapor ke berbagai lembaga bantuan hukum.

“Meskipun selama ini berbagai sarana pengaduan disediakan oleh kementerian tenaga kerja daerah, namun biasanya mereka hanya melakukan tindakan sebatas pendataan laporan para pekerja tidak dilanjutkan dengan advokasi, sedangkan mereka kan kebingungan harus gimana,” ujar Nuraini.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.