Saat hari masih gelap dan ayam belum berkokok, “Maria” sudah sibuk di dapur. Mempersiapkan bahan-bahan kroket dagangannya sembari memasak sarapan untuk dua anaknya yang masih SD, usia 9 dan 11 tahun.
Sekitar pukul setengah tujuh, perempuan berusia 40 itu mengantar anak-anaknya ke sekolah. Setibanya di rumah, ia langsung menggoreng serta mengemas kroket dagangannya. Maria lalu menitipkan kroket itu di warung-warung sekitar rumahnya di Surabaya. Lalu kembali ke rumah untuk mempersiapkan makan siang.
Tiap pukul tiga sore, dia akan kembali ke warung-warung untuk mengambil uang dagangan kroket sekaligus melakukan rekap pesanan. Sebelum magrib, Maria berbelanja sayuran keperluan berdagang esok harinya di pasar. Malam hari, ia biasanya membersihkan serta mengiris-iris bahan mentah untuk kroket, lalu menyimpannya di kulkas. Biasanya rutinitas ini berakhir pada pukul sembilan malam, saatnya Maria masuk kamar dan istirahat.
Baca juga: Gender Lens Investing Berdayakan Perempuan, ‘Berkah’ untuk Investor
Selama lebih dua tahun, itulah rutinitas sehari-hari Maria. Usaha kroketnya dirintis bersama teman yang juga tetangganya. Bagi Maria yang bekerja paruh waktu sebagai perias jenazah, usaha itu memberi penghasilan tambahan untuk jaga-jaga ketika hubungan dengan suaminya kembali diuji. Maklum, hubungan mereka sudah tak harmonis cukup lama.
Saat memulai bisnis, suami Maria bahkan tak setuju karena takut Maria tak mampu membagi waktu dengan mengurus rumah tangga.
“Saya memang bukan ibu tunggal, tapi pernah menghadapi dampak buruk dari ketidaksetiaan pasangan dan harus banting tulang demi Rp40 ribu. Walaupun sekarang kami sudah bersama lagi, traumanya belum hilang. Makanya, saya buka usaha, punya penghasilan sendiri buat jaga-jaga,” katanya.
Bisnis kroket itu terus bertumbuh. Februari tahun lalu, Maria dapat panggilan partai besar untuk hajatan pemerintah. Ini kabar gembira buat Maria dan tetangganya, sekaligus tantangan baru buat bisnis mereka. Agar kroketnya tampak menarik dan ‘resmi’, mereka butuh modal untuk membuat kemasan baru dengan logo. Mereka pun memutuskan untuk mengajukan pinjaman di bank.
Setelah melengkapi dokumen persyaratan, seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan laporan keuangan, Maria mengajukan pinjaman kredit ke bank sebesar Rp5 juta dengan jaminan kendaraan bermotor roda dua. Mulanya bank memberikan respons positif karena melihat omzet bisnis Maria yang terhitung baik–sekitar Rp200-300 ribu per hari. Waktu itu, Maria juga sudah melalui tahap wawancara di rumahnya, tempat mereka mengolah kroket.
Sehari setelah itu, Maria malah dapat kabar buruk. Pengajuannya ditolak bank. “Alasannya karena tidak ada izin dari suami. Saya dan teman kaget karena awalnya tidak diminta surat izin (suami),” ujarnya.
Tak putus asa, Maria lalu mengajukan pinjaman ke Koperasi Usaha Madani. Namun, hasilnya sama saja: ditolak karena belum dapat izin suami. Maria sempat bertanya, “Bagaimana jika suami saya yang menganggur dan tidak bisa menafkahi, sementara saya butuh modal usaha?”
Lalu dijawab, “Bisa, tapi akan sulit, Bu. Butuh survei berkali-kali sampai surveyor kami yakin.”
Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi
Kecewa, kesal, dan sedih Maria memilih untuk tidak lagi mencari pinjaman dan menabung untuk memodali sendiri usaha tersebut. Sayangnya, hidup tak berjalan sesuai rencana mereka. Maria sudah tak lagi berdagang kroket. Rekan bisnisnya juga harus pindah, mengikuti suami. Kini, Maria bekerja di salah satu pabrik plastik di Surabaya.
“Saya memang bukan ibu tunggal, tapi pernah menghadapi dampak buruk dari ketidaksetiaan pasangan dan harus banting tulang demi Rp40 ribu. Walaupun sekarang kami sudah bersama lagi, traumanya belum hilang. Makanya, saya buka usaha, punya penghasilan sendiri buat jaga-jaga,” katanya.
“(Saya berharap) persyaratan birokrasi dipermudah dan berpihak pada perempuan yang ingin mandiri. Kami bekerja juga untuk keluarga, mempermudah suami. Perempuan mandiri benar-benar dasar yang kuat buat generasi selanjutnya,” kata Maria.
Terjerat Aturan “Harta Bersama”
Undang-undang Perbankan, aturan Otoritas Jasa Keuangan, serta Bank Indonesia sebagai regulator, tidak punya aturan spesifik yang menyebut pengajuan kredit perlu persetujuan dari pasangan: suami atau istri. Namun, berkaitan dengan jaminan harta, Undang-undang Perkawinan menyebutkan segala sesuatu yang diperoleh setelah menikah adalah milik bersama. Itu sebabnya, Maria perlu persetujuan suami, karena secara hukum mereka terikat.
Dalam dokumen legal fidusia, jaminan benda bergerak memerlukan tanda tangan suami/istri karena dinilai sebagai satu kesatuan. Karenanya, bank tidak memberikan pinjaman jika tidak ada persetujuan dari pasangan. Kecuali, mereka memiliki janji pra-nikah terkait pisah harta dan terjadi perceraian.
Menurut advokat dan aktivis Sri Agustine, konteks hukum dan administrasi di Indonesia sebetulnya netral gender atau tidak memihak pada satu pihak. Namun, ada faktor kultur sosial yang masih patriarkal, sehingga sering luput mempertimbangkan situasi sulit yang dihadapi perempuan.
Apa yang dialami Maria termasuk diskriminasi gender dalam administrasi finansial, karena pengalamannya sebagai perempuan belum bercerai luput dari pertimbangan administratif. Angka ibu tunggal tanpa perceraian memang sering kali luput dari data-data statistik. Namun, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, angka perceraian menurun selama pandemi karena pembatasan layanan yang dilakukan pengadilan agama. Artinya, ada kelompok perempuan yang tidak bisa mengurus perceraian karena banyak hal, salah satunya karena tak bisa mengajukan gugatan selama pandemi.
Sebelum pandemi, angka ibu tunggal tanpa perceraian memang susah dilacak, sebab terkendala dalam metode penelitiannya. Laporan dari Women’s World Banking menuliskan, meski perempuan masih menjadi pemegang keuangan rumah tangga, perempuan masih terbatas dalam cara mengelola keuangan. Faktor utamanya, norma gender dan budaya (patriarki) yang menetapkan perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama.
Belum lagi, kadang para praktisi di sektor keuangan juga masih banyak yang bias gender. “Petugas dan penegaknya masih bias dan belum sensitif gender, sehingga mengabaikan hak-hak perempuan terkait administrasi negara atau hak lainnya,” ujar Agustine kepada Magdalene.
Menurutnya , regulasi yang menghambat kemandirian perempuan secara sosial maupun ekonomi, seperti yang dialami Maria, termasuk bentuk pemiskinan perempuan secara struktural. Ia berujar, “Walaupun sudah banyak perubahan (yang mendorong kesejahteraan perempuan), domestifikasi perempuan tetap terjadi dan akhirnya ada kesenjangan partisipasi ekonomi antara perempuan dan laki-laki.”
“(Saya berharap) persyaratan birokrasi dipermudah dan berpihak pada perempuan yang ingin mandiri. Kami bekerja juga untuk keluarga, mempermudah suami. Perempuan mandiri benar-benar dasar yang kuat buat generasi selanjutnya,” kata Maria.
Kesenjangan Finansial Perempuan
Di Indonesia, ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2009 tentang Fasilitas Peminjaman Kredit Usaha Rakyat—perubahan dari Permenkeu Nomor 135 Tahun 2008—yang mendorong bank untuk menyalurkan kredit untuk UMKM, tanpa batasan gender tertentu. Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah memiliki akses yang sama di bidang finansial, dalam artian boleh mengajukan permohonan tanpa batasan gender.
Baca juga: Solidaritas Perempuan Bentuk Ekosistem Pendukung untuk Perempuan Pengusaha
Meski demikian, laporan Women’s Economic Empowerment and Financial Inclusion in Indonesia (2021) menyebut kesenjangan finansial itu nyata. Walaupun perempuan menjadi manager keuangan rumah tangga, beberapa perempuan Indonesia masih harus meminta izin suami terkait mencari pekerjaan, pengeluaran finansial, dan urusan meminjam kredit. Hal-hal tersebut yang akhirnya memengaruhi kebebasan dan independensi finansialnya.
Pasalnya, perempuan diposisikan sebagai pengemban tunggal tugas domestik, mengurus rumah tangga serta keluarga.
Mengutip Katadata, International Finance Corporation mencatat 80 persen ajuan kredit perempuan tidak dilayani. Hal senada juga disampaikan dalam penelitian Bias Gender dalam Akses Kredit Perbankan Studi Pada Pengusaha Mikro dan Menengah di Salatiga oleh Linda Ariany Mahastanti dari Universitas Kristen Satya Wacana. Temuannya menyebut perempuan masih sering mengalami bias gender dari pihak bank, seperti tak dipercaya ketika mengajukan permohonan jadi kreditur.
“Bank cenderung menilai usaha perempuan lebih berisiko, karenanya akan menerima penolakan atau jika diterima jumlah pinjamannya lebih kecil daripada laki-laki. Hal itu juga dipengaruhi oleh relasi antara bank dan pengusaha perempuan,” tulis Linda.
Sementara menurut konsultan gender dan bisnis Queentries Regar, perempuan pengusaha mikro mengalami kendala pendanaan modal karena data dirinya tidak muncul dalam sistem big data milik bank. Pasalnya, sering kali, nama suamilah yang terdaftar sebagai pemilik agunan atau buku tabungan dalam sistem big data. Sehingga bank lebih memilih nasabah laki-laki.
“Karena nama perempuan tidak ada dalam histori, jadi sulit dalam verifikasi perbankan, apakah benar datanya, usaha dan kerjanya bagus atau tidak. Karenanya, cenderung preferensi ke laki-laki,” kata Queentries kepada Magdalene.
Selain itu, lanjutnya, ada pembatasan kebebasan bergerak yang berpengaruh pada pasar dan penjualan. Ia berujar, “Misalnya ingin berjualan, tetapi tidak bisa menggunakan kendaraan. Dan transportasi umum belum aman untuk perempuan. Akhirnya ini memengaruhi aktivitas ekonomi dan wirausaha.”
Catatan-catatan dari Queentries ini yang sering dipakai bank untuk menolak permohonan jadi kreditur yang dilakukan perempuan.
Dosen Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dewi Meisari Haryanti beranggapan, alih-alih kendala regulasi, permasalahan akses dan layanan finansial yang lebih besar justru ada pada kultur masyarakat. Ia mencontohkan, “Misalnya, ketika suami ingin melakukan pinjaman, maka ‘istri harus setuju’. Sedangkan, saat istri yang meminjam, ‘suami punya kuasa’ untuk menolak.”
Dewi menambahkan, karena sistem patriarki, perempuan juga punya kendala jika ingin berusaha atau mengembangkan usahanya, karena tak punya aset. Orang tua cenderung mengurus aset dengan nama anak laki-lakinya. Sementara perempuan, terutama mereka yang muda dan single, tidak memiliki aset yang bisa digunakan sebagai persyaratan. Sering kali, perempuan harus menikah lebih dulu, agar bisa meminjam aset suami.
“Tidak ada kerangka regulasi yang membatasi perempuan, tapi budaya kita (yang membatasi),” kata Dewi.
Menurutnya, ada tiga alasan dari dalam diri sendiri, yang biasanya menghambat perempuan untuk punya bisnis. Pertama, takut sukses, lalu sibuk dan dapat tekanan dari orang tua. Kedua, perasaan tak enak hati kalau lebih sukses dari suami. Dan ketiga, perasaan tak perlu mengembangkan bisnis, karena masih ada suami yang jadi penopang utama ekonomi keluarga.
Dorong Regulasi Berkeadilan Gender
Perkara kesulitan perempuan dalam administrasi juga dialami Ika Yuliati, seorang pengusaha kerajinan tangan di Yogyakarta. Ika ingin memperbarui data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebab berpindah kecamatan. Namun, saat mengajukan perubahan data, petugas meminta Ika untuk mencantumkan data NPWP suami. Situasi ini cukup jarang terjadi di keluarga Indonesia, karena dalam UU Perpajakan, satu keluarga cukup punya satu NPWP saja karena istri dianggap ikut suami.
Padahal saat menikah, Ika dan suaminya–yang juga seorang pengusaha di bidang konstruksi–memutuskan agar pajak tidak saling tumpang tindih dan mudah mengelola usaha masing-masing. Ika sendiri sudah memiliki NPWP pribadi sejak sebelum menikah, karena sempat mengajar di salah satu lembaga pendidikan di Yogyakarta.
“Respons saya otomatis heran dan bertanya kenapa harus mencantumkan data suami, apa urgensinya? Toh, ini NPWP pribadi saja. Apa tidak cukup dengan KTP dan KK?” kata perempuan berusia 42 tahun itu kepada Magdalene.
Petugas yang saat itu mengurus urusan Ika mengatakan, suami dan istri yang memiliki NPWP terpisah harus memilih status menjalankan kewajiban perpajakan terpisah pula. Oleh sebab itu, NPWP suami Ika harus disertakan.
Masalahnya, ketika Ika bertanya kepada petugas itu, “Misalnya suami yang ingin mengubah data, apakah perlu mencantumkan data istri?”
Sang petugas menjawab, “Tidak perlu.”
Menurut Ika, aturan ini secara tersirat mengatakan bahwa istri harus mendapat izin suami, meski punya NPWP sendiri.
“Tidak ada kerangka regulasi yang membatasi perempuan, tapi budaya kita (yang membatasi),” kata Dewi.
“Saya menceritakan ini kepada suami yang bilang sudah turuti saja prosesnya biar cepat. Tapi, saya lalu menjawab kalau permasalahannya ini sangat diskriminatif dan akhirnya suami paham,” lanjut Ika.
Agustine mengatakan, ada budaya yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki setelah menikah. Sehingga perempuan harus selalu mengantongi izin suami, bahkan ketika mengurus usahanya sendiri.Dampaknya, perempuan bukan cuma kesulitan ketika ingin membangun usaha dan mencari modal, tapi juga urusan vital lainnya seperti membeli aset, rumah, sampai perceraian.
Maka dari itu, menurut Agustine, penentu keputusan di sektor finansial mulai harus berbenah jadi lebih sensitif gender. “(Kita) butuh kebijakan spesifik untuk perempuan serta hukum responsif dan berkeadilan gender,” ujarnya. “Jika ada perencanaan responsif gender maka akan dilakukan penyesuaian kebijakan dengan mempertimbangkan situasi yang dialami perempuan.”
Queentries menambahkan, regulasi yang responsif gender dalam pengembangan usaha mikro milik perempuan dapat berupa kebijakan yang tidak harus memakai agunan, seperti rumah maupun kendaraan bermotor. Melainkan benda atau harta yang dimiliki perempuan, seperti alat pertanian, hasil bertani, atau ternak.
“Misalnya, di PNM Mekaar. Khusus perempuan, tidak diminta agunan yang besar karena tahu perempuan lebih sulit untuk (kasih) jaminan. Selain itu, sistemnya juga tanggung renteng,” ujarnya, mencontohkan. PNM Mekaar sendiri adalah singkatan dari PT Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera, salah satu BUMN kita yang bergerak di bidang jasa keuangan.
Selain menerapkan regulasi yang responsif gender, Queentries juga menyarankan pemerintah untuk mendidik petugas dan lembaga pemberi modal agar lebih sensitif gender. Sehingga, saat melakukan wawancara dengan pemilik usaha perempuan, alih-alih fokus pada hambatan dalam membagi waktu berbisnis dan mengurus keluarga, pertanyaan fokus pada kemampuannya mengurus usaha.
“Mengaplikasikan lensa gender idealnya karena it’s the right thing to do dan paham kalau itu hak semua manusia untuk mendapatkan akses finansial,” ungkapnya.
Selain menerapkan regulasi yang responsif gender, Queentries juga menyarankan pemerintah untuk mendidik petugas dan lembaga pemberi modal agar lebih sensitif gender. Sehingga, saat melakukan wawancara dengan pemilik usaha perempuan, alih-alih fokus pada hambatan dalam membagi waktu berbisnis dan mengurus keluarga, pertanyaan fokus pada kemampuannya mengurus usaha.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.
Comments