Diskriminasi terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Indonesia, khususnya di dunia kerja, merupakan masalah serius. Hal ini berlangsung dari awal masa perekrutan sampai ke masa kerja yang dijalani, mulai dari blokade akses terhadap pekerjaan, ditutupnya peluang promosi, sampai tak adanya akses jaminan sosial.
Diskriminasi terhadap LGBT ini mengakibatkan kurangnya representasi kelompok orientasi seksual dan identitas gender minoritas dalam lanskap dunia kerja Indonesia. Baik dalam struktur pemerintahan atau institusi kerja, keragaman gender dan seksualitas sangat kecil, dan ini jarang sekali diperbincangkan. Akibatnya, kelompok LGBT rentan mendapat diskriminasi, pelecehan, kekerasan, dan perundungan; penyelesaian masalahnya pun cenderung diabaikan.
Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bentuk paling umum atas diskriminasi LGBT di dunia kerja adalah kurangnya lapangan pekerjaan bagi mereka yang “melawan” peran gender normatif. Heteronormativitas dan konsep gender biner yang terkonstruksi di masyarakat memengaruhi proses perekrutan, sehingga mereka dengan identitas gender dan orientasi seksual yang dianggap abnormal kehilangan akses pekerjaan dari awal.
Demi menghindari diskriminasi, pekerja LGBT harus menyembunyikan identitasnya, yang akhirnya makin menekan visibilitas LGBT di dunia kerja. Belum lagi beban psikis yang harus dipikul akibat harus berpura-pura di tempat kerja, seperti menjalani dua hidup dalam satu waktu.
Diskriminasi dan kekerasan di dunia kerja ini tidak hanya menghantui mereka yang telah melela. Mereka yang menyembunyikan orientasi seksual dan identitas gender tak serta-merta kebal dari pelecehan. Ini erat kaitannya dengan asumsi rekan kerja berdasarkan cara berpakaian atau bahasa tubuh sehari-hari, yang biasa disebut dengan ekspresi gender. Misalnya, seorang laki-laki berekspresi gender feminin akan langsung dituduh gay. Padahal, ekspresi gender tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang. Stereotip gender inilah yang dijadikan dasar untuk mendiskriminasi.
Masalah makin pelik dalam konteks transgender. Banyak transgender yang mengalami kesulitan mengubah identitas dalam KTP seperti nama dan jenis kelamin, dan ini tentunya menimbulkan tantangan dalam mendapatkan pekerjaan dan jaminan sosial.
Baca juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia
Diskriminasi LGBT sejak proses pencarian kerja
Sering lihat lowongan pekerjaan yang mensyaratkan “laki-laki atau perempuan”? Meski terlihat tak berbahaya, disadari atau tidak, ini menimbulkan eksklusi bagi transgender atau mereka dengan identitas gender di luar konstruksi biner. Akhirnya banyak dari mereka yang terpaksa bekerja di sektor informal karena situasi pekerjaan formal yang tak ramah, meski tentunya ini juga dipengaruhi jenjang pendidikan yang dimiliki. Kelompok transgender dengan jenjang pendidikan rendah dan keahlian profesional rendah sering kali harus menjadi pekerja seks.
Kementerian Sosial acap kali mengadakan pelatihan kerja untuk transgender agar mereka dapat berhenti menjadi pekerja seks. Namun, pelatihan yang diberikan selalu berhubungan dengan menjahit atau merias. Secara tidak langsung, Kementerian Sosial telah mengamplifikasi stereotip bahwa transgender hanya pantas ada di industri hiburan dan kecantikan. Akibatnya, lingkup kerja transgender lebih sempit, alih-alih mengeksplorasi jenis pekerjaan lain.
Dalam proses rekrutmen, diskriminasi LGBT juga sering terjadi. Berdasarkan wawancara dalam laporan PRIDE at work oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), beberapa transgender harus mempresentasikan dirinya menjadi laki-laki atau perempuan “ideal.” Ada cerita salah satu transpuan yang harus memangkas rambutnya dan memakai kemeja agar terlihat seperti laki-laki. Ia tetap tak mendapat pekerjaan karena pewawancara curiga bahwa ia bukan laki-laki heteroseksual.
Diskriminasi juga terjadi pada laki-laki berekspresi feminin karena dianggap gay, dan perempuan berekspresi maskulin karena dianggap lesbian. Salah satu cerita adalah seorang lelaki gay yang mendapat ujaran bahwa perawakannya sangatlah gay ketika wawancara kerja. Ia menyembunyikan homoseksualitasnya dengan menyangkal pernyataan tersebut. Lalu, ia dilecehkan dengan perkataan, “Saya ikut ke kos-mu, deh, untuk buktiin bahwa kamu laki-laki atau perempuan.”
Bentuk lain diskriminasi LGBT di dunia kerja adalah komentar atau candaan tentang identitas gender individu LGBT; peminggiran sosial; perundungan oleh individu LGBT lainnya; intimidasi; dan kekerasan fisik.
Apabila ditelusuri lebih jauh, semua tindak diskriminasi terhadap LGBT di dunia kerja berasal dari rendahnya tingkat toleransi masyarakat, khususnya rekan kerja. Survey PRIDE at work (PSKK UGM, 2014) juga menemukan bahwa hanya 3,92% responden yang merasa perlakuannya terhadap kelompok LGBT di dunia kerja sudah sangat menerima.
Baca juga: KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan
Tak ada kebijakan perlindungan LGBT di dunia kerja
Seperti untuk isu pelecehan seksual, mayoritas perusahaan di Indonesia masih belum punya kebijakan untuk melindungi individu LGBT di tempat kerja dari diskriminasi dan kekerasan. Ketidakjelasan hukum di Indonesia soal diskriminasi dan kekerasanlah yang jadi sumbernya. Hukum Indonesia melarang diskriminasi dalam bentuk dan konteks apa pun. Namun, di sisi lain, tak ada payung hukum yang jelas dan spesifik mengatur diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual.
Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, menyebutkan bahwa diskriminasi ketenagakerjaan dalam bentuk apa pun itu dilarang. Pasal 5 berbunyi, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Sedangkan Pasal 6 mengatur bahwa “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Jadi seharusnya, diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual pun bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap UU ini.
Selanjutnya, Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 menjunjung kesetaraan bagi setiap orang. Namun lagi-lagi, tak ada rujukan khusus soal gender dan orientasi seksual.
Sebanyak 89 persen responden dalam PRIDE Survey mengatakan bahwa tak ada kebijakan yang mengatur isu LGBT di tempat kerja mereka. Ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan kelompok LGBT dari potensi diskriminasi dan kekerasan yang diterima.
Mendukung Inklusi LGBT di Dunia Kerja
Di Amerika Serikat, Stonewall Global Workplace Briefings 2019 telah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang perusahaan dapat lakukan untuk mendukung inklusi dan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT di dunia kerja. Poin-poinya antara lain:
- Memperkenalkan kebijakan global anti-diskriminasi dan anti-perundungan dan pelecehan yang secara eksplisit inklusif terhadap orientasi seksual dan identitas gender;
- Menunjuk staf senior untuk menggalakkan pentingnya kesetaraan LGBT di tempat kerja;
- Membangun jaringan pekerja LGBT dan program sekutu. Dalam hal ini, serikat pekerja yang ada harus mendukung isu kesetaraan LGBT di tempat kerja;
- Memiliki tim keragaman dan inklusi atau posisi yang secara khusus memonitor isu orientasi seksual dan identitas gender.
Heteronormativitas dan konsep gender biner yang terkonstruksi di masyarakat memengaruhi proses perekrutan, sehingga mereka dengan identitas gender dan orientasi seksual yang dianggap abnormal kehilangan akses pekerjaan dari awal.
Di tengah tendensi negatif dan kecaman dari berbagai pihak yang menolak kesetaraan dan inklusi LGBT, mengakses sumber dan rujukan terkait inklusi LGBT di dunia kerja tentu sulit. Untuk itu, ada beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang terhubung dengan komunitas LGBT. Beberapa LSM berikut bergerak dalam isu perlindungan hak LGBT di berbagai konteks, termasuk dunia kerja:
- Bali Rainbow Community, sebuah grup di Bali yang mendukung edukasi, penjangkauan dan bantuan finansial bagi orang dengan HIV (ODHIV)
- GAYa Nusantara, LSM yang mengadakan riset, advokasi, dan jasa untuk mendukung komunitas LGBT di Indonesia
- Arus Pelangi, sebuah asosiasi keanggotaan yang bekerja untuk mempromosikan hak LGBTI di Indonesia
- Yayasan Srikandi Sejati, organisasi lokal yang bekerja untuk memberdayakan kaum transgender di Indonesia
- GWL-INA, pusat koordinasi nasional untuk program kontrol HIV dan advokasi hak kesehatan reproduksi dan seksual bagi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan transpuan.
Artikel ini pertama kali terbit di Never Okay Project, inisiatif berbasis misi pertama di indonesia yang mendukung komunitas dan institusi dalam menciptakan dunia kerja yang bebas dari pelecehan seksual.
Comments