Prabowo Subianto dan Joko Widodo, atau Jokowi, pasti lega bisa menghindar kali ini. Kesempatan berikutnya untuk bertanya tentang subsidi energi baru akan muncul di debat terakhir 5 Juli, yang dengan malu-malu menyelipkan energi sebagai topik di antara pangan dan lingkungan.
Saya memahami perasaan mereka. Waktu saya kecil, Mama rajin memaksa kami minum minyak ikan yang sehat tapi rasanya tidak enak sekali. Sisa rasa amis minyak itu akan bercokol di tenggorokan, dan karena itu saya dan kakak-kakak biasanya berusaha menunda meminum suplemen ini selama mungkin, sambil berharap Mama akhirnya akan lupa.
Sejalan dengan menghangatnya kampanye dan menyusutnya jarak elektabilitas antara kedua calon, para kandidat perlahan tapi pasti mundur dari isu subsidi energi. Sampai akhir tahun lalu, Prabowo masih mendukung dicabutnya subsidi BBM. Ia berganti mendukung “Bahan bakar murah” di iklan televisi partainya pada Januari tahun ini, dan mengusulkan untuk “mengurangi subsidi khususnya terhadap orang kaya melalui mekanisme pajak dan cukai” dalam dokumen visi misi yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Mei lalu.
Apa ini berarti memajaki orang yang tidak miskin, alias termasuk kelas menengah yaitu sekitar 56.7 persen penduduk menurut data terbaru dari pemerintah, atau hanya mereka yang memiliki mobil besar (atau mungkin kuda ras), yang kemungkinan besar tidak membeli BBM bersubsidi? Di mana batasnya supaya pajak baru ini efektif mengumpulkan dana tapi tidak menimbulkan kemarahan pemilih?
Prabowo dan calon wakil presiden Hatta Rajasa memerlukan pot emas ini untuk membiayai mimpi-mimpi mereka. Pasangan ini ingin meningkatkan pengeluaran untuk infrastruktur menjadi Rp 1.400 triliun selama masa jabatan mereka dan mengurangi defisit negara ke 1 persen dari PDB mulai 2017. Sementara itu, revisi APBN terakhir menargetkan defisit sebesar 2,4 persen tahun ini, dengan subsidi energi sebesar Rp 350 triliun.
Jokowi juga mulai melangkah mundur dalam hal subsidi BBM, dari berencana untuk menghilangkan semua subsidi dalam empat tahun menjadi meyakinkan para pengemudi ojek bahwa subsidi akan tersedia untuk warga yang berpenghasilan rendah. Ide terakhir ini memang terdengar lebih masuk akal. Sekitar setengah BBM bersubsidi dikonsumsi pemilik mobil pribadi tahun lalu dan pencabutan subsidi untuk konsumen kelas ini – gagasan yang didukung Jokowi tahun lalu – akan membuat kebijakan subsidi lebih tepat sasaran.
Dokumen 42 halaman yang menggarisbawahi program-program Jokowi dan pasangannya Jusuf Kalla menyebutkan rencana untuk mengalihkan 30 persen transportasi dari berbasis BBM ke gas, yang diharapkan akan mengurangi subsidi sebesar Rp 60 triliun. Langkah ini akan mencontoh program konversi penggunaan minyak tanah menjadi elpiji yang lebih murah yang didorong Kalla pada 2006 ketika beliau menjabat sebagai wakil presiden.
Namun, konversi BBM ke gas ini tidak akan berhasil jika BBM bersubsidi masih terlalu murah, seperti dikatakan oleh analis pasar modal Poltak Hotradero dalam salah satu kicauannya awal Juni.
Para kandidat boleh berterima kasih kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kursi panas ini. Menaikkan harga BBM adalah pekerjaan rumah yang tertunda yang semestinya dilakukan SBY, dengan Hatta sebagai Menteri Koordinator bidang Ekonomi, untuk mencapai anggaran yang lebih sehat.
Pil pahit ini malah ditinggalkan untuk menjadi tantangan presiden berikutnya. Alokasi subsidi BBM sebesar Rp 245 triliun yang tertera dalam revisi APBN terakhir sebenarnya dapat dipakai membangun 20 sistem transportasi massal cepat (MRT) seperti yang direncanakan untuk Jakarta atau lebih dari 11.000 blok rumah susun, menurut kalkulasi ulang dari contoh yang diberikan Hotradero.
Pencabutan sebagian subsidi BBM, kalaupun tidak sepenuhnya, dapat diterjemahkan menjadi layanan publik yang jauh lebih baik. Langkah ini memang sulit, tapi merupakan langkah yang dewasa dan tepat.
Mimpi Panas Bumi
Di bidang listrik, kedua capres menargetkan mencapai elektrifikasi 100 persen di akhir masa jabatan pada 2019. Untuk melakukan hal ini, Prabowo-Hatta berencana membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan air sebesar 10.000 megawatt. Rencana ini terdengar agak aneh.
Tempat-tempat yang masih gelap gulita di Indonesia terutama terdiri dari daerah terpencil di luar Jawa, di mana permintaan paling tinggi di tingkat ratusan kilowatt atau beberapa megawatt dan kelebihan listrik tidak bisa dikirim ke mana-mana karena tidak ada jaringan. Ini adalah salah satu alasan mengapa banyak desa menggunakan generator – transportasi BBM relatif mudah dan kapasitas pembangkit bisa dibuat setara dengan berapapun jumlah keluarga yang akan dilayani.
PLTP memiliki keterbatasan dalam hal lokasi dan ketersediaan jaringan untuk menyalurkan listrik yang dihasilkan. Unit PLTP terkecil yang ada di Indonesia saat ini adalah sebesar 12 megawatt di Sibayak, Sumatera Utara. Walaupun memiliki potensi panas bumi yang luar biasa yaitu hampir 30.000 megawatt, pada kenyataannya kapasitas terpasang di Indonesia saat ini hanya 1.341 megawatt. Hanya sedikit perusahaan yang bermain di sektor ini, termasuk PT PLN, PT Pertamina, PT Chevron Geothermal Energy, dan berapa perusahaan lain – pasti ada alasannya mengapa sektor ini begitu tidak aktif.
Jokowi-Kalla juga menyebutkan pengembangan tenaga panas bumi, air, biofuel, dan biomassa sebagai sumber energi terbarukan. Namun, untuk meningkatkan ketersediaan listrik, mereka berencana untuk mengandalkan batu bara dan gas, yang terdengar lebih realistis, walaupun tidak ramah lingkungan. Pasangan ini tidak menyebutkan target kapasitas listrik yang akan dibangun.
Perlu dicatat bahwa tidak satupun kandidat menyebut tenaga surya sebagai sumber energi alternatif yang perlu menjadi prioritas. Siapapun yang pernah mengalami panasnya Jakarta yang rasanya seperti disinari 12 matahari akan tahu bahwa tenaga surya adalah suatu potensi yang harus dimanfaatkan negeri yang dilintasi garis khatulistiwa ini.
Pada akhirnya, siapapun yang terpilih, kita hanya bisa berharap bahwa mereka akan lebih maju dalam kebijakan energi: membuat program-program yang realistis serta berani mengambil keputusan dan menahan rasa pahit yang harus ditanggung untuk sementara, seperti orang dewasa.
Tentang Leony Aurora
Leony bekerja di bidang komunikasi, terutama yang terkait dengan alam dan bagaimana kita hidup dan berkembang. Sebagai mantan jurnalis, dia tertarik akan pertanyaan dan kisah pribadi, dengan harapan perjalanannya nanti akan mengarah pada beberapa jawaban. Menulis membuatnya tetap waras, dan sekaligus menciptakan sedikit kegilaan. Ikuti @leonyaurora di Twitter.
Diterjemahkan oleh Leony Aurora dari artikel “What about those energy subsidies, dear candidates?”
Comments