Setelah dua tahun pandemi, saya berhasil menghindari virus COVID-19 dengan hidup selayaknya petapa yang menghindari banyak orang karena takut terinfeksi virus ini. Tak hanya lebih banyak di rumah, saya juga tak absen ikut vaksin dari yang pertama sampai yang ketiga. Tapi, meski sudah begitu berhati-hati, pertahanan saya runtuh juga setelah terkena Omicron. Saya bersyukur karena gejala yang saya dapat cukup ringan, hanya batuknya saja yang lumayan menyiksa. Tapi, yang bikin saya menangis adalah saya tertular dua hari sebelum konser musik yang sudah saya tunggu-tunggu.
Mungkin saya terdengar seperti privileged bitch yang menangisi konser musik di tengah situasi pemulihan pasca-Covid. Tapi, selain konser pertama setelah dua tahun yang menyiksa, itu juga konser dari si ratu K-pop Jessica Oh alias Jessi, yang sangat saya kagumi. Padahal, saya sudah dari lama membayangkan betapa menyenangkannya bisa ketemu Jessi secara langsung, namun sayangnya virus sialan ini menghancurkannya.
Tak mau tiket di tangan terbuang sia-sia, akhirnya saya memberikannya pada kakak perempuan saya yang pergi bersama temannya. Sebetulnya saya cukup kaget ketika tahu bahwa kakak saya yang menggunakan hijab dan lulusan teknik juga penggemar Jessi. Tapi, bagi saya itu jadi bukti lain kepopuleran artis tersebut.
Penyanyi/rapper/pembawa acara berusia 33 tahun keturunan Amerika-Korea ini memulai kariernya di usia 15 tahun. Meski debut bersamaan dengan idol K-pop generasi dua, namun baru 14 tahun kemudian Jessi mendapat panggung kepopuleran, setelah single Nunu Nana (2020) meledak di tangga musik global. Di awal tahun ini, nama Jessi semakin dikenal setelah single berjudul Zoom viral di TikTok dan semua orang ikut tren koreografi lagu ini.
Sebagai mantan K-popper yang enggak tertarik lagi di dunia perkipopan setelah kuliah, suara Jessi yang powerful dan diputar-putar di mana-mana akhirnya menyeret saya kembali ke dunia K-pop. Saya pun mencari tahu lebih dalam tentang Jessi dan cukup kaget setelah melihat penampilannya yang berkulit coklat, berbibir tebal, dan dengan dada mirip Kylie Jenner. Meski begitu, ada sesuatu tentang Jessi yang membuat saya tertarik padanya.
Ketertarikan itu lah yang membuat saya akhirnya menenggelamkan diri mencari tahu tentang lagu-lagu dan musik yang dibawakan Jessi. Pernah aktif di paduan suara di gereja saat masih tinggal di Amerika, Jessi memiliki suara yang powerful, agak serak tapi enak didengar. Ketika menonton penampilannya, saya makin kagum karena tak ada yang berbeda dari suaranya saat rekaman maupun live, bahkan penampilannya saat live yang terlihat percaya diri lebih menarik ditonton.
Tak hanya bakat bernyanyi, dalam membuat musik, Jessi menulis dan mengaransemen lagunya sendiri dengan liriknya cukup relatable dengan saya dalam banyak hal karena ia banyak menulis tentang penerimaan diri. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk langsung jatuh cinta padanya dengan karakternya yang jujur dan badass.
Baca juga: Kesehatan Mental dan Naik-Turun Hidup Jadi Idola K-Pop
Standar Kecantikan yang Tak Realistis di Industri K-Pop
Jessi lahir di New York City tapi dibesarkan di New Jersey, AS. Orang tuanya yang merupakan seorang imigran punya masalah finansial untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, keluarganya selalu mendukung Jessi untuk menggapai cita-citanya sebagai seorang penyanyi. Di umurnya yang masih sangat muda Jessi lalu mengirimkan rekaman lagu-lagu yang ia buat ke agensi musik di Korea Selatan. Setelah ada panggilan dari agensi, Jessi pun dikontrak dan mengharuskannya terbang sendiri dari Amerika ke Seoul di usianya yang masih 15 tahun.
Jessi memulai debutnya pada 2006 dengan single Get Up di bawah naungan perusahaan rekaman bernama Doremy. Karena albumnya tak berjalan baik, Jessi pun harus bergabung dengan grup campuran bernama Uptown. Walau sudah berusaha tampil dengan baik, tapi grup tak bertahan lama sampai akhirnya bubar.
Kegagalan yang dialami Jessi tidak lepas dari dirinya yang tidak sesuai dengan standar kecantikan industri K-Pop yang telah banyak dikritik karena mempromosikan stereotip standar kecantikan perempuan Asia Timur. Para idol kerap dituntut punya kulit putih, tubuh mungil, wajah kecil, dan kelopak mata yang besar.
Selain itu, industri K-pop juga berusaha menjadikan para idol terlihat lugu, girly, dan pemalu. Semua standar ini tak masuk di Jessi yang punya kulit coklat dan mata yang sipit. Bahasanya Koreanya yang masih belum lancar juga menambah kompleksitas situasi yang dihadapinya.
Dalam sebuah wawancara, Jessi mengatakan bahwa ia hidup seperti mesin pada saat itu karena dirinya harus menuruti apa pun yang agensinya katakan padanya. Ia melakukan segala macam cara agar diterima oleh masyarakat Korea Selatan. Di satu titik, Jessi bilang kalau ia di atas panggung menyanyikan lagu-lagu ceria tapi dalam hatinya ia menangis. Jessi pun sempat masuk ke jurang depresi.
Dengan tiadanya progres dalam karier bermusiknya, Jessi memutuskan untuk mengubur mimpinya menjadi idol dan kembali ke Amerika Serikat pada 2010. Namun karena memang musik adalah bagian dari dirinya, lima tahun kemudian ia kembali ke Korea Selatan. Ia memulai kembali kariernya dengan bergabung dalam grup trio bernama Lucky J, di bawah naungan YMC Entertainment. Lagi-lagi Jessi harus menelan kenyataan bahwa grup ini tidak juga sukses di pasaran dan dibubarkan karena skandal beberapa bulan kemudian.
Di tengah keputusasaan itu, Jessi akhirnya mencoba program kompetisi bernama “Unpretty Rapstar” (2015). Penampilannya yang cukup vokal dan berbeda menarik perhatian banyak orang. Sikapnya yang blak-blakan–dengan bahasa yang terbilang berani dan kasar – membuat Jessi tak disukai peserta lain. Tapi, Jessi bilang bahwa ia tidak berusaha menjadi menyebalkan, hanya saja lelah jika mengikuti standar perempuan di Korsel, dan kali ini ia berusaha menampilkan dirinya yang sebenarnya. Persona Jessi yang vokal dan berani itu pun membuatnya semakin populer dan berakhir jadi juara ke dua di kompetisi tersebut.
Seiring kepopuleran Jessi yang terus melejit, ia juga mendapat banyak haters –yang kebanyakan adalah laki-laki. Personanya yang terlalu jujur dan vokal tentu tak akan mudah diterima di Korea Selatan. Tapi, meski mempunyai banyak haters, Jessi justru mengubah komentar mereka menjadi lirik lagu. Ini terlihat dari single “I Want to Be Me” (2015) yang merefleksikan rasa frustasinya pada industri K-Pop dan bagaimana ia hanya ingin jadi dirinya sendiri.
No matter what anyone says, Imma do me
Till the lights go off and the music stops
When the party ends, I can say, I did it my way
Jessi seolah membebaskan dirinya dari kotak yang didesain untuk idola perempuan. Jessi tak takut menjadi vokal, jujur, berani dan tak malu jadi dirinya sendiri. Sebagai perempuan yang juga hidup di tengah masyarakat patriarkal saya paham betul apa yang dirasakan Jessi. Saya sangat mengerti bagaimana rasanya tak bisa menjadi diri sendiri dan betapa menyiksanya harus selalu mengikuti standar masyarakat. Melihat Jessi yang nyaman dengan dirinya sendiri terasa empowering bagi saya.
Baca juga: Bagaimana K-Pop dan K-Drama Melawan Stereotip Orang Asia?
Bagaimana Jessi Membuat Orang Sekelilingnya Nyaman dengan Diri Mereka Sendiri
Pada 2020, Jessi yang sudah lama kesulitan mencari agensi yang cocok akhirnya bergabung dengan P-Nation milik PSY yang terkenal karena lagu “Gangnam Style”. Dia memproduksi lagu-lagu yang ia tulis dan produseri sendiri. Di tahun yang sama ia mengeluarkan lagu “Who Dat B”, “Drip”, dan “Down”. Lagu-lagunya dengan suara khas dan lirik yang empowering membuat Jessi berhasil meraih pasar global di industri musik.
Di tahun yang sama, ia membuat dobrakan baru dengan bergabung bersama Refund Sister, sebuah grup yang terdiri dari para idol perempuan dengan citra badass. Anggotanya ada Hwasa dari MAMAMOO yang berumur 27 tahun, Lee Hyori 43 tahun, dan Uhm Jung-hwa 53 tahun. Grup ini dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap seksisme dan diskriminasi umur di industri K-pop. Kesuksesan debut single mereka lewat lagu “Don’t Touch Me” seolah membuktikan bahwa perempuan bisa berkarya di usia yang matang.
Persona Jessi yang jujur tapi tetap ramah juga membuatnya sering muncul di variety shows. Bahkan, Jessi punya kanal YouTube show-nya sendiri bernama “Jessi Show Interview” yang banyak berbincang dengan para idol. Selain punya bakat menyanyi, Jessi juga punya kemampuan wawancara yang mengagumkan yang membuat narasumbernya nyaman di dekatnya. Di saat para idol dituntut menjaga citra dan jadi pemalu, bersama Jessi mereka bisa tertawa dengan keras dan menciptakan momen-momen menyenangkan. Dengan sikapnya yang jujur dan apa adanya, Jessi sering bikin idol laki-laki sampai merah pipinya.
Wawancaranya dengan grup idol TXT bahkan ditonton oleh 14 juta orang. Kanal YouTube-nya pun banyak dibanjiri penggemar yang berkomentar bahwa wawancara Jessi dengan TXT adalah salah satu wawancara terbaik yang pernah ada.
Jadi, bisa dibayangkan, betapa patah hatinya saya saat gagal menghadiri konser Jessi karena harus karantina. Kakak saya mengatakan bahwa selama konser, Jessi sangat ramah dan humble sampai membuat banyak penonton menangis. Tak hanya itu, Jessi juga mengajak beberapa penonton ke panggung untuk melakukan Zoom dance bersama dirinya. Di sana, Jessi secara terbuka cerita kalau dia hampir saja menyerah berkarier di industri K-pop.
“Everything has been hard for me, you know, because of the beauty standard. But I decided to not give a fuck anymore. I make my own standard,” ujarnya.
Meski begitu, tak jarang saya juga cukup berkonflik dengan standar kecantikan yang berusaha Jessi tampilkan. Di satu sisi dia berusaha melawan standar kecantikan di Korsel yang enggak masuk akal, tapi di sisi lain dia juga mengadopsi standar kecantikan Barat yang tak kalah absurd seperti The Kardashians, yang sudah lama dikritik. Mereka terobsesi membuat badannya ramping, tapi payudara dan bibirnya besar.
Walau ada sisi lainnya yang cukup conflicting bagi saya, tapi setidaknya Jessi berani menjadi apa yang dia inginkan dan enggak merasa bersalah untuk itu. Ia bahkan bisa secara terbuka berbicara soal operasi plastik yang dilakukannya di saat itu jadi sesuatu yang “haram” dibicarakan di Korsel.
“Shout out to Doctor Kim for making my boobies nice and firm. I got my boobs six years ago,” ujarnya di salah satu kanal YouTube saat diwawancara.
Baca juga: Red Velvet, MAMAMOO, dan ITZY: Idola K-Pop dan Bahasa Feminis Mereka
Selain itu, dalam wawancara lain, Jessi juga mengatakan bahwa apa yang menjadi standarnya tidak perlu diikuti oleh lain. Selain itu ia mengungkapkan kalau alasannya selama ini membuat musik agar orang-orang bisa lebih sadar untuk mencintai dirinya sendiri.
“The reason why I created music for all of you guys is to make you be yourself. Love yourself. It doesn’t really matter whether you wanna change your body or not.”
Pada akhirnya, dia membuat saya sadar bahwa orang akan selalu punya alasan untuk mengomentari tubuh kita, tapi hal yang paling penting adalah bagaimana kita bisa nyaman menjadi diri sendiri. Perjalanan karier Jessi dalam membuat musik juga menjadi alasan kenapa saya berharap bisa bertemu dengannya suatu hari. Entah itu pandemi atau tidak, saya akan mengisolasi diri selama 10 hari sebagai antisipasi agar bisa menonton Jessi secara langsung.
Artikel ini merupakan terjemahan dari versi aslinya. Baca versi Bahasa Inggrisnya di sini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments