Kegagalan umumnya dijadikan momok, seolah-olah tidak boleh terjadi. Orang-orang yang mengalami kegagalan kerap dikaitkan dengan tabiat yang malas, kemampuan diri yang tidak mumpuni, atau ketidakpatuhan terhadap norma yang berlaku. Namun, apakah kegagalan sesempit itu?
Percakapan mengenai kegagalan ditelusuri oleh seorang profesor yang fokus mengkaji media, queer, dan budaya populer asal Amerika Serikat bernama Jack/Judith Halberstam. Dalam membangun kritiknya, Halberstam meminjam dan mengadaptasi konsep "low theory" dari Stuart Hall untuk menganalisis bagaimana karya seni, seperti media populer dan film animasi, berfungsi membangun ruang dalam menyuguhkan cara berpikir alternatif untuk memandang kegagalan, bahwa kesempatan dapat hadir dengan cara-cara yang tidak terkira. Dengan cara pandang itu, kita dapat memahami kegagalan sebagai bentuk kesuksesan yang berbeda—sesuatu yang membuka pintu terhadap ragam alternatif, bahkan dalam situasi yang kita anggap “terpuruk” sekalipun.
Melalui bukunya The Queer Art of Failure yang dipublikasikan tahun 2011, Halberstam mengajak pembaca meruntuhkan makna di balik kegagalan. Logika berpikir dikotomis mengenai sukses dan gagal mendorong kita untuk berpikir bahwa sukses adalah segalanya yang bersifat pencapaian personal, positif, dan layaknya menjadi sesuatu yang selalu kita kejar dalam hidup. Kita dibuat abai terhadap konteks lebih luas dalam memahami kesuksesan, termasuk siapa yang berkuasa mendefinisikan dan membentuk standar operasional untuk berpikir, bertindak, bahkan hakikat kita menjadi manusia.
Terlebih, kita dibuat abai terhadap kegagalan dan diminta untuk mengenyahkan perasaan-perasaan yang terkesan konyol, kekanak-kanakan, dan nakal; pikiran-pikiran sesat, sering lupa, khilaf, untuk tidak patuh pada aturan, serta kritis untuk selalu bertanya. Akibatnya, kita sebagai manusia dicetak dengan berbagai tuntutan untuk sukses dan kehilangan esensi untuk menjadi manusia yang dapat merangkul semua emosi dan kekacauan dalam pikiran kita.
Baca juga: Berusaha Untuk Selalu Bahagia Itu Enggak Perlu
Halberstam juga berseru bahwa kegagalan adalah makanan sehari-hari para queer. Di banyak konteks, queer masih menjadi kelompok minoritas yang merujuk pada individu-individu yang bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender. Identitas queer dianggap gagal memenuhi ekspektasi masyarakat cisheterormatif. Hasrat queer gagal memenuhi akumulasi produksi dan reproduksi masyarakat kapitalis. Pun queer dianggap gagal dalam perkembangan evolusi menurut Darwin.
Karya Halberstam mengajak kita untuk menjadikan kegagalan bukan sebagai jalan buntu. Melainkan menekankan bahwa kegagalan adalah sebuah seni, style (meminjam istilah Quentin Crisp), atau bahkan cara untuk hidup (meminjam istilah Michel Foucault)
“Kegagalan justru membuka alternatif,” tutur Halberstam.
Kegagalan mendorong cara berpikir kita untuk menemukan hal-hal kreatif, jenaka, dan bahkan terkadang di luar dugaan kita. Kegagalan menawarkan kebebasan untuk keluar dari kotak norma atau aturan yang mendisiplinkan kita dan menemukan jalur-jalur keliru untuk mencapai kebijaksanaan hidup.
Halberstam mengilustrasikan upaya pencarian alternatif melalui analisisnya dalam suatu percakapan antara Tuan Krabs dan Spongebob, dalam seri animasi populer Spongebob Squarepants, Season One*.
Tuan Krabs: Kailnya! Mereka kembali! Waspadai kailnya! Spongebob: Kail? Tuan Krabs: AYE, kail-kailnya. Mereka dapat menjuntai ke bawah dan menarikmu ke permukaan. Mereka terlihat memikat, berwarna-warni, dan tepat ketika kamu terpikat, mereka menarikmu dengan cepat, dan membawamu naik tinggi, dan lebih tinggi, dan lebih tinggi, dan LEBIH TINGGI, sampai kamu diangkat ke permukaan, terjatuh dan terengah-engah! Dan kemudian mereka memasakmu, dan kemudian mereka memakanmu–ATAU, justru lebih buruk! Spongebob: [ketakutan] Apa yang lebih buruk dari itu? Tuan Krabs: [menjawab dengan perlahan] Toko hadiah! |
*Teks diadaptasi dan ditranslasi secara lepas
Dalam percakapan tersebut, Tuan Krabs berusaha meyakinkan Spongebob terhadap bahaya jika ia sampai ditarik oleh para pemancing sampai terdampar ke permukaan laut. Namun apakah upaya tersebut justru dilakukan atas kepentingan kapitalistik Tuan Krabs, untuk membuat Spongebob merasa tidak memiliki pilihan lain, untuk menyadari dirinya terjebak sebagai komoditas kapitalisme, meski mungkin Spongebob memiliki keinginan untuk terlepas dari jebakan tersebut? Skenario apa yang mungkin terjadi ketika Spongebob bersikeras memiliki alternatif dan berjuang untuk mewujudkan alternatif tersebut?
Baca juga: Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia
Kegagalan: Alternatif bahagia?
Dalam sebuah klub baca yang diselenggarakan di Bandung oleh Panggung Minoritas awal bulan lalu, kami dan beberapa peserta lain diajak untuk melakukan refleksi dan memaknai kegagalan—topik yang sering kali dianggap terlalu pribadi dan memalukan. Mulai dari perceraian orang tua, kegagalan masuk ke kampus dan tempat kerja impian, hingga gagal memenuhi standar maskulinitas atau heteronormativitas ala masyarakat Indonesia.
Satu hal yang kami pelajari dari diskusi yang dilakukan, bahwa ketika kita mengidentifikasi, membuka diri untuk memaknai ulang kegagalan, kita berada dalam satu langkah lebih depan untuk memiliki cara pandang alternatif terhadap kehidupan, bahwa tidak semua hal bersifat biner: hitam atau putih. Kegagalan adalah sesuatu yang umum, dibentuk melalui relasi kuasa dalam konteks sosial, politik, budaya—dan dengan demikian, kegagalan adalah hal yang komunal.
Di tengah gempuran narasi untuk terus menjadi pemenang, mungkin untuk mencapai kebahagiaan, kita tidak perlu terpaku mengikuti standar normatif arus utama di masyarakat untuk bisa dibilang “sukses”. Mungkin tidak memenuhi standar tersebut adalah upaya yang dapat kita lakukan untuk mengkritik logika dominan para pemegang kuasa yang patriarkal, cis-heteronormatif dan kapitalis. Mungkin menjadi gagal adalah langkah untuk mendorong kita membayangkan alternatif-alternatif opsi untuk masa depan, meskipun terkesan utopis.
Pun, kita dapat memaknai kegagalan dalam bentuk “komunalitas”-nya. Mendengarkan dan memahami sesama mereka yang gagal dapat membangun solidaritas melalui upaya saling merawat (collective care) dan saling berjuang. Dengan demikian, kita dapat menghimpun kekuatan (power) dan alternatif baru secara bersama, dengan definisi dan cara yang kita tentukan sendiri.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments