Sejak 18 November 2020, saya tinggal sekamar dengan empat ibu yang sama-sama positif COVID-19, di salah satu rumah sakit di Jakarta. Saya sudah paham bagaimana konstruksi gender berkontribusi pada kerentanan perempuan untuk terpapar COVID-19. Namun setelah berinteraksi dengan empat ibu tersebut, saya menjadi khawatir bahwa konstruksi gender tidak hanya menjadi satu penyebab, tapi juga dapat menghambat kesembuhan perempuan pasien COVID-19 dari infeksi virus.
Tulisan ini saya buat untuk membantu diri sendiri agar lebih terampil berbagi beban dengan keluarga dan pasangan, yang juga sedang dirawat karena positif COVID-19. Juga untuk publik, agar mereka dapat memberikan dukungan yang lebih memadai kepada para perempuan yang terus dikuntit “tanggung-jawab” dan peran gender hingga ke ruang perawatan.
Kami berlima, tinggal dalam satu ruangan besar yang dibatasi oleh tirai. Hampir tidak mungkin kami dapat menyembunyikan percakapan kami dengan masing-masing keluarga melalui ponsel. Sesekali kami secara sengaja membahas kesulitan-kesulitan terkait keluarga agar dapat saling memberikan dukungan.
Dari kami berlima, hanya satu ibu yang suaminya tidak terinfeksi COVID-19. Suami-suami yang lainnya mengalami infeksi lebih berat dari kami. Umumnya karena para suami memiliki pola hidup yang lebih buruk dibanding kami, para istri. Para suami punya kecenderungan untuk terinfeksi virus hingga ke paru-paru karena kebiasaan mereka merokok, ditambah kurang berolah raga dan makan yang mengandung gula secara berlebihan yang memperburuk gula darah mereka. Karena itulah, suami saya dan suami ibu-ibu itu saat ini dirawat dengan dukungan peralatan dan perawatan lebih intensif—suntik insulin dan alat bantu oksigen. Kami punya pengalaman merawat suami yang sakit karena COVID-19 sebelum akhirnya kami dianjurkan melakukan tes swab dan menjalani perawatan.
Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos
Kisah saya berakhir sampai di karena saya tidak memiliki anak atau anggota keluarga lain yang saya rawat di rumah. Lain ceritanya dengan kawan-kawan sekamar yang memiliki anak dan cucu yang setiap hari mereka asuh. Anak-anak dan cucu mereka juga sebagian besar terinfeksi virus COVID-19 dan dirawat terpencar di beberapa rumah sakit, sebagian lainnya melakukan isolasi mandiri di rumah.
Meskipun para anggota keluarga yang terinfeksi sudah mendapatkan perawatan kesehatan, beban perempuan ini belum selesai. Atau lebih tepatnya, belum dituntut untuk selesai sekalipun mereka juga harus bergumul dengan imunitas tubuhnya yang sedang terancam.
Sebagaimana pasien laki-laki, hari-hari kami di sini berurusan dengan berbagai observasi dan perawatan, dari mulai infus vitamin, berbagai suntikan untuk menguatkan lambung, antibiotik, dan obat-obatan lain yang dapat mencapai tujuh sampai sepuluh macam. Kami juga melakukan penyesuaian dengan sesama pasien yang tentunya baru kami kenal di rumah sakit agar kami bisa nyaman tinggal bersama selama 7-14 hari bila beruntung. Sebagian pasien dapat tinggal lebih lama tergantung hasil tes swab-nya. Kami juga beradaptasi dengan ragam karakter dokter dan perawat pasien COVID-19, lingkungan tempat kami tinggal, dan lainnya.
Masih mengurus rumah tangga
Yang juga sangat penting, kami berusaha tenang melaluinya dan sebisa mungkin mengelola kesehatan mental kami sebagai pasien COVID-19 untuk dapat meningkatkan imunitas secara optimal. Tetapi sayangnya, para pasien perempuan ini masih juga dilekati oleh urusan pasangan dan centang perenang urusan rumah tangga. Bertelepon dengan suami, anak, cucu, dan asisten rumah tangga dengan masing-masing persoalannya menjadi semacam siaran radio yang saya ikuti sepanjang hari.
Bagian tersulit sebagai pasien COVID-19 adalah ketika para suami mulai rewel. Seolah-olah kami para ibu tidak punya stresnya sendiri dan sedang dalam keadaan prima. Wahai para suami, kami juga pasien yang butuh menenangkan pikiran agar imunitas kami cepat meningkat.
Setiap hari saya mendengar aneka topik percakapan mulai dari hari ini masak apa untuk keluarga yang ditinggal, mesti belanja apa, bagaimana perawatan kebersihan rumah, bayaran bulanan, dan lain-lain. Percakapan mulai merepotkan kalau anak atau cucu mereka mulai menangis karena khawatir atau tertekan dengan virus yang menginfeksi tubuhnya. Tak jarang sang ibu juga turut meneteskan air mata. Bila itu terjadi, kami biasanya beramai-ramai memberikan dukungan pada yang sedang susah itu.
Bagian tersulit dari semua itu adalah ketika para suami mulai rewel. Itu bagian di mana kami biasanya belum bisa banyak membantu. Tak jarang percakapan berakhir dengan tekanan ini itu dan kemarahan para ibu. Pada titik itu, saya melihat seolah-olah kami para ibu dianggap tidak punya stresnya sendiri, seolah-olah kami sedang dalam keadaan prima dan siap siaga direwelin suami. Wahai para suami, kami juga pasien yang butuh menenangkan pikiran agar imunitas kami cepat meningkat.
Bila saya simak perbincangan istri-suami yang menegang itu, umumnya terkait tuntutan suami. Terutama, suami-suami yang sehari-harinya menggantungkan kebutuhannya pada istrinya. Mereka sering kali kurang menyadari bahwa mereka tidak sedang menjadi raja di rumahnya dan istrinya juga sedang melalui masa krisis. Keluhan suami, mulai dari soal makanan rumah sakit yang kurang lezat hingga kebosanan dirawat sendiri di kamar isolasi, ditumpahkan kepada istrinya.
Kadang-kadang saya mendengar percakapan tak masuk akal, seperti suami meminta istri untuk meminta rumah sakit memulangkannya segera. Duhai para suami, kita sedunia sedang berupaya tidak saling membunuh dengan menyebarkan virus COVID-19, dan kamu-kamu terus merengek soal makanan dan keluhan-keluhan lain tentang anak dan rumah kepada istrimu, yang sudah dikeluhkan tujuh rupa sebelum dirimu menelepon!
Baca juga: Virus Corona atau Bukan, Ya?: Pengalaman Merawat ODP di Rumah
Suami agar tahu diri
Tentu saja, kita tak dapat mengubah konstruksi gender secara kilat di kamar perawatan ini. Tapi setidaknya, aku ingin mengajak para pembaca mulai menyadari bahwa perilaku dan kebiasaan seperti itu tidak adil buat kami para ibu, yang juga sedang sama-sama berusaha pulih. Jangan sampai kami terhambat untuk meningkatkan imunitas, bukan karena perawatan yang tidak memadai dari rumah sakit, melainkan karena tekanan-tekanan pikiran dari suami dan keluarga.
Karena itu, sudah saatnya para suami untuk menurunkan tuntutan patriarkalnya pada masa krusial seperti ini. Anak dan keluarga juga sudah saatnya melihat para ibu sebagai sosok yang harus diutamakannya pemulihannya, bukan malah terus-menerus dituntut bertanggung jawab atas ini itu.
Saya ingin mendengar lebih banyak dering telepon yang memberikan dukungan kepada para ibu yang tinggal sekamar dengan saya, juga untuk para ibu yang saat ini sedang dirawat karena COVID-19, di rumah sakit mana pun di dunia.
Bila kamu memiliki saudara atau kawan yang sedang mengalami situasi seperti ibu-ibu ini, coba tanyakan bantuan apa yang dapat diberikan untuk mengurangi bebannya. Menurut saya, solidaritas dan berbagi dukungan adalah hal yang paling mungkin dapat dilakukan sambil mengubah kultur patriarkal tersebut.
Bantuan-bantuan yang bersifat dukungan untuk kesehatan mental, atau bantuan teknis untuk meringankan beban pikirannya akan sangat membantu, seperti menyiram tanaman yang ditinggal, memantau kebutuhan anak-anaknya, dan lain-lain dengan meminta persetujuannya. Beberapa kawan yang menghubungi saya untuk bertanya bagaimana mereka dapat membantu memberi makan binatang peliharaan yang kami tinggal, serta mengirim bunga atau kudapan pada saya dan suami, telah meningkatkan kegembiraan kami dan menurunkan beban pikiran saya. Saya jadi merasa bahwa saya tidak harus memikirkan dan mengemban semua tanggung jawab sendiri seperti saat sedang tidak sakit.
Sekecil apa pun bantuan itu, sungguh akan sangat membantu para ibu di masa krusial seperti ini, selagi kami belum bisa sepenuhnya merdeka dari tuntutan konstruksi gender patriarkal.
Comments