Ibu saya menyupir karena ayah saya tidak bisa mengendarai mobil. Ayah saya selalu mencuci dan menyetrika bajunya sendiri sebab ibu saya yang memberi makan ayam dan menyiram tanaman. Kadang ia menyapu halaman atau menggosok lantai kamar mandi karena ibu saya memasak sarapan sejak pukul lima pagi. Dari mereka, saya bisa mengajukan bukti bahwa institusi pernikahan tidak selamanya mendomestifikasi perempuan.
Ayah dan ibu saya bukan tipikal orangtua yang paternalistik. Keduanya tidak mendikte bagaimana anaknya harus menjalani hidup. Mereka memberi saya. juga dua saudara perempuan saya, kebebasan menentukan pilihan pribadi kami. Ketika banyak orangtua memaksa anaknya yang tidak seberapa cerdas (dan tidak pula berminat) untuk jadi dokter atau profesi populer lainnya, ayah saya mendukung pilihan saya sepenuhnya untuk mendalami filsafat di bangku kuliah. Meskipun keduanya berlatar belakang keluarga besar religius yang taat, mereka tidak pernah memusingkan perkara atribut keagamaan. Mereka tidak mengukur kadar keimanan putrinya dengan kategorisasi sedangkal berjilbab atau tidak berjilbab.
Akan tetapi, gaya parenting yang saya alami adalah sebuah privilese, sehingga berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkaran keluarga bagi saya adalah ujian. Saya harus berhadapan dengan pemimpin yang masih meragukan kemampuan seseorang karena ia perempuan.
Kejadiannya begitu menguras emosi sampai saya ingat betul respon yang dilontarkan oleh kepala manajemen sekolah saya, “Kalau anak perempuan saya juga akan mengikuti program pertukaran pelajar selama satu tahun seperti anak bapak, saya tidak akan izinkan.” Kekhawatirannya sungguh tidak masuk akal: anak perempuan yang dibiarkan tinggal di luar negeri tanpa keluarganya akan pulang dengan moral yang rusak. Seolah-olah saya, yang saat itu berumur 17 tahun, tidak punya nalar untuk membedakan mana yang baik dan buruk. (Padahal, sebelumnya sudah ada empat murid laki-laki yang mengikuti program serupa. Saya murid perempuan pertama yang saat itu baru akan mengikutinya.)
Belum lagi komentar-komentar seksis yang berseliweran di percakapan kita sehari-hari. Kasus pemerkosaan yang tidak pernah ditangani dengan pendekatan proses hukum yang berpihak pada perempuan. Peraturan-peraturan daerah yang membatasi ruang gerak perempuan. Seruan pengurangan jam kerja perempuan. Komodifikasi perempuan pada judul-judul berita di media massa daring. Ceramah ustad/ustadzah di televisi mendiskresitkan perempuan melalui imaji “perempuan baik-baik”. Dan segala konstruksi sosial yang mengurung perempuan dengan stigma-stigma yang jauh dari semangat pemberdayaan.
Namun, dari itu semua, yang masih menjadi pertanyaan besar adalah ada apa dengan sinisisme terhadap (kata) feminis? Pernah suatu kali di kampus, saya mendengar seorang perempuan paruh baya bersama dua temannya sedang berdiskusi dengan dua temannya. Saya cukup kaget sampai saya menoleh ke arahnya ketika ia berkata dengan suara cukup keras, “buat apa pakai teori feminisme? Saya kan bukan feminis.” Seolah penggunaan sebuah teori mendefinisikan siapa jati dirinya.
Jika seorang intelektual masih demikian cara berpikirnya, sempit sekali, ya. Sama halnya ketika saya berpendapat bahwa dunia ibu (motherhood) adalah sebuah pilihan, bukan kodrat perempuan. “Ckck, dasar feminis, kamu!” begitu komentar beberapa orang. Apalagi ketika saya sedang mengenakan kaos bertulisakan per(t)empu(r)an dan menjelaskan kriteria laki-laki ideal a la ayah saya yang siapa tahu kelak ingin saya nikahi. Bahkan majalah sekelas Time Magazine sempat memasukkan kata ‘feminist’ dalam List of Words to Ban in 2015.
Saya sempat berprasangka baik, bahwa, mungkin penyebab sinisme terhadap feminis adalah belum terbangunnya kesadaran tentang gender dan kurangnya pemahaman mengenai apa itu feminisme. Sehingga, feminis kerap direduksi dan disimplifikasi menjadi sosok perempuan bossy yang banyak maunya dan ingin mengubah kodratnya dengan melampaui derajat laki-laki. Padahal, setelah tahun lalu saya mempelajarinya secara formal di kelas Filsafat dan Paradigma Feminisme yang diampu oleh Gadis Arivia dan Tommy F. Awuy, saya justru merasa feminis tidak seharusnya dikonotasikan secara negatif dan misleading.
Di mana jeleknya seseorang yang mengupayakan keadilan dan kesetaraan untuk dirinya? Di mana bahayanya seseorang yang berusaha menghentikan praktik-praktik yang terus mengebiri otonomi kaumnya? Beri saya satu alasan di mana sisi paling non-humanis dari seorang feminis.
Pasca-kelas Filsafat dan Paradigma Feminisme justru saya baru menyadari bahwa ayah-ibu saya bisa dibilang termasuk golongan feminis garis keras. Mereka meyakinkan saya bahwa kendali hidup seorang perempuan ada di tangannya sendiri. Saya bebas sekolah hingga jenjang S3, bekerja, menikah dan punya anak ketika saya memang ingin menikah dan punya anak. Buat saya, para feminis adalah adalah pemutus rasa pesimis saya yang kerap memicu rasa penasaran plus sedikit penyesalan ‘mengapa saya terlahir perempuan?’.
Tulisan ini tidak bermaksud meminta orang-orang untuk kemudian berbangga dan memproklamasikan dirinya sebagai seorang feminis. Saya juga tidak berambisi mendorong kelahiran feminis dalam jumlah masif yang akan segera mengakhiri praktik budaya patriarki. Saya hanya ingin kata feminis tidak lagi ditempeli berbagai macam sentimen. Saya ingin feminis dipandang secara netral sebagai orang-orang yang aktif mempromosikan penegakan hak asasi manusia yang sama netralnya dengan aktivis anti-korupsi, aktivis kesejahteraan hewan (animal welfare activist), maupun aktivis lingkungan.
Gigay Citta A. (Gea) adalah mahasiswi s1 program studi filsafat, Universitas Indonesia yang berharap calon skripsinya kelak dapat diterbitkan dan bertengger di rak toko buku. Ia menyenangi isu pendidikan dan merupakan seorang relawan pengajar di Sekolah Kita Rumpin.
Comments