Women Lead Pendidikan Seks
August 09, 2021

‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan

Milisi Kongo di area tambang bebas makan, tidur, dan memperkosa perempuan sebanyak-banyaknya. ‘City of Joy’ adalah ikhtiar agar korban perempuan bisa melawan.

by Tutut Tarida
Culture // Screen Raves
review film city of joy
Share:

“Enam orang prajurit mendatangiku, yang pertama memperkosaku, diikuti yang kedua, ketiga, dan keempat. Setelah yang keempat, aku tidak sadarkan diri. Aku dibawa ke Rumah Sakit Panzi dan sesampainya di sana, aku masih tidak dapat berjalan. Aku bilang pada Ibu, aku tak gila, aku hanya ingin mati. Tiap hari aku berdoa meminta kematian pada Tuhan, tapi tidak dikabulkan. Aku tidak bisa menjalani hidup begini.”

Demikian salah satu kesaksian salah satu perempuan korban pemerkosaan yang dipotret di film dokumenter yang tayang di Netflix sejak 2018, City of Joy. Dua penutur utama, Denis Mukwege dan Christine Schuler-Deschryver menceritakan langsung bagaimana perang di wilayah Kongo menghasilkan ekses kisah-kisah pemerkosaan nan pahit.

Tambang dan Pemerkosaan sebagai Strategi Perang

Pada 1994, banyak prajurit Rwanda mendaki gunung-gunung mendekati wilayah tambang. Dua tahun berselang, perang dimulai di wilayah Kongo bagian Timur. Orang-orang sengaja membuat kekacauan di desa-desa agar dapat mengontrol pertambangan. Negara lain ikut campur, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional sengaja mendatangkan milisi untuk mengamankan lokasi tambang. Alasannya, milisi adalah pihak yang paling mengenal hutan setempat.

Baca juga: Masih Banyak Negara Ramah pada Pemerkosa

Milisi adalah budak. Meski hidup dalam kemiskinan, namun milisi memiliki senapan, jadi mereka beranggapan bisa makan, tidur, dan memperkosa perempuan sesukanya. Milisi menyerang desa-desa, memperkosa anak-anak, ibu, dan nenek-nenek. Lalu apa yang dilakukan para korban yang selamat? Korban pergi dan milisi mengambil alih desa yang dekat dengan tambang.

Pemerkosaan terjadi terang-benderang. Para perempuan diperkosa di depan suami, ayah, dan/ atau anak-anak mereka. Sementara para lelaki yang tidak bisa menerimanya, malu dan meninggalkan sendiri istri atau anak perempuan mereka atas nama harga diri. Para perempuan yang diperkosa dianggap sebagai kutukan, semua beban kesalahan seluruhnya jatuh pada mereka yang sebenarnya adalah korban.

Christin dan Denis, tidak lagi menyebut itu sebagai pemerkosaan tapi terorisme seksual. Setiap mengingat kejadian demi kejadian yang mereka dengar langsung, keduanya marah. Christin yang seorang perempuan keturunan Belgia-Kongo mendengar langsung pahitnya kisah ini dari para korban. Sementara, Denis yang bekerja sebagai Direktur RS Lemera sering melihat bagaimana pasien korban pemerkosaan dan staf terbunuh oleh milisi yang kejam. Saat merawat korban, Denis menyadari, pemerkosaan bukan insiden khusus yang dilakukan oleh orang barbar, tetapi perkosaan digunakan sebagai senjata perang. 

Baca juga: Gofar Hilman, Budaya Pemerkosaan, dan Sikap Lawless

City of Joy, Semangat Perubahan

Denis Mukwege, menyampaikan kepada Christin untuk mengajak Eve Ensler, pencipta dan pemain drama “The Vagina Monologues”. Christin menolaknya, karena Eve Ensler adalah selebritas, banyak selebritas datang kesini tanpa rasa hormat. Eve Ensler, aktivis yang telah bekerja di banyak zona perang, tahu persis apa yang terjadi di sana melampaui semua cerita yang pernah ia dengar.

Mereka bertiga akhirnya turun gunung bertanya pada para perempuan, “Apa yang mereka inginkan?” Mereka menjawab ingin tempat yang aman untuk menetap dan ingin memiliki kekuatan. 

Pada 2011, City of Joy dibangun sebagai pusat untuk korban pemerkosaan dan kekerasan gender di Kongo. City of Joy mengundang semua perempuan korban perang untuk pelatihan selama enam bulan. Lulusannya diharapkan bisa jadi pemimpin yang mampu membawa perubahan saat kembali ke komunitasnya. 

Para perempuan mengikuti Kelas Hukum, yang berisi materi penting tentang hukum kekerasan seksual. Para perempuan menyadari ada banyak hal yang dilarang dilakukan, tapi tetap diterobos, seakan-akan tidak ada aturannya. Itu berarti mereka harus mampu mempertahankan hak-hak sendiri.

Lalu ada Kelas Berbagi dan Mencintai Diri Sendiri, di mana para perempuan diminta untuk melihat vagina mereka, untuk peduli atas yang ada di sana, dan menggambarkannya. Mereka adalah yang paling berhak melihat vaginanya, bahkan sebelum suaminya, dokter, atau siapa pun. Mereka harus berani menyebut kata “vagina” dan menceritakan semua kisahnya, tidak ada kisah yang lebih baik atau buruk, semua kisah berhak didengarkan dan diceritakan agar kekerasan seksual tidak terjadi kepada orang lain.

Baca juga: Polisi Pemerkosa, Kepada Siapa Lagi Perempuan Cari Pertolongan?

Selanjutnya, Kelas Bela Diri, memberikan kemampuan dan keberanian untuk melawan dan mempertahankan diri.

Ada Kelas Menjahit, yang mengajarkan kepercayaan diri pada para perempuan untuk berani menunjukan dirinya dengan pakaian yang mereka jahit dan kenakan dengan berbagai motif dan warna.

Setelah enam bulan, perempuan yang lulus ini bakal kembali ke masyarakat dengan berani dan penuh kebahagiaan. Mereka tidak takut lagi akibat penderitaannya dahulu, tidak lagi merasakan sakit yang amat sangat. Mereka telah menerima diri mereka sendiri, mereka telah mengubahnya menjadi kekuatan untuk membawa perubahan. Banyak dari mereka telah berhasil menjadi advokat untuk korban kekerasan seksual, melanjutkan sekolah keperawatan, hingga mendirikan rumah lansia bagi lansia yang terpisahkan dari keluarganya. Selain itu, beberapa  menjadi penata rambut, mempelopori pertanian kolektif, anggota keamanan, menjadi pekerja sosial, sekaligus pemimpin City of Joy.

Para perempuan yang telah melalui saat terburuk hidupnya, kini menjadi suara terkuat di Kongo. Para perempuan ini memiliki kekuatan yang tak terbayangkan, untuk menciptakan perubahan. City of Joy, kota yang penuh suka cita, kota yang mengubah derita menjadi kekuatan, karena semua perempuan yang menjadi korban berhak bahagia. Selamat menonton!

Tutut Tarida adalah perempuan yang bekerja dari jam delapan pagi sampai jam lima sore, sembari belajar kesetaraan gender dan menikmati seduhan tisane di waktu senggang.