Terlalu banyak warganet keliru dalam menggunakan media sosial, khususnya ketika menanggapi unggahan terkait kehidupan pribadi public figure. Mereka menafsirkannya media sosial sebagai ruang publik di mana mereka bisa sebebas-bebasnya berpendapat, termasuk yang cenderung menjatuhkan dan mengurus hidup orang lain.
Mereka menilai apa yang diunggah di media sosial pasti diperuntukkan konsumsi publik, dan mereka punya hak berkomentar dan memberikan saran demi kebaikan si figur publik menurut standar mereka. Contohnya terjadi belum lama ini pada aktor dan vokalis Yovie & Nuno, Pradikta Wicaksono.
Dari foto-fotonya, terlihat ia mengalami beberapa perubahan fisik: Tubuhnya tak lagi kekar, kulitnya menggelap, dan ia sekarang berambut panjang. Warganet pun bergunjing dan menyebut Dikta menggunakan obat-obatan terlarang. Padahal, ia menekuni olahraga freedive dan tenis, bosan dengan penampilannya, dan lebih nyaman dengan tubuh kurusnya.
“Kurus dibilang narkoba. Kulit iteman dibilang dekil ga keurus. Gondrong dibilang kayak orang sakit. Endingnya ‘nikah gih biar ada yang ngurus.’”
Pernyataan tersebut beserta alasan fisiknya berubah Dikta tulis di unggahan Instagramnya untuk menanggapi body shaming yang dia terima. Padahal, sebenarnya ia tidak berkewajiban menanggapi warganet dengan repot-repot memberi penjelasan.
Ini bukan kali pertama warganet bikin geram public figure. Sebelumnya, seorang warganet mengomentari tangan dan badan Yuni Shara yang keriput meskipun wajahnya tetap halus. Sang penyanyi pun tak menampik hal tersebut. Ia justru mewajarkan penuaan fisik pada dirinya lantaran saat itu ia sudah berusia 46 tahun.
Baca Juga: Dangkal dan Sensasional: Wajah Selebriti di Media Massa
Selain mengomentari badan, warganet pun merambah ke hal-hal privasi lainnya. Misalnya para penggemar Amanda Manopo yang mendoakan idolanya mualaf. Aktris 21 tahun itu sempat mengunggah foto berhijab untuk promosi brand-nya hingga banyak yang berkomentar memujinya semakin cantik dan berharap ia segera hijrah. Selain itu, Amanda pernah juga diisukan pindah agama pada April lalu karena ia berpuasa dan menyiapkan sahur para kru di lokasi syuting, padahal sikapnya hanya bentuk toleransi.
Terlepas dari agama, ia pun dijodohkan dengan lawan mainnya, Arya Saloka, yang sudah beristri, karena penonton percaya bahwa chemistry keduanya sebagai pasangan suami istri dalam sinetron Ikatan Cinta itu ada juga dalam realitas.
Kemudian, ada juga kreator konten Gita Savitri dan pasangannya, Paul Andre, yang memutuskan child free. Tentu keputusan mereka enggak luput dari nyinyiran warganet. Ada yang membawa-bawa agama supaya mereka merasa bersalah, meragukan pilihan mereka, ada juga yang menilai pasangan tersebut terlalu idealis.
Sebenarnya, mengapa warganet begitu suka mengurusi hidup orang lain?
Mengapa Warganet Mencampuri Hidup Public Figure?
Tidak hanya segelintir warganet yang doyan mengomentari unggahan public figure di media sosial. Ramai-ramai mereka melakukannya hingga ini terlihat menonjol dan menjadi sesuatu yang dirasa terlalu signifikan untuk diabaikan.
Dalam dunia psikologi, hal tersebut merupakan konformitas. Robert B. Cialdini dan Noah J. Goldstein dari Department of Psychology, Arizona State University, AS, menjelaskan dalam “Social Influence: Compliance and Conformity” (2004), konformitas merupakan kegiatan mencocokkan sikap, perilaku, dan kepercayaan terhadap norma kelompok, politik, atau berpikiran sama.
Pada konteks warganet, mereka merasa aman karena tidak sendiri, sehingga berani mengutarakan opininya. Maka itu, mereka menilai hal tersebut sah-sah saja, toh kebanyakan orang telah menyampaikan hal serupa terkait si figur publik.
Lagi pula, apabila komentar tersebut mendominasi pendapat di suatu unggahan, setidaknya mereka terbentuk sebagai perkumpulan, bukan satu-satunya orang yang akan dipermasalahkan.
Baca Juga: Ulah Influencer Buruk, Kenapa Masih Banyak yang Memujinya?
Mengutip Psychology Today, orang yang senang ikut campur urusan orang lain sering memosisikan diri sebagai sosok yang paling tahu tentang hal tersebut. Karena keyakinan seperti ini, mereka merasa pantas terlibat dalam kehidupan orang lain.
Misalnya saja dalam kasus Amanda Manopo dan figur publik perempuan non-muslim lainnya yang dianggap seharusnya memeluk Islam. Mereka merasa paling tahu yang terbaik bagi figur publik itu, yakni dengan menganut agama seperti yang mereka anut karena dirasa itu yang paling benar.
Tipikal warganet seperti ini menghakimi secara halus dan merasa apa yang dilakukannya berupa intensi baik, tanpa melihat mereka telah mengintervensi ranah privat dan tidak mampu menunjukkan toleransi. Tindak tanduk warganet ini hanya berdasarkan sudut pandang dan asumsinya, yang sebenarnya malah menimbulkan emosi negatif bagi orang lain.
Dilansir dari Times of India, Dr. John Demartini, spesialis perilaku manusia asal Texas, AS, menyebutkan, sikap tersebut sebagai self-righteous, yaitu karakteristik dalam diri seseorang ketika ia merasa lebih baik secara moral.
Hidup Public Figure Bukan Otoritas Kita
Tak sedikit orang menganggap ada harga yang harus dibayar dari popularitas figur publik. Contohnya saat Dian Sastro enggan berfoto dengan penggemar ketika ditemui di sebuah pusat perbelanjaan. Ini bukan satu-satunya ia menolak permintaan tersebut. Warganet lain pun membagikan pengalamannya terkait ditolak berfoto dengan Dian dan menudingnya sebagai figur publik sombong.
Mengutip Detik.com, Dian menjelaskan dirinya juga seorang individu dan ibu yang harus meluangkan waktu untuk keluarga. Oleh karena itu, di luar pekerjaan, ia bukanlah aktris yang harus selalu mendapat sorotan maupun memiliki kewajiban melayani permintaan penggemar 24/7.
Kenyataannya, warganet tidak dapat memisahkan mana privasi dan karya yang bisa dinikmati. Ditambah lagi, kehadiran media sosial semakin mengaburkan keduanya. Hanya karena public figure dikenal masyarakat dan turut mempublikasikan aktivitasnya sehari-hari, tidak membuat mereka layak dikritik sampai menyinggung kehidupan pribadi.
Terlepas dari masalah privasi, warganet pun tidak memperhatikan dampak dari komentarnya bagi kesehatan mental public figure.
Iggy Azalea misalnya, memilih meninggalkan Twitter pada 2015 karena menerima body shaming tentang selulit di tubuhnya, yang terlihat saat mengenakan bikini. Kemudian, ada Justin Bieber yang menonaktifkan Instagramnya pada 2016, lantaran pengikutnya menuturkan komentar menyakiti tentang Sofia Richie, mantan pacarnya. Pada tahun yang sama, Demi Lovato juga menghilang dari Twitter karena menerima komentar penuh kebencian dan online abuse.
Baca Juga: Zara dan Keributan Warganet yang Tidak Perlu
Kepada Teen Vogue, ia mengakui orang-orang tidak menyadari bahwa dirinya sensitif. Lovato pun lelah berpura-pura tidak terpengaruh perkataan warganet tentang dirinya, sekalipun ditampilkan dalam bentuk meme.
“Jika melihat dari kedua sisi, saya bisa menarik diri keluar dari hal negatif. Tapi saya manusia, dan itu penting untuk diingat,” tuturnya.
Hal yang jarang warganet sadari, mereka memiliki tekanan besar dari pekerjaan yang berpengaruh pada kehidupan pribadi, karena selalu menjadi sasaran pemberitaan media massa dan paparazzi.
Berdasarkan penelitian “Being a Celebrity: A Phenomenology of Fame” (2009) oleh akademisi Donna Rockwell dan David C. Giles, public figure menjajaki proses panjang dalam menghadapi popularitasnya, yaitu love/hate, addiction, acceptance, dan adaptation.
Pada keempat tahap tersebut, mereka belajar memosisikan diri, menghadapi perhatian dan ekspektasi besar dari publik, godaan, ketidakpercayaan, hingga ancaman. Itu semua tidak mudah untuk siapa pun hadapi.
Comments