Transaksi belanja daring (online) di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan membuktikan bahwa kegiatan ini adalah bagian gaya hidup baru. Enam tahun lalu, total nilai transaksi belanja daring tercatat Rp 21 triliun, dan pada 2017, angka itu sudah meningkat menjadi Rp 75 triliun.
Secara global pada tahun 2018, diperkirakan ada 1,8 miliar orang di seluruh dunia yang membeli barang secara daring, dengan total nilai transaksi 2,8 triliun dolar AS. Angka ini diperkirakan akan terus tumbuh hingga 4,8 triliun dolar pada 2021.
Selain toko besar milik perusahaan besar, ada juga toko daring berbasis media sosial (TDMS) seperti Instagram atau Facebook. Bisnis berbasis media sosial ini menawarkan kemudahan karena hanya dengan gawai, akses internet, dan akun media sosial, ia dapat dijalankan dari mana saja, kapan saja. Ini lantas menarik banyak perempuan untuk terlibat di dalamnya.
Menurut survei pemantau lalu lintas internet Alexa pada 2011, bisnis toko daring lebih diminati perempuan daripada laki-laki. Selain itu, survei dari lembaga riset Snapcart pada Januari 2018 di Indonesia menunjukkan bahwa 65 persen konsumen toko-toko daring ialah perempuan.
Selain menjadi konsumen, perempuan juga memiliki peran di sisi produksi, baik sebagai pemilik maupun pekerja.
Penelitian saya di enam kota di Indonesia pada 2018 menunjukkan bahwa para pekerja perempuan toko online ini berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan. Perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, dan perlu dibangun kesadaran para perempuan untuk meningkatkan posisi tawar serta perlindungan pada diri mereka sendiri.
Kerentanan yang dihadapi
Dalam pengamatan saya, ada tiga kategori pelaku ekonomi yang terlibat di dalam toko daring di media sosial. Pertama, pemilik TDMS sekaligus produsen dari produk-produk yang dijual. Mereka membuat produk sendiri dan mendistribusikannya melalui TDMS milik mereka sendiri. Kedua, mereka yang bekerja sebagai reseller (membeli untuk menjual kembali) di TDMS yang mereka miliki. Ketiga, mereka yang memiliki TDMS dan merekrut pekerja serta bekerja sama dengan pihak lain seperti konveksi garmen rumahan.
Dari luar, bisnis ini sepertinya mudah dikerjakan, namun fleksibilitas dalam toko online menyembunyikan masalah besar. Hasil penelitian kualitatif saya dalam bentuk wawancara mendalam terhadap 20 informan menunjukkan bahwa para perempuan yang bekerja di dalam bisnis TDMS bekerja dengan penuh kerentanan; mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tidak memiliki standar upah.
Baca juga: Pekerja Perempuan di Padang Tak Tahu Hak Cuti Saat Haid
Bukan tanpa sebab perempuan yang paling banyak terlibat dalam bisnis ini. Bukan tanpa sebab pula kenapa rumah jadi tempat kerja utama dalam bisnis ini. Agar tetap dapat mengurus keluarganya dengan baik, para perempuan mencoba mencari cara untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Di sinilah mereka ‘menemukan’ bisnis TDMS. Mereka dapat tetap mengurus keluarga sambil menambah pemasukan keluarga.
Nancy Fraser, pengajar filsafat dan politik di New School for Social Research, AS, menganalisis soal penempatan perempuan sebagai penanggung jawab utama kerja-kerja reproduksi sosial (seperti merawat anak dan mengurus rumah). Dengan kata lain, yang terjadi adalah feminisasi kerja, yaitu dorongan keterlibatan perempuan dalam toko bisnis online karena kebutuhan ekonomi yang menyatu dengan norma-norma patriarki.
Masalah lain: Menyeimbangkan kerja domestik dan kerja untuk bisnis online itu sulit. Hal ini terutama saya temukan pada mereka yang bekerja sebagai reseller. Kesulitan ini terjadi karena mereka mengerjakan kerja domestik dan dagang, misalnya berkomunikasi dengan pelanggan secara bersamaan.
Hal itu juga terjadi pada para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga. Para perempuan pemilik TDMS yang bekerja sama dengan pihak lain—seperti konveksi-konveksi garmen rumahan—biasanya merekrut pekerja perempuan dari daerah pedesaan atau pinggiran.
Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tak Diakui Haknya
Feminisasi kerja terjadi ketika mereka direkrut karena mereka miskin dan karena mereka perempuan. Akibatnya, mereka kerap dianggap memiliki fleksibilitas dan bekerja hanya untuk mencari ‘penghasilan tambahan’.
Di bawah sistem bisnis informal, para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga ini bekerja tanpa kontrak yang jelas dan tanpa perlindungan seperti asuransi kesehatan. Mereka yang bekerja sebagai pengecek kualitas produk, pembungkus produk, administrator media sosial, atau pengirim produk ke perusahaan jasa pengiriman logistik ini menerima upah yang rendah dengan jam kerja yang panjang.
Selain feminisasi kerja, kondisi yang penuh kerentanan ini juga disebabkan karena kerja mereka tidak diakui sebagai kerja dalam arti sesungguhnya. Seorang narasumber yang bekerja sebagai reseller, misalnya, mengaku tidak yakin kerjanya di TDMS adalah kerja sungguhan, meski dia setiap hari menghabiskan hingga delapan jam dalam mengoperasikan TDMS. Ia lebih melihat dirinya sebagai seorang ‘istri yang membantu suami’.
Ditarik lebih jauh, kesadaran ini muncul karena pada dasarnya, kerja reproduksi sosial di rumah tangga tidak pernah diakui sebagai kerja. Karena kerja reproduksi sosial di dalam rumah tangga tidak dianggap sungguhan, maka kerja-kerja reproduktif lainnya—termasuk kerja reproduktif di dalam TDMS—juga tidak diakui sebagai kerja sungguhan. Karena itu pula, hak-hak pekerja dalam bisnis online cenderung diabaikan.
Karena kondisi kerja penuh kerentanan, perlu ada peraturan untuk melindungi pekerja-pekerja TDMS. Misalnya, dengan memasukkan hak-hak mereka ke dalam regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Para pekerja toko daring sendiri juga perlu mulai mengorganisasi diri dan membentuk serikat pekerja. Di Amerika Serikat, para pekerja perusahaan toko daring Amazon sudah mulai mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Serikat dibutuhkan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments