Di penghujung Mei, publik digegerkan dengan kemunculan gerakan Islam Khilafatul Muslimin. Kelompok ini melakukan aksi konvoi di beberapa daerah di Indonesia dengan terang-terangan. Mereka menunjukkan dukungan dan mempromosikan khilafah – konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam. Dalam konvoi tersebut, kelompok ini menyebarkan pamflet dan brosur untuk menarik simpati pemeluk agama Islam agar mengikuti dan mendukung terbentuknya khilafah di Indonesia.
Bahkan, menurut pihak Kepolisian, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ormas ini sangat bertentangan dengan Pancasila. Mereka juga seringkali mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan Pancasila.
Eksistensi Khilafatul Muslimin agaknya menjadi indikasi betapa kuatnya embrio ideologi ekstremisme dan radikalisme di Indonesia yang kemudian tumbuh satu persatu membawa misi mendirikan negara Islam.
Baca juga: Perspektif Gender Penting Namun Absen dalam Penanganan Terorisme
Sejarah Khilafatul Muslimin: Lahir dari NII
Secara historis dan yuridis, kelompok Khilafatul Muslimin sebenarnya bukanlah kelompok yang baru muncul kemarin sore.
Secara legalitas, mereka sudah ada sejak tahun 1997, kemudian keanggotannya terus berkembang hingga saat ini. Pendirinya adalah Abdul Qadir Baraja, yang bukan nama baru dalam dunia ekstremisme, radikalisme dan terorisme.
Abdul adalah salah satu tokoh penting di organisasi Negara Islam Indonesia (NII) cabang Provinsi Lampung. Ia sempat ditangkap dan dipenjara pada masa Orde Baru. Setelah bebas dari hukuman penjara selama 13 tahun atas keterlibatannya dalam serangan bom di Jawa Timur dan Borobudur di tahun 1985, ia menetap di Lampung dan kemudian melanjutkan perjuangan NII dengan mendirikan Khilafatul Muslimin.
NII, atau yang juga dikenal sebagai Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII), adalah gerakan bersenjata yang memiliki misi mendirikan negara Islam Indonesia. Pimpinan NII adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, seorang tokoh Muslim yang merupakan sahabat dekat presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Pada 1962, Mahkamah Militer Angkatan Darat menjatuhkan hukuman mati kepada Kartosuwiryo setelah NII menyatakan perang terhadap pemerintah Indonesia dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Sukarno setahun sebelumnya.
Baca juga: Kisah Anak-anak Eks Teroris Poso: Trauma Berat dan Warisi Ekstremisme
Keinginan Kuat Mendirikan Negara Islam
Perjuangan kelompok NII dianggap selesai ketika kemudian Kartosuwiryo ditangkap dan dihukum mati. Namun, dorongan untuk mewujudkan negara Islam ternyata tidak berhenti sampai disitu.
Kemunculan kelompok lain yang mengatasnamakan pelanjut NII terus bermunculan. Sebut saja kelompok Daud Breuh di Aceh serta kelompok Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Perjuangannya dilakukan secara gerilya, yang tak jarang menjadikan masyarakat kecil yang berinteraksi dengan dengannya sebagai korban.
Kelompok-kelompok tersebut berhasil ditumpas oleh rezim Orde Lama. Tetapi, sekali lagi, embrio ideologinya tetap eksis.
Benar saja, satu dekade pasca kelompok DI/TII ditumpas, muncul gerakan fundamentalis Komando Jihad yang diinisiasi oleh Ismail Pranoto, mantan anggota DI/TII. Gerakan tersebut terlibat dalam beberapa penyerangan terhadap pemerintahan Orde Baru, salah satunya menumpang pada Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) dan beberapa peledakan di Sumatera Utara serta Sumatera Barat.
Pasca-Reformasi, kelompok pendukung pendirian negara Islam terus bermunculan.
NII juga merupakan cikal bakal Jamaah Islamiyah (JI), kelompok ekstremis Islam yang mendalangi serangkaian aksi pemboman tahun 2000-an. JI merupakan salah satu contoh yang memiliki ideologi ekstremisme yang kuat dan sangat merefleksikan NII.
Organisasi JI terpecah menjadi beberapa kelompok kecil, seperti Jamaah Ansyaru Tauhid (JAT) yang mengedepankan diplomasi, serta kelompok yang mengedepankan kekerasan seperti Mujahidin Indonesia Barat (MIB) ataupun Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Simpatisan JI kerap merencanakan dan melakukan aksi teror. Bahkan, pada tahun 2010, mereka sempat berkumpul di Pegunungan Jalin, Kabupaten Jantho, Aceh, untuk rekonsiliasi lintas kelompok dan melakukan persiapan perang (I’dad Askary)
Kelompok JI juga sedang menyusun kekuatan baru dan membuat perencanaan besar untuk menjalankan misi utamanya: mengubah Indonesia menjadi negara Islam.
Lahirnya kelompok-kelompok ekstremisme pasca jatuhnya NII tersebut menjadi bukti bahwa ambisi untuk mendirikan negara Islam akan selalu muncul dalam setiap rezim dan setiap masa.
Pada tahun 2014, misalnya, dunia dihebohkan dengan menguatnya eksistensi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS). Organisasi teroris internasional tersebut membawa distorsi ideologi yang cukup terasa di Indonesia.
Terjadi perpecahan antarkelompok ideologi radikal, karena para jihadis merespon kemunculan ISIS dengan cara beragam. Ada yang membentuk kelompok baru, ada yang pergi ke Irak dan Suriah untuk langsung bergabung, ada juga yang menanggapinya secara skeptis karena melihat misi kelompok ISIS tidak relevan dengan perjuangan pendirian negara Islam di Indonesia.
Rentetan sejarah yang berkorelasi tersebut menunjukkan indikasi bahwa suatu ideologi tidak bisa serta merta padam begitu saja walaupun pencetusnya mati atau diberantas. Ideologi sifatnya laten, membekas dalam memori para simpatisan dan pendukungnya, serta selalu berkembang dan bereproduksi mengikuti perkembanga jaman.
Baca juga: Perempuan dan Anak Muda yang Jadi Teroris Bertambah, Kenapa Mereka Melakukannya?
Mengikis Ambisi
Menguatnya isu tentang Khilafatul Muslimin seharusnya bisa kembali memantik pemerintah untuk lebih waspada dengan eksistensi kelompok-kelompok yang membawa misi pendirian negara Islam. Pemerintah juga harus lebih bijak dalam merespons dan mengambil keputusan akan suatu tindakan.
Kebijakan yang diambil selayaknya melibatkan segenap komponen bangsa, seperti akademisi, pihak swasta, media dan masyarakat. Pelibatannya pun jangan hanya menyentuh sektor muara yang terlihat, seperti kegiatan seminar-seminar dan sosialisasi yang cenderung kontraproduktif, namun juga menyentuh sektor hulu dengan menginfiltrasi sentra kegiatan doktrinal yang terus mereproduksi ideologi negara Islam ini.
Kesadaran penuh bahwa ancaman ideologi ini nyata serta jauh dari bumbu-bumbu konspirasi tentu saja dapat memperkuat seluruh elemen bangsa untuk terus melawan gerakan ideologi negara Islam.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments