Ahli kesehatan masyarakat menilai, secara konseptual program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia sudah memadai karena dibentuk berdasarkan hak kesehatan perempuan dan bukan untuk mengontrol jumlah penduduk. Meskipun begitu, pelayanannya masih belum optimal karena sering terjadi perbedaan visi maupun misi di tingkat pemerintah daerah yang menjalankan program KB tersebut.
Melania Hidayat, Assistant Country Representative untuk United Nations Population Fund (UNFPA) mengatakan, kursi pemerintah daerah di Indonesia sangat dinamis dan mudah berganti. Karenanya, kebijakan KB dan kesehatan ibu kurang mendapatkan dukungan oleh pemimpin yang belum memahami pentingnya kebijakan tersebut.
“Penyelenggaraan program KB berbasis hak merupakan hal positif. Tetapi masalahnya, pimpinan harus menggerakkan struktur di bawahnya untuk mencapai visi misinya [dalam hal program KB],” ujar Melania dalam webinar “Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi” oleh Rutgers akhir Juni lalu.
Baca juga: Ramai-ramai Matikan Alarm Darurat Perkawinan Anak
Sementara itu, Siti Nurul Qomariyah, Researcher dan Evaluation Director Johns Hopkins Program for International Education in Gynecology and Obstetrics mengatakan, hal lain yang menghambat efektivitas program KB adalah masyarakat yang percaya pada mitos dan miskonsepsi KB, seperti gerbang untuk seks bebas, atau menyebabkan kanker dan kecacatan.
“Pengetahuan ibu-ibu tentang KB juga masih salah dan banyak juga yang tidak mengetahui tentang apa saja metode KB, seperti intrauterine device (IUD) atau alat kontrasepsi pada rahim,” ujarnya.
Program KB untuk Cegah ‘Stunting’ pada Anak
Budi Utomo, akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia mengatakan, kekurangan pelaksanaan program KB, seperti akses, kualitas pelayanan, infrastruktur, kompensasi untuk tenaga kesehatan, dan perilaku masyarakat tergambar dalam berbagai indikator, seperti Angka Kematian Ibu (AKI) dan stunting atau masalah pertumbuhan pada balita atau anak yang masih tinggi.
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan AKI mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, Indonesia memiliki target penurunan AKI dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup.
Selain itu, Survei Status Gizi Balita oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan prevalensi stunting Indonesia mencapai 27,67 persen. Angka ini belum berada di bawah prevalensi yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di bawah 20 persen.
Menurut data Asean Maternal Mortality Ratio pada 2017 tentang AKI dan data stunting anak oleh United Nation Children Fund (UNICEF) pada 2015, Indonesia berada di tingkat kedua tertinggi untuk masing-masing kategori setelah Laos di wilayah Asia Tenggara.
Baca juga: Sulitnya Akses Kontrasepsi Kala Pandemi, Kelompok Rentan Terancam
“Hal itu menunjukkan kematian dan stunting relatif tinggi dibanding kebanyakan negara lain. Ini adalah tantangan dan perbaikannya tidak seperti yang diharapkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, program KB sangat strategis karena mampu menanggulangi masalah dengan melakukan intervensi sejak awal kehidupan. Dengan demikian, gangguan bisa dideteksi sejak dini. Sayangnya, perbaikan, penguatan kapasitas, dan pembaruan proses layanan masih berjalan lambat, ujarnya.
“Program KB harus dikuatkan karena memberikan investasi yang sangat besar. Tidak hanya bagi kesehatan ibu dan anak, tetapi juga seluruh masyarakat seperti pembangunan kesehatan masyarakat maupun sosial ekonomi,” Budi menambahkan.
Penguatan Program KB dari Pemerintah Daerah
Budi mengatakan, solusi untuk menurunkan AKI, stunting, dan unmet need atau kebutuhan KB yang belum terpenuhi ialah meningkatkan cakupan komoditas dan kualitas Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang dilakukan oleh Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Kemudian meningkatkan akses, kualitas layanan konseling, dan memperpanjang lama pemakaian kontrasepsi yang bisa dilakukan BKKBN dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Baca juga: Pentingnya Membentuk Keluarga Berperspektif ‘Sex Positive’
Siti menambahkan, penguatan kapasitas dengan konseling serta edukasi lanjutan untuk petugas kesehatan juga harus dilakukan dalam program pemeriksaan kesehatan antenatal dan pascamelahirkan agar masyarakat bisa diberikan pelayanan yang maksimal.
Sementara Melania menyatakan, agar program KB di tingkat daerah berjalan dengan baik, perlu keterlibatan pemerintah provinsi dalam implementasi dan pengorganisasian agar perencanaan KB dan kesehatan ibu yang terintegrasi bisa tercapai.
“Begitu pula dengan perencanaan program di tingkat desa, harus digarap dan dan melibatkan pemerintah kabupaten agar program KB berjalan baik,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments