Ekspresi dan aktivitas seksual merupakan satu di antara banyak topik yang mengundang pro kontra, termasuk di kalangan feminis, khususnya kelompok feminis radikal. Seperti feminis lainnya, kelompok ini mengusung kesetaraan gender, tetapi cara dan pemahaman mereka mengenai seks, gender, sistem reproduksi, dan seksualitas yang berbeda memecah mereka menjadi Feminis Radikal Libertarian dan Feminis Radikal Kultural.
Antropolog/aktivis sekaligus Feminis Radikal Libertarian, Gayle Rubin, menganggap bahwa sistem seks/gender adalah sebuah rangkaian pengaturan yang dipergunakan masyarakat patriarkal untuk mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk, peran, dan kegiatan manusia. Rubin menyatakan bahwa jenis kelamin dan gender adalah terpisah dan tidak terkait satu dengan lainnya. Karena itu, ia menolak istilah feminin-maskulin.
Ia menyatakan pula bahwa kromosom, anatomi, dan hormon sebagai fakta fisiologis manusia selalu dijadikan dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku feminin-maskulin oleh masyarakat patriarkal. Hal tersebut kerap kali memberdayakan laki-laki dan justru melemahkan perempuan.
Konstruksi budaya tersebut diyakini masyarakat sebagai hal yang "alamiah" dan karena itu juga, "kenormalan" seseorang sangat bergantung terhadap kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gendernya, yang secara kultural selalu dikaitkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.
Identitas dan perilaku gender tersebut contohnya adalah feminitas yang diidentikkan dengan sifat penurut, ramah, ceria, penuh kasih sayang. Sedangkan maskulinitas dikaitkan dengan sifat aktif, agresif, kuat, penuh dengan perencanaan, penuh tanggung jawab, dan kuat.
Masyarakat yang merepresi seksualitas
Selain itu menurut Rubin, masyarakat juga cenderung melihat hubungan seksual sebagai suatu yang berbahaya, buruk, destruktif dan negatif. Akibatnya, seks digambarkan dalam istilah-istilah negatif, seperti dosa, penyakit, neurotik, patologi, dekadensi, polusi, dan sebagainya. Masyarakat mengungkung kebebasan manusia pada umumnya dan perempuan pada khususnya, dengan merepresi berbagai bentuk dorongan seksual.
Masyarakat Barat bahkan menempatkan heteroseksualitas dalam payung pernikahan pada puncak piramida relasi seksual. Sementara mereka yang relasi seksualnya dianggap melanggar batasanꟷseperti kelompok transseksual, waria, orang-orang yang punya fetisisme tertentu, sadomasokis, pekerja seks komersial dan model pornoꟷdipandang sebagai kelompok masyarakat yang paling rendah.
Menurut Rubin, represi seksual merugikan perempuan. Sikap permisif dalam relasi seksual sesungguhnya adalah kepentingan perempuan juga, seperti halnya laki-laki.
Heteroseksualitas adalah kungkungan
Di kubu Feminis Radikal Kultural, ada anggapan kuat bahwa heteronormativitas, atau relasi antara perempuan dan laki-laki saja yang dianggap ideal, merupakan bagian dari budaya patriarkal dan merupakan ekspresi dan petualangan perempuan yang "salah". Mereka mengajak para perempuan untuk mengekspresikan seksualitasnya dalam lesbianisme untuk melawan heteroseksualitas di masyarakat.
Menurut para Feminis Radikal Kultural, heteroseksualitas adalah sebuah bentuk dominasi laki-laki dan karenanya, merupakan bentuk subordinasi perempuan. Dominasi laki-laki yang mereka maksudkan terwujud di antaranya dalam pornografi, prostitusi, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: Hak Istimewa Heteroseksual yang Mungkin Kita Anggap Sepele
Gagasan lesbianisme yang dicetuskan Feminis Radikal Kultural ini ditolak oleh Rubin. Ia menilai, para Feminis Radikal Kultural yang mengajak perempuan untuk terlibat hanya dalam lesbianisme yang monogami, dalam sebuah hubungan jangka panjang yang intim dan di dalamnya tidak melibatkan peran yang terpolarisasi, membentuk suatu represi lain bagi seksualitas perempuan.
Selain menentang pornografi dan prostitusi, Feminis Radikal Kultural juga bersikap kontra terhadap institusi keluarga serta praktik-praktik seksual seperti sado-masokisme, hubungan dewasa-anak, serta relasi butch-femme dalam lesbianisme yang dianggap mengandung objektivikasi seksual.
Manusia androgin adalah yang ideal
Feminis Radikal Libertarian lainnya, Kate Millet, dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics (1970) berpendapat bahwa seks bersifat politis, terutama karena hubungan perempuan dan laki-laki merupakan paradigma dari berbagai hubungan kekuasaan.
Millet berpendapat bahwa jika perempuan ingin mendapatkan kebebasan, maka penguasaan dan kendali laki-laki di ruang publik dan privat harus dihapuskan karena hal tersebut merupakan bentuk budaya patriarkal. Sistem seksualitas dan reproduksi, seks, dan gender juga harus ditiadakan untuk menciptakan tatanan masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki dengan setara di setiap tingkat keberadaannya.
Patriarki, menurut Millet, telah membesar-besarkan perbedaan biologis perempuan dan laki-laki, melekatkan maskulinitas yang dominan kepada laki-laki, dan feminitas yang subordinat kepada perempuan. Perempuan menyetujui hal-hal yang dilekatkan kepadanya karena itu diselipkan melalui institusi akademi, gereja, dan keluarga. Patriarki telah memanipulasi pemikiran perempuan sehingga membuat mereka mengamini pemikiran bahwa dirinya lebih inferior dibanding laki-laki, dan cenderung menganggap diri sebagai kegagalan seksual.
Di samping itu, Millet berpandangan bahwa penghapusan gender (status, peran dan temperamen seksual) dapat membantu diri seseorang untuk hidup lebih baik dalam komunitasnya. Menurutnya, seseorang dikatakan ideal apabila ia menjadi androgin atau membaurkan karakteristik dua gender.
Menurut Millet, sifat androgin hanya dapat ideal jika kualitas feminin ataupun maskulin dari perempuan dan laki-laki yang paling menguntungkan diintegrasikan dalam kualitas diri seseorang. Namun bukan sifat-sifat yang bertolak belakang (seperti arogansi dan kepatuhan), melainkan sifat-sifat yang saling melengkapi (kekuatan dan kelembutan). Manusia androgin yang ideal adalah yang bisa mengombinasikan dan menyeimbangkan karakteristik-karakteristik terbaik dari kedua jenis kelamin tersebut.
Merayakan beragam perilaku seksual
Seorang Feminis Radikal Libertarian lainnya, Shulamith Firestone, dalam bukunya Dialetic of Sex, meyakini bahwa tidak mungkin seseorang menjadi androgin sebagaimana cara yang digagas Millet. Menurut Firestone, dasar dari ideologi politik seksual yang terkait submisi perempuan dan dominasi laki-laki berakar dari peran reproduksi keduanya.
Untuk membebaskan seksualitas perempuan dari tugas biologis prokreasi, dan kepribadian kedua jenis kelamin dari femininitas dan maskulinitas yang dibentuk secara sosial, dibutuhkan bukan hanya sebuah revolusi biologi dan sosial, melainkan juga revolusi reproduksi: Reproduksi buatan (ex-utero) untuk menggantikan reproduksi alami (in-utero).
Baca juga: Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia
Firestone berpendapat bahwa dengan menciptakan sebuah keluarga yang direncanakan dengan cara saling memilih anggota keluarga dari hubungan pertemanan atau lainnya untuk menggantikan dan mengakhiri tatanan keluarga biologis tradisional, akan hancur pula tatanan keluarga Oedipal yang melarang inses dan inbreeding (perkawinan antar anggota keluarga).
Menurut Firestone, kemanusiaan akan kembali dalam "penyimpangan polimorfus", yaitu menikmati berbagai jenis perilaku seksual, kenikmatan erotis, dan beragam pengalaman seksual dengan anggota keluarga yang berjenis kelamin sama maupun berbeda. Hubungan seksual melalui genital tidak lagi menjadi yang utama dalam hubungan seksual biologis.
Dengan penyimpangan polimorfus, perempuan dan laki-laki akan menggabungkan identitas, sifat dan perilaku maskulin dan femininnya, tanpa peran gender biologis untuk bereproduksi, dengan kombinasi apa pun yang diinginkannya. Hal tersebut dapat berakibat berevolusinya manusia menjadi androgin, dan budaya dunia akan menjadi androgin pula.
Utopia Firestone ini dianggap akan menciptakan surga dunia, di mana laki-laki tidak lagi harus bekerja keras untuk menjadi pencari nafkah, dan perempuan tidak lagi harus bersusah payah mengandung anak dalam kesakitan.
Tradisi yang menjinakkan perempuan
Di pihak Feminis Radikal Kultural, Mary Daly menuliskan gagasan-gagasan feminisnya mengenai tubuh dan seksualitas dalam tiga buku dengan tiga gagasan yang terus bertransformasi sesuai dengan kematangan usianya.
Dalam buku Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women's Liberation (1973), Daly menolak istilah feminin-maskulin sepenuhnya. Menurutnya, istilah tersebut adalah produk patriarki. Seperti para feminis radikal lainnya, ia juga menyerukan masyarakat yang androgini.
Selain itu, Daly berpendapat bahwa Tuhan adalah bentuk paradigma dalam budaya patriarkal. Hanya dengan menghilangkan Tuhan dari kesadaran perempuan dan laki-lakilah, perempuan dapat diberdayakan sebagai manusia seutuhnya.
Daly juga berpendapat bahwa perempuan tidak dapat meraih prestasi apabila ia menyerah dan menganggap dirinya korban yang tidak dapat bertahan dalam patriarki, di mana laki-laki memutarbalikkan pemikiran perempuan dan secara bersamaan menghancurkan tubuh perempuan dengan praktik-praktik budaya atau tradisi yang tidak masuk akal.
Contoh praktik budaya dan tradisi tersebut adalah suttee pada agama Hindu, yaitu sebuah tradisi pemakaman di mana seorang janda mengorbankan dirinya dengan cara ikut dibakar dengan jenazah suaminya yang dikremasi. Contoh lainnya ialah lotus feet, atau pengecilan kaki dengan cara pengikatan dalam budaya Cina, yang menganggap bahwa kecantikan perempuan terletak dari ukuran kakinya yang kecil. Tradisi yang sangat tidak manusiawi ini dilakukan ketika anak perempuan berusia lima tahun.
Baca juga: Perempuan dalam Perkara Video Intim di Ranah Digital
Selain itu, ada juga praktik sunat perempuan di Afrika, yang memotong labia dan menjahit vulva perempuan yang dilakukan untuk mempertahankan keperawanannya dan dipercaya dapat mendatangkan kenikmatan seksual bagi suaminya kelak. Praktik lain yang dinaungi budaya patriarkal ialah adalah pembakaran penyihir perempuan di Eropa sampai metode ginekologi Baratꟷdi mana para dokter kandungan laki-laki mengatur perempuan hamil, bagaimana cara melahirkan yang terbaik untuknya, mengusulkan pemasangan alat kontrasepsi pada tubuh perempuan yang dapat menempatkan tubuhnya pada risiko-risiko kesehatan.
Dalam Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism(1978), Daly berpendapat bahwa perempuan sudah seharusnya menolak feminitas, baik yang positif maupun negatif. Ia memandang, hal tersebut merupakan konstruksi patriarki yang diciptakan laki-laki, dibentuk untuk menjebak perempuan ke dalam penjara patriarki yang dalam.
Menurut Daly, perempuan dibentuk laki-laki dengan berbagai pengaturan seperti penggunaan make-up yang dapat "menambah kecantikan" perempuan, menggunakan minyak wangi untuk memuaskan laki-laki, menciptakan korset untuk mengecilkan bentuk tubuhnya, semua untuk kepentingan laki-laki dan mengakibatkan hancurnya nilai alamiah perempuan.
Apabila perempuan dipisahkan dari feminitasnya, perempuan akan tampil dengan kecantikannya yang asli dan alamiah, penuh kekuatan, tidak difeminisasi, dijinakkan, dan didomestikasi.
Melepaskan "nafsu plastik"
Dalam Pure Lust: Elemental Feminist Philosophy (1983), gagasan Daly tentang perempuan bertransformasi menjadi perempuan "liar", "penuh hasrat", dan "pengelana", perempuan yang tidak lagi berhasrat untuk menjadi androgin, dan cenderung mengidentifikasi diri sebagai separatis feminis lesbian radikal.
Menurut Daly, pure lust atau nafsu asli mendorong perempuan melakukan tindakan penuh makna, sedangkan nafsu plastik (buatan) melemahkan perempuan. Nafsu plastik ini merupakan bentukan budaya patriarkal yang membuat perempuan menjadi tidak autentik. Nafsu plastik yang dimaksudkan Daly mencakup rasa bersalah, kekhawatiran, depresi, ketidakramahan, kegetiran, ketidaksukaan, frustrasi, kebosanan, kepasrahan, dan pemenuhan diri.
Pemenuhan diri yang Daly sebutkan adalah istilah lain dari apa yang dimaksud oleh seorang Feminis Liberal, Betty Friedan, sebagai "masalah yang tidak mempunyai nama", yaitu perempuan memiliki segalanya—rumah yang nyaman, suami yang sukses, seorang anak yang hebat—tetapi tetap tidak bahagia.
Gagasan tentang pemenuhan diri dan hal-hal yang "sepatutnya" dimiliki perempuan tersebut lagi-lagi terhubung dengan patriarki, yang mengemas dan menjual sedemikian rupa cinta sebagai "roman" kepada perempuan. Ini membuat mereka terjebak untuk lebih menerima ilusi cinta daripada realitasnya.
Menurut Daly, perempuan seharusnya melepaskan diri dari kemasan dan "cetakan plastik" yang menghambat nafsu mereka. Sekali nafsu perempuan dilepaskan dan dibiarkan, tidak akan ada bentuk patriarki apa pun yang dapat menghambat kekuatan besar yang dimiliki perempuan.
Dengan demikian perempuan akan memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri, tidak membutuhkan laki-laki untuk menikah, menjadi dirinya sendiri yang tetap positif tanpa memikirkan tuntutan-tuntutan yang dikemas patriarki dalam bentuk nafsu plastik.
Comments