“Australia mendukung Indonesia merdeka! Biarkan Indonesia mendapatkan kemerdekaanya!”
Kalimat itu kerap digaungkan dalam film dokumenter Indonesia Calling, yang fokus pada bantuan Australia kepada Indonesia melawan Belanda yang ingin merebut kembali Nusantara setelah Perang Dunia II usai. Film berdurasi 23 menit itu menceritakan bagaimana pekerja pelabuhan Indonesia, Australia, serta pelaut asal India dan Cina saling bahu-membahu memboikot aktivitas perkapalan serta persenjataan kapal Belanda yang bersandar di pelabuhan Australia.
Belanda menyatakan kapal mereka adalah kapal bantuan kemanusiaan berisi obat-obatan serta makanan. Namun nyatanya, Perdana Menteri Australia kala itu, Ben Chiefly, bersama buruh pelabuhan menemukan senjata dan amunisi. Para pekerja pelabuhan Indonesia kemudian menolak untuk bekerja di kapal milik Belanda.
Aksi tersebut lalu diikuti dan didukung oleh buruh pelabuhan Asutralia hingga pelaut asal India dan Cina, yang setuju untuk tidak membantu kapal Belandayang bertujuan ke Indonesia. Kapal Belanda kemudian dicap “hitam” atau disebut dengan “Black Armada”. Aksi mogok kerja buruh pelabuhan itu kemudian dikenal dengan sebutan ”The Black Ban”.
Akhir Juli lalu di Teater Salihara, Jakarta, film propaganda produksi 1946 yang disutradarai oleh Joris Ivens tersebut diputar dalam diskusi “Narasi Baru, Sejarah yang Terlupakan” oleh Komunitas Salihara dan Kedutaan Besar Australia. Sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi mengatakan, film Indonesia Calling menunjukkan bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia sangat kaya dan politik kemerdekaan tidak bersifat tunggal.
“(Terdapat) berbagai macam perspektif dan lebih penting lagi narasi seperti ini bisa mengajarkan generasi muda untuk tidak berpikir satu (sisi) saja,” ujarnya 24 Juli lalu. “Narasi seperti ini kalau diperkenalkan lebih luas membuka pikiran bahwa Indonesia tidak sesempit yang mereka pikir.”
Penulis Ayu Utami, yang mewakili Komunitas Salihara mengatakan, sejarah ini menarik untuk dipelajari karena sebagian orang tidak mengetahui atau paham tentang “hubungan cinta” Indonesia dan Australia selama masa revolusi.
Mengutarakan hal serupa, Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan mendorong generasi sekarang untuk kembali mempelajari serta memahami sejarah kedua negara terlebih lagi di era digital dengan arus informasi yang cepat dan mudah.
“Saya mempelajari sejarah kemerdekaan Indonesia dan keterlibatan Australia membantu kemerdekaan itu ketika di sekolah dasar. Karena peristiwa itu sangat nyata dan penting di negara saya,” ujar Quinlan.
Tahanan politik Digul
Sejarah perjuangan kemerdekaan di Australia bermula dari para tahanan politik yang diasingkan ke Digul, Papua. Salah satu tahanan Digul yang memiliki peran penting memperjuangkan kemerdekaan dari Australia adalah Mohammad Bondan, sekretaris Komite Indonesia Merdeka di Australia. Komite inilah yang nantinya membantu eks Digulis kembali ke Indonesia.
Kamp tahanan Boven Digul sendiri, ujar Bonnie, dibangun setelah terjadi pemberontakan terhadap pemerintah kolonial oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926 hingga 1927.
“Kamp tahanan Digul dibuat untuk tahanan PKI. Kemudian dipakai untuk mengirim siapa pun yang dianggap melawan pemerintah kolonial, termasuk Mohammad Bondan, Mohammad Hatta, serta Sutan Sjahrir,” ujarnya.
Setelah peristiwa pemberontakan PKI, lanjutnya, Belanda memperketat aturan. Anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh mengikuti rapat umum, dan jika ketahuan akan segera diusir. Bondan yang berusia 17 tahun kala itu berdandan layaknya orang dewasa, sehingga dia bisa menghadiri pidato Soekarno di sebuah bioskop di Cirebon. Bondan terkesima dengan pidato Soekarno kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Namun, tidak lama setelah berdiri pada 1927, PNI segera dibubarkan karena Belanda menganggap PNI melanggar ketertiban dan melakukan pemberontakan. Mohammad Hatta lalu mendirikan PNI baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Bondan mengikuti Bung Hatta dan bergabung dengan PNI Baru. Ketika Soekarno ditahan pada 1930, perjuangan politik dengan gencar dilakukan, papar Bonnie.
“Memasuki tahun 1927, 28, hingga 30-an pemerintah kolonial sangat reaktif. Mereka sangat cepat melakukan tindakan terhadap kegiatan politik yang dilakukan gerakan pembebasan nasional Indonesia,” katanya.
Bondan kemudian diasingkan ke Digul Januari 1935. Perjalanan Bondan menuju Digul dari Tanjung Priok memakan waktu satu bulan, dia tiba pada Februari 1935.
Kehidupan di Boven Digul
Pemerintah Hindia Belanda memiliki hak untuk mengirim orang-orang yang dianggap memberontak ke Boven Digul tanpa pengadilan, kata Bonnie. Kategori tahanan juga terbagi tiga: werkwillig, orang yang mau bekerja dengan pemerintah lalu dibayar; naturalis, yang menolak bekerja sama dengan Belanda tapi mendapat tunjangan seperti beras atau ikan asin; dan orang-orang yang sama sekali menolak untuk bekerja sama yang akan dikirim ke Tanah Tinggi.
Bondan memilih menjadi naturalis, sementara Sjahrir menjadi werkwillig karena perlu uang untuk mengirimkan surat ke istrinya, Maria Duchateau, di Belanda. Tapi hal itu tidak dianggap sebagai persoalan di antara keduanya, ujar Bonnie.
Kamp tahanan Boven Digul terbagi atas dua daerah, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Merah dianggap sebagai ibukota, sedangkan Tanah Tinggi adalah hutan rimba, lanjutnya.
Penulis Australia Annee Lawrence mengatakan dalam diskusi bahwaTanah Tinggi terletak di sebelah utara Tanah Merah dengan jarak tempuh 45 kilometer mengikuti panjang Sungai Digul.
“Penduduk pribumi juga tidak menyukai keberadaan para tahanan atau Digulis. Selain itu, mereka juga mudah terserang penyakit seperti Malaria, tuberkulosis, hingga penyakit jiwa. Satu-satunya cara agar bisa kembali ke Tanah Merah ialah dengan meminta maaf kepada Belanda dan berjanji bekerja untuk mereka,” ujar Lawrence, yang melakukan penelitian untuk novelnya dengan latar sejarah kerja sama Australia dan Indonesia selama masa revolusi.
Lawrence menambahkan, Bondan menjadi tahanan di Tanah Merah dan tidak pernah pergi ke Tanah Tinggi. Meskipun begitu, pada 1970 Bondan sempat mewawancarai Sumono Mustoffa, seorang anak dari tahanan Digul yang lahir di Tanah Merah pada 1931. Ayah Sumono, Kadirun, adalah seorang naturalis. Ketika Sumono berusia 6 tahun dia membawa Sumono bersama ibu dan kelima saudaranya ke Tanah Tinggi.
“Di sana (Tanah Tinggi) mereka tinggal selama lima tahun dan seorang anak juga lahir di sana. Tanah Tinggi benar-benar terisolasi dari dunia luar kecuali pembekalan yang diberikan sekali di awal bulan. Tidak ada toko dan mereka tidak memiliki uang. Meskipun begitu, mereka diberikan hak tahanan yang berupa nasi, teh, gula, ikan asin, dan minyak kelapa. Namun, hanya sekali mereka diberi kain kelambu dan selimut untuk melindungi mereka dari nyamuk malaria,” ujar Lawrence.
Pada 1943, hanya tersisa 20 orang yang tetap bertahan di Tanah Tinggi.
“Berkaca dengan masa kecilnya di sana, Sumono mengatakan, ‘Di usia 11 tahun saya belum bisa merasakan penderitaan besar yang dirasakan 20 orang itu. Saya bahkan tidak bisa sepenuhnya paham apa yang dialami ayah saya. Pada akhirnya, cuma dia yang memiliki keluarganya (di Tanah Tinggi). Usia itu saya juga belum paham rintangan yang dialami ibu saya, satu-satunya perempuan di komunitas yang terasingkan. Hidup tahun demi tahun di hutan.
‘Bagi saya saat berusia 11 tahun, hutan, gunung, air hujan yang jatuh ke pohon, sinar matahari yang menyinari Sungai Digul adalah semua yang saya tahu. Ia adalah teman saya dan tidak pernah berhenti untuk menyenangkan saya’,” papar Lawrence.
Sumono bercerita bahwa orang-orang yang ditahan di Tanah Tinggi adalah orang berkecukupan sebelum ditangkap. Dan di antara 20 orang itu mereka tidak menganggap diri sebagai pahlawan padahal secara sadar mereka melawan pemerintah Belanda di Indonesia, lanjutnya.
Dari Digul ke Australia
Ketika Jepang datang ke Indonesia pada Maret 1942, Belanda melakukan perlawanan, tapi tetap mengaku kalah dan menyerahkan Hindia Belanda. Namun, tidak semua wilayah Indonesia secara langsung diambil alih oleh Jepang, kata Bonnie.
“Hollandia yang saat ini kita kenal sebagai Papua masih berada di bawah kekuasaan Belanda, meskipun sudah diserang. Kemudian bagaimana dengan tahanan itu? Tahanan itu kemudian dibawa ke Australia,” ujarnya.
Bonnie menambahkan, pemerintah Belanda mengasingkan para Digulis ke Australia karena mereka memiliki konsesi di Brisbane.
Lawrence juga mengatakan pada 8 April 1942, Belanda mendirikan Netherlands Indies Commisions (NIC) di Australia yang diketuai oleh H.L van Mook bersama Ch. O van der Plas sebagai komisaris utama untuk Australia dan Selandia Baru. Van der Plas yang juga menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur memiliki peran penting dalam pemindahan tahanan politik Digul ke Australia.
“Van der Plas pergi ke Digul untuk membujuk para tahanan dengan mengajak mereka bekerja sama melawan fasisme. Dia juga menambahkan akan ada kemitraan yang setara antar Indonesia dan Belanda setelah perang. Namun, para tahanan memang tidak memiliki alternatif lain,” ujar Lawrence.
Para Digulis kemudian disebut sebagai tahanan perang yang membantu Jepang ketika akan dikirim ke Australia. Jika Belanda mengakui mereka sebagai tahanan politik maka akan timbul masalah dengan masyarakat serta pemerintah Australia, ujar Bonnie.
“Pemerintah Australia menutup mata dan telinga. Mereka mengatakan bahwa mereka (Digulis) berbahaya. Maka Bondan dan teman-temannya disebut sebagai tahanan perang,” katanya.
Lawrence menambahkan, Van der Plas menyebut tahanan dari Tanah Tinggi sebagai psikopat yang sangat berbahaya dan yang berasal dari Tanah Merah yang kurang berbahaya.
“Ini terlepas dari fakta tahanan tersebut termasuk 316 laki-laki, 22 dari Tanah Tinggi, 69 perempuan, dan 139 anak-anak. Sudah jelas Van der Plas tidak peduli bagaimana para Digulis, pemerintah serta masyarakat Australia ketika mereka sadar mereka dibohongi,” kata Lawrence.
Ketika tahanan tiba di pelabuhan di Brisbane, mereka diberikan pakaian hangat berwarna merah sebagai penanda status tahanan perang. Para Digulis kemudian dibawa menggunakan kereta menuju Cowra POW Camp, kamp untuk tahanan perang Jepang di New South Wales, dan tiba di sana Juni 1943, kata Lawrence.
“Sesampainya di Australia, bahkan dalam perjalanan di kereta, tahanan menulis surat menyatakan bahwa mereka ialah tahanan politik Belanda dan tidak pernah melanggar hukum bahkan ikut perang melawan Australia. Satu-satunya tindakan kriminal yang mereka lakukan ialah menjadi aktivis untuk kemerdekaan Indonesia. Surat tersebut kemudian dipungut dari peron stasiun dan menarik perhatian Partai Komunis Australia, Partai Buruh Australia, berbagai menteri pemerintahan, serta aktivis,” ujarnya.
Dengan bukti yang kuat bahwa mereka bukan tahanan perang serta tekanan dari media, para Digulis kemudian dibebaskan setelah beberapa bulan, tambahnya.
“Kelompok terakhir meninggalkan kamp pada April 1944. Belanda mengirim mereka ke Mackay, Queensland Utara. Di Australia, NIC telah mempersiapkan struktur, yaitu orang Indonesia bisa mencari tempat tinggal dan pekerjaan tetapi Belanda masih mengontrol gerakan mereka,” kata Lawrence.
Beberapa tahanan Digul yang yang telah dilepaskan dipekerjakan di Netherlands Indies Government Information Service (NIGIS), di Melborune, ujarnya. NIGIS memonitor siaran radio dari Indonesia ketika diduduki Jepang. Ia juga menerbitkan buliten serta memiliki unit film dan fotografi.
Ketika kabar kekalahan Jepang dan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya terdengar, eks-Digulis dengan segera mendirikan Komite Indonesia Merdeka di Sydney, Mackay, serta Melbourne, ujar Lawrene.
“Sebagai aksi lanjut, pelaut Indonesia menolak bekerja di kapal Belanda di pelabuhan Brisbane (sebagai aksi mogok kerja) setelah kasus ditemukannya amunisi dalam kapal (menuju Indonesia),”
Dalam film Indonesia Calling bisa disaksikan pekerja pelabuhan Australia, pelaut India, serta Cina mengikuti aksi tersebut.
Lawrence menambahkan landasan utama aktivis, buruh pelabuhan, serta pelaut mendukung kemerdekaan Indonesia adalah prinsip ketiga dari Piagam Atlantik.
“Telah disebutkan beberapa kali dalam film (alasan mendukung gerakan kemerdekaan karena Piagam Atlantik). Kebijakan yang ditandatangani Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat Roosevelt pada 14 Agustus 1941 tersebut memberikan 8 prinsip dengan tujuan mengembalikan ketertiban setelah perang. Prinsip ketiga yang sangat menempel dengan perjuangan anti kolonial. Karena (prinsip ketiga) berjanji untuk menghargai hak semua orang untuk memilih bentuk pemerintahan di tempat tinggalnya dan memulihkan hak-hak yang telah dirampas,” ujar Lawrence.
Selain itu, pusat Komite Indonesia Merdeka yang berbasis di Brisbane dengan Bondan sebagai sekretaris menghubungi pemerintah Australia untuk meminta dan memastikan agar eks Digulis bisa pulang ke Indonesia dengan selamat, kata Lawrence.
“Ini menjadi perhatian besar karena pemerintah Australia setuju untuk membantu meskipun ada larangan dari Belanda,” katanya.
Film Indonesia Calling juga menunjukkan bahwa pada Oktober 1945, 1.400 orang Indonesia meninggalkan Australia ke Jawa. Untuk memastikan kapal Esprance Bay yang membawa mereka tidak berlabuh di pelabuhan yang dikuasai Belanda, satu pekerja pemerintah Australia ikut berlayar untuk memastikan mereka tiba dengan selamat.
Setelah pelaut Indonesia kembali pulang, aktivis Australia bersama pelaut India dan pelaut Cina melanjutkan aksi boikot kapal Belanda.
“Meskipun banyak pelaut Australia di kapal (yang melakukan boikot), sebagian besar dari mereka adalah pelaut India. Jadi mereka (pelaut India) memegang peran besar dalam aksi boikot, dan para sejarawan sangat kritis terhadap fakta bahwa kontribusi mereka telah dipinggirkan,” ujar Lawrence.
Bahkan ketika kembali ke India izin kerja mereka telah ditandai sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan, lanjutnya.
“Para aktivis yang memberikan pelaut India makanan dan mengumpulkan uang untuk menjaga mereka. Mereka memainkan perang besar dan bahkan tidak diakui secara menyeluruh oleh gerakan serikat Australia,” kata Lawrence.
Pemerintah Australia sendiri, tambahnya, sedang dalam dilema ingin melawan Belanda dan Belanda tidak senang mereka ikut membantu gerakan Indonesia. Australia ingin membantu gerakan kemerdekaan tetangga baru mereka yang nantinya akan memiliki andil besar dalam hubungan internasional.
“Peran pemerintah Australia juga sulit. Mereka mendukung kemerdekaan, tapi tidak bisa menunjukkan secara terang-terangan,” kata Lawrence.
Meskipun begitu, lanjutnya, Belanda sendiri sudah kehilangan banyak dukungan internasional akibat melanggar Perjanjian Linggarjati pada gerakan Agresi Militer Pertama.
Bonnie menambahkan bahwa aksi saling bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melibatkan solidaritas internasional dan tidak hanya dilakukan perjuangan senjata.
“Melalui film Indonesia Calling dan kisah Bondan ditemukan cerita tentang pentingnya perjuangan dan solidaritas buruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan gerakan ini (solidaritas buruh) jauh lebih tua daripada gerakan apa pun,” ujarnya.
Baca tentang pengusaha Aborigin yang membantu perempuan lewat teknologi VR.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.
Comments