Konsep multikulturalisme di tengah kehidupan sosial masyarakat Indonesia sangat membingungkan. Di satu sisi, Indonesia selalu mempromosikan dan mereproduksi jargon-jargon soal persatuan di tengah perbedaan. Entah apa perbedaan yang dimaksud, tapi saya rasa ada yang salah dari cara kita memaknai itu.
Kita selalu diajarkan, Indonesia adalah negara dengan beragam suku, budaya, dan agama. Namun, tak banyak keluarga yang “memeluk”perbedaan itu sebagai kesatuan yang nyata dalam hidup. Masih ada saja yang menganggap kualitas dan kelayakan diri seseorang untuk jadi pasangan ditentukan oleh latar belakang suku dan agamanya, meski saya yakin ada keluarga-keluarga lain yang sudah terbuka.
Sayangnya, hal itu juga masih saja direproduksi oleh produk budaya pop di Indonesia. Kebanyakan film Indonesia yang mengisahkan multikulturalisme dalam relasi hanya membahas isu ini dari permukaan tanpa keberpihakan jelas atau pesan kemanusiaan yang representatif. Cinta Tapi Beda (2012), misalnya, yang mengisahkan kisah cinta antara seorang perempuan Katolik asal Padang dan laki-laki Muslim asal Yogyakarta. Film ini kebanyakan menyoroti perbedaan itu sendiri tanpa menjelaskan nilai apa yang bisa kita pelajari dan bagaimana seharusnya kita memandang perbedaan.
Untungnya, masih ada beberapa film yang menggambarkan multikulturalisme dalam relasi dengan realistis dan humanis. Lumayan mencerahkan, di tengah sesat-sesat pikir yang membuat manusia mengkotak-kotakkan satu sama lain.
Inilah beberapa ulasannya. (Spoiler alert)
1. The Big Sick (2017)
The Big Sick diangkat dari kisah nyata kehidupan stand-up comedian Kumail Nanjiani, imigran asal Pakistan di Amerika Serikat, dengan istrinya, perempuan kulit putih bernama Emily V. Gordon. Film ini mengangkat premis betapa kompleks dan sulitnya memiliki hubungan romansa dengan orang yang memiliki perbedaan budaya bagi anak yang keluarganya tak terbuka pada perbedaan.
Nanjiani dilarang keras berhubungan dengan perempuan kulit putih dan diwajibkan menikahi perempuan Muslim keturunan Pakistan. Namun, dia jatuh hati dengan sosok Gordon yang hangat dan humoris.
Tahu bahwa keputusannya akan ditentang habis-habisan, Nanjiani tak pernah menceritakan hubungannya dan tetap menghadiri setiap pertemuan perjodohan yang diatur orang tuanya. Meski pada akhirnya hal ini sempat membuat Gordon memilih pergi, film ini menyoroti hal yang sering disangkal dalam diskursus perbedaan budaya dalam hubungan.
Melawan tradisi dan kebiasaan berusia ribuan, bahkan mungkin jutaan tahun, sama sekali bukanlah hal yang mudah. Buat mereka yang memilih buat melakukannya, dijauhi bahkan diusir dari keluarga akan selalu menjadi konsekuensinya. Maka, wajar saja bila seseorang tidak mau kehilangan keluarga maupun kekasihnya seperti Nanjiani.
Sayangnya, penggambaran yang bagus ini tidak diteruskan sampai akhir. Akhir cerita dalam film ini terlampau menyederhanakan masalah, ketika sebenarnya perjuangan Nanjiani membuat keluarganya menerima hubungan dia, juga pertentangan batin yang dia alami, layak digali lebih dalam.
2. Cin(T)a (2009)
Cin(T)a hadir dengan nilai-nilai moral yang tegas dan realistis mengenai pasangan dengan perbedaan keyakinan di Indonesia. Film ini mengisahkan kisah Cina, pemuda Kristen keturunan Tionghoa, dan Annisa, perempuan Islam keturunan Jawa.
Keduanya tak dikisahkan berpacaran meski saling menyukai. Namun, kehadiran Cina di hidup Annisa, juga sebaliknya, menunjukkan bagaimana perbedaan latar belakang dan keyakinan di antara mereka justru melahirkan sebuah ruang diskusi soal hakikat kemanusiaan dan ketuhanan.
Esensi itu didukung dengan bagaimana diskusi antara keduanya selalu disoroti dengan durasi yang lama. Isi diskusinya pun selalu substantif, hasil paduan pemikiran Cina yang kritis, nyeleneh, sering kali berbalut dark jokes tentang nasibnya sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia yang kerap mengalami diskriminasi, serta pemikiran Annisa yang tajam tapi selalu disampaikan dengan gaya khasnya yang lemah lembut tapi menusuk.
Contohnya, dalam sebuah obrolan, Cina berkata pada Annisa,“Kita cocok, lho. Kau cantik, aku ganteng. Kau yatim, aku piatu. Kau bego, aku pintar, kau..”,“Lo Kristen, gue Islam,” Annisa langsung memotong omongannya.
Lantas, Cina membalas,“Exactly! Ntar, kita bisa di display Taman Mini, jadi simbol kerukunan umat beragama.”
Akhir cerita dalam film ini juga cukup realistis dan tidak menyederhanakan masalah yang sangat mendasar. Buat kebanyakan orang dengan keluarga yang tidak terbuka pada perbedaan budaya, pernikahan beda agama adalah sebuah kemustahilan besar. Hal ini juga mencerminkan ironi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang banyak mengusung jargon-jargon soal persatuan dalam perbedaan, tapi tidak bisa memandang perbedaan agama dalam keluarga sebagai sebuah keniscayaan yang harus dipeluk.
Tak berlebihan bila penulis skenario dalam film ini, Sally Anom Sari dan Sammaria Samanjuntak, berhasil memenangi Piala Citra 2009 untuk Skenario Asli Terbaik.
3. PK (2014)
PK adalah salah satu film yang paling kaya akan pesan-pesan kemanusiaan. Premis multikulturalisme dalam film ini bermain secara mendasar dan menyadarkan kita bahwa perbedaan sebenarnya ada di setiap aspek kehidupan manusia, tapi sering kali kita menolak untuk membahasnya.
Dalam PK, ada kisah perjalanan cinta Jaggu, perempuan Hindu India, dan Sarfaraz, laki-laki Islam dari Pakistan. Perjalanan mereka begitu terjal karena tentangan keluarga dan masyarakat akibat pengaruh relasi berduri antara umat Hindu dan Muslim di India dan Pakistan yang tak terlepas dari bias dan kepentingan politik antardua negara tersebut.
Lewat PK, kita bisa belajar bahwa budaya, termasuk agama, hanya pembeda latar belakang yang tidak lantas membedakan nilai diri kita sebagai manusia yang setara.
4. Crazy Rich Asians (2018)
Sama-sama menjadi keturunan Cina ternyata tidak membuat Rachel Chu dan Nick Young terbebas dari konflik budaya. Oleh keluarganya, Young dituntut untuk menikah dengan perempuan asal Cina yang masih memegang teguh budaya dan adat mereka. Di sisi lain, Chu menghabiskan seluruh hidupnya di Amerika Serikat, dan itu membuat keluarga Young menilainya bukan“benar-benar orang Cina”. Konflik antarkelas juga bermain di sini, antara Young yang berasal dari keluarga kaya raya dan Chu yang dibesarkan oleh ibu tunggal imigran di Amerika Serikat.
Film ini mengandung pesan penting soal bagaimana manusia seharusnya memaknai budaya yang sifatnya dinamis. Tak bisa hanya dilihat dari di mana orang itu tinggal, nilai budaya seharusnya bisa menjadikan seseorang memandang manusia lain dari kacamata yang lebih bijaksana.
Comments