Hari itu, saya dan seorang teman memutuskan untuk duduk bersantai di restoran mal sembari menikmati kopi. Karena ingin merokok, petugas mal mengarahkan kami ke area merokok di seberang aula restoran. Di area ini, orang-orang tentu tak bisa protes jika asap rokok mengepul memenuhi udara dan mengganggu mereka. Toh, orang-orang memang sengaja datang untuk merokok. Peraturannya pun sudah pas, restoran keluarga tempat orang dewasa makan bersama anak-anak mereka. Sementara, para perokok bisa menepi di kawasan bebas rokok yang telah disediakan.
Celakanya, saya menyadari di sebelah meja kami duduk, ada sepasang orang tua lengkap dengan dua anak balita mereka. Saya bergumam dalam hati, "Ngapain mereka di sini?"
Pertanyaan saya segera terjawab setelah melihat adegan setelahnya: Sang ayah sibuk merokok, sedang ibu dan anak-anak menanti makanan pesanan mereka dari restoran. Alih-alih menunda menghisap cerutu, keluarga ini justru memutuskan untuk pergi membawa anak-anak ke kawasan bebas rokok dan makan di sana, demi memenuhi keinginan sang ayah.
Merokok memang merugikan kesehatan, tapi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 melegalkan penjualan rokok pada seseorang yang telah berusia 18 tahun. Namun, kendati anak-anak kita kelak punya kebebasan untuk merokok saat dewasa, bukan berarti kamu boleh menempatkan mereka di lingkungan udara beracun sebelum saatnya tiba.
Nah, kejadian macam ini sudah sering saya lihat, di bandara, stasiun, juga restoran. Saya sendiri merokok sesekali saat sedang bersama teman di luar rumah, tapi meski merokok di area bebas rokok, lalu ada bayi yang keretanya diparkirkan orang tuanya di dekat saya, rasanya pasti canggung juga. Kita memang tidak bisa ngotot minta orang-orang cabut dari ruangan bebas rokok cuma agar anak-anak bisa duduk lama bersama keluarganya. Namun, ketika orang tua dengan kesadaran penuh membawa anak-anak memasuki zona udara berbahaya, lalu membakar paru-paru anak selagi kita menghisap sigaret? Duh, coba pikirkan lagi!
Baca juga: Ramping, Keren, dan Murah: Bagaimana Industri Rokok Sasar Perempuan dan Anak
Masih belum sadar? Mari lihat angkanya. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saban tahun ada 3,3 juta pengguna yang meninggal karena paru-paru mereka rusak setelah merokok. Di antara jumlah itu, ada 60.000 anak di bawah usia lima tahun yang meninggal akibat infeksi saluran bawah pernapasan karena menjadi merokok pasif.
Tidak hanya mengancam kesehatan anak, merokok juga rentan membuat yang miskin bertambah miskin. Itu bukan sekadar pepesan kosong. Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada 15 Februari lalu menyebutkan, di pedesaan, sebanyak Rp49.594 pengeluaran masyarakat miskin digunakan untuk rokok kretek filter. Nilai tersebut jauh melampaui pengeluaran untuk telur ayam ras, daging ayam ras, dan gula pasir yang jika ditotal nilainya sebesar Rp36.829.
Sebelas dua belas di masyarakat perkotaan, pengeluaran masyarakat miskin untuk membeli rokok kretek filter menyentuh angka Rp61.881 per kapita per bulan. Tingginya konsumsi rokok ini bikin produk ini jadi komoditi paling berpengaruh kedua yang menyumbang garis kemiskinan. Boro-boro mau beli popok dan susu anak, urusan rokok si bapak jauh lebih penting pokoknya.
Baca juga: Jerat Rokok Elektrik untuk Perempuan: Kisah 'Vaping' dari Aceh
Hal ini jelas tak bisa dibiarkan terus-menerus. Harus ada kesadaran diri dan keberanian dari keluarga perokok untuk mengutamakan hak anak mereka atas udara bersih. Dalam contoh kasus keluarga yang mengikuti ayah merokok di restoran di atas misalnya, pasangan mesti tegas memisahkan anak-anak untuk sementara waktu. Pilihan yang lain, si ayah harus menahan diri untuk tidak merokok, setidaknya sampai sesi makan bersama keluarga rampung. Tidak adil juga jika kebersamaan pasangan harus ditebus dengan terancamnya kesehatan anak. Memilih restoran secara terpisah bukan berarti perceraian, jadi jangan terlalu memaksakan diri untuk terlihat selalu bersama tapi diam-diam membahayakan keluarga.
Ada banyak perokok yang mampu membatasi diri mereka seperti tidak merokok di area rumah, tidak merokok di depan anak-anak, dan tidak membawa anak mereka ke area yang dijejali asap rokok. Mereka juga tak segan untuk setop merokok ketika keuangan keluarga mulai dirasa mengkhawatirkan. Inilah kebebasan bertanggung jawab yang saya maksud. Menjadi orang tua bukan berarti seseorang berhenti menikmati hidup, tapi memahami bahwa mendahulukan hak dan kepentingan anak adalah tugas mereka yang utama.
Kita perlu tahu, anak-anak kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan, kita lah yang meminta mereka untuk hidup demi kita. Jika kita memahami konsep mereka terlahir di dunia sebagai sukarelawan untuk membahagiakanmu, masihkah kita merasa berhak meminggirkan hak mereka akan kesehatan dan kehidupan yang layak?
Comments