Pemerintah belum lama ini mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi Pertamax menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter, dari yang sebelumnya Rp9.000 sampai Rp9.400 per liter.
Sayangnya, kebijakan untuk menaikkan harga Pertamax ini dilakukan saat masyarakat tengah tercekik oleh kenaikan harga pangan, karena gangguan pada faktor produksi dan naiknya permintaan jelang bulan Ramadan. Sejumlah komoditas pangan tercatat mengalami kenaikan, seperti minyak goreng, daging sapi, telur, dan gula.
Tidak hanya itu, pemerintah juga baru saja menerapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPn) dari 10 persen menjadi 11 persen. Bisa jadi kemungkinan, pengusaha akan menaikkan harga barang sebagai imbas dari kenaikan pajak.
Situasi ini membuat masyarakat terjepit. Belum lagi, masyarakat masih bergulat dengan kondisi ekonomi akibat pandemi.
Terkait hal ini, sejumlah pakar membagikan pendapat mereka kepada The Conversation Indonesia mengenai efek yang mungkin timbul akibat kenaikan harga pangan, BBM dan PPn.
Baca juga: Dear Megawati, Ibu-ibu Tak Cuma Menggoreng tapi juga Turun ke Jalan
Kira-kira, apa saja dampak yang akan timbul dari kenaikan harga barang-barang ini?
Pertama, dampak kenaikan Pertamax dan harga pangan akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama pada masyarakat menengah yang tinggal di daerah. Konsumen yang tergolong ekonomi menengah harus menyusun kembali rencana keuangannya.
“Penghasilannya yang seharusnya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok seperti beras, sayur dan lauk pauk, terpaksa kembali diperhitungkan. Untuk alokasi kepada bahan bakar kendaraannya, misalnya” ujar Nuri Resti Chayyani dari The Indonesian Institute.
Kedua, ada potensi dengan naiknya harga Pertamax, subsidi yang diberikan menjadi salah sasaran. Masyarakat ekonomi menengah kemungkinan besar akan melakukan migrasi ke BBM bersubsidi seperti Pertalite.
Naiknya harga Pertamax membuat sebagian masyarakat beralih ke Pertalite yang masih dibanderol di harga Rp7.650 per liter. Maka itu tak heran, antrean kendaraan panjang mengular di stasiun Pertalite di sejumlah pom bensin. Bahkan, Pertalite sempat langka dari peredaran.
“Disparitas harga yang tinggi akan memicu masyarakat yang sebetulnya bukan target subsidi, beralih ke Pertalite. Kesenjangan tersebut akan membuat kebocoran, kelangkaan dan permintaan yang berlebihan,” ujar Fithra Faisal Hastiadi, ekonom Universitas Indonesia.
“Pada akhirnya, yang terbebani adalah pemerintah karenan harus menombok kerugian yang dialami Pertamina.”
Senada, Mohamad D. Revindo dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa selisih harga Pertamax dan Pertalite dapat mendorong migrasi konsumen kelas menengah-atas ke Pertalite, yang justru dapat membuat beban subsidi membengkak atau bahkan terjadi kelangkaan Pertalite di pom bensin.
Ketiga, konsumsi rumah tangga akan tergerus sehingga mengurangi pembelian barang lainnya.
“Kalau daya beli turun maka yang kena seluruh output (keluaran) ekonomi, termasuk pengusaha juga terdampak. Bisa sebabkan PHK (pemutusan hubungan kerja) di berbagai sektor,” jelas Bhima Yudhistira Adhinegara, direktu Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Baca juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
Bhima mengatakan, dengan kondisi indeks keyakinan konsumen yang belum pulih akibat pandemi, kenaikan harga akan semakin menggencet masyarakat. Indek keyakinan konsumen adalah indeks yang mencerminkan keyakinan masyarakat Indonesia mengenai kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi konsumen dalam periode yang akan datang.
Perlu menjadi catatan, konsumsi masyarakat menjadi indikator yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sebabnya, konsumsi masyarakat menjamin roda ekonomi dalam suatu negara terus berputar,
Keempat, inflasi akan meroket, stagflasi mungkin terjadi.
Baik Abdul maupun Fithra, yang merasa kenaikan harga Pertamax adalah suatu keharusan, mengakui bahwa kebijakan ini sangatlah dilematis dan membawa dampak yang memberatkan rakyat dan negara, utamanya karena inflasi.
“Dampak kenaikan harga ini terekam lewat inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pemulihan ekonomi akan terhambat,” terang Abdul.
Abdul menambahkan, kenaikan inflasi dapat menyebabkan daya beli semakin menurun sehingga ekonomi masyarakat semakin terpuruk.
Menurut Fithra, jika inflasi tidak dikendalikan, bisa jadi kondisi ini akan mengarah ke stagflasi. Stagflasi menggambarkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tingginya inflasi dan angka pengangguran.
Kelima, kenaikan suku bunga dapat memengaruhi kondisi keuangan masyarakat menengah.
Bukan tidak mungkin, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga untuk mengurangi peredaran uang di masyarakat dan menekan laju inflasi.
Sayangnya, menurut Bhima, kondisi saat ini membuat kenaikan suku bunga menjadi lingkaran setan baru. Kenaikan suku bunga akan membuat masyarakat yang tengah menyicil rumah dengan bunga mengambang, misalnya, kesulitan untuk melakukan pembayaran bulanan.
Baca juga: Sebuah Ode untuk Indomie: ‘I Love You 3000’ Meski Hargamu Naik
Apa yang Bisa Dilakukan?
Terkait mitigasi dampak kenaikan harga pertamax, Fithra menyarankan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan harga antara Pertalite dan Pertamax dengan pelan-pelan mengurangi subsidi untuk Pertalite.
Selisih harga yang tinggi membuat mereka yang sebetulnya mampu ikut tergiur menggunakan Pertalite. Penyesuaian harga perlu dilakukan demi menjaga pasokan BBM subsidi dan mencegah membengkaknya harga yang harus dibayarkan pemerintah lewat APBN.
Fithra menegaskan, pemerintah harus mengubah mekanisme subsidi yang sebelumnya berfokus pada produk menjadi skema yang berfokus pada masyarakat rentan. Hal ini misalnya bisa dilakukan lewat pemberian bantuan tunai sebagai solusi sementara untuk menghadapi kenaikan harga BBM dan harga pangan.
Dalam jangka panjang, pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak.
Sementara, Bhima berpendapat pemerintah harus menata ulang prioritasnya dalam menghadapi inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.
Pemerintah tengah mendapat durian runtuh dari meningkatnya harga sejumlah komoditas ekspor seperti minyak kelapa sawit dan batu bara. Selain itu, pemerintah juga harus memikirkan ulang proyek-proyek yang sebetulnya tidak mendesak, seperti pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Hal ini, menurut Bhima, bisa disalurkan untuk membantu masyarakat dalam menghadapi lonjakan harga pangan, bahan bakar, dan barang lainnya serta mengontrol inflasi.
“Bila dampak ini dibiarkan, bukan tidak mungkin resesi ekonomi akan terjadi ke depannya,” Bhima mengingatkan.
Selain itu, Bhima juga menyarankan masyarakat untuk menekan perilaku konsumtif dan pembelian impulsif selama bulan Ramadan dan perayaan Idulfitri, mencari pemasukan tambahan, serta menjaga nilai uangnya agar tidak tergerus inflasi dengan berinvestasi, misalnya lewat pembelian emas yang nilainya relatif terjaga.
Comments