Di Hari Ibu Nasional pada 22 Desember ini, aku ingin bercerita tentang Mama. Di mataku, dia adalah sosok feminis yang tidak pernah sadar bahwa sesungguhnya dia adalah seorang feminis.
Namanya Dewi. Tahun ini ia genap berusia 53. Hobinya setiap hari bermain dengan kucing betinaku, Moe. Selebihnya, dia lebih sering menghabiskan waktu di dapur dan di tempat cuci. Mama telah menjadi istri selama lebih dari 29 tahun. Ia adalah ibu dari tiga anak perempuan: Aku dan adik-adikku.
Mama dibesarkan dalam keluarga yang cukup religius dan konservatif. Ketika kita sering dengar bahwa anak perempuan baik-baik adalah anak perempuan yang tidak pernah keluar malam, pendiam, berpakaian sopan dan rajin ibadah, itulah sosok Mama. Dia manis, cantik khas gadis Sunda. Tapi di balik itu semua, ia adalah sosok kuat, tulang punggung yang mampu menopang kami semua.
Mama menikah dengan Papa ketika usianya 24 tahun. Saat itu Mama adalah seorang perempuan bekerja, dengan posisi yang cukup bagus di salah satu perusahaan swasta ternama. Kenanganku pada masa itu yang aku ingat adalah, Mama adalah sosok yang sibuk, sedikit galak dan ya..sibuk.
Ketika usiaku enam tahun, Mama memutuskan keluar dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga. Di tahun yang sama, krisis moneter menimpa Indonesia. Ayahku terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Satu tahun kemudian adik pertamaku lahir dan dua tahun setelahnya adik bungsuku lahir.
Baca juga: Hari Ibu dan Kakak Perempuan Sebagai Mentor
Aku ingat, ketika dulu, ketika Mama masih bekerja dan aku masih anak tunggal, hidupku cukup nyaman. Liburan ke luar kota setiap bulan, serta dibanjiri mainan. Tapi setelah Mama tidak bekerja dan adik-adikku muncul, semuanya berubah. Orang tuaku sering bertengkar, karena pekerjaan Papaku menjadi tidak karuan. Belum lagi kebutuhan rumah yang harus diisi. Tak jarang aku mendengar orang tuaku melontarkan kata “cerai”. Meski begitu, tak sepatah kata pun keluar dari mulut Mama kepada kami, anak-anaknya, untuk membenci situasi yang kami hadapi.
Ibu Pencari Nafkah Utama
Tahun 2007, Papa kena stroke, hingga kini. Sejak Papa sakit, posisi kepala rumah tangga praktis diambil alih Mama. Umurnya kala itu menginjak 40 tahun. Aku masih ingat betul, dia pernah berkata padaku, “Mama harus kerja apa ya? Apa Mama harus jadi pembantu aja? Biar kita semua bisa makan,” ujarnya sambil menatap nanar.
Tapi dia terus bekerja keras dan berusaha agar kami bertahan dan keluar dari kesulitan keuangan. Dia mencoba membuat kue-kue basah, hal yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya. Mama bukan orang yang senang memasak, tapi ketika situasi keluarga kami kacau, ia harus berani mengambil langkah. Mama menjadi pencari nafkah utama menjual hasil masakannya untuk dititipkan di warung milik tetangga kami. Perekonomian keluarga kami mulai berjalan.
Baca juga: Janda di Bawah Bayang-bayang Ibu
Tahun 2010, aku memutuskan berkuliah di luar kota. Saat semua orang menentangnya karena melihat kami tidak punya biaya, Mama berkata padaku, “Jalani aja ya, bismillah. Rejeki untuk kamu pasti ada.” Ya, dan itu betul. Aku berhasil mendapat beasiswa. Setiap bulan, Mama tidak pernah mengirim banyak uang padaku, hanya cukup untuk biaya sewa kamar kos sederhana dan makan sehari-hari. Tapi aku bisa menjalani kuliahku dengan lancar dan lulus tepat waktu.
Seperti yang aku sebut di awal, Mama dibesarkan dengan cara-cara lama, sementara ketiga anak perempuannya sering tidak pernah mengerti hal tersebut. Dulu Mama sering bilang dengan tegas, “Jam 7 malam anak perempuan harus sudah pulang.” Tapi kini ia hanya berkata, “Jangan malam-malam pulangnya, hati-hati di jalan. Jangan lupa untuk terus berdoa.”
Dulu, Mama menikah di usia 24 tahun. Dulu Mama juga sering bertanya-tanya kenapa aku belum mengenalkan pasangan padanya. Tapi kini ia hanya berkata, “Ya jodoh ‘kan sudah ada, tinggal tunggu waktu saja.”
Dulu, Mama memilih untuk menjadi Ibu rumah tangga. Tapi kini ia selalu berkata pada kami, “Biar kalian perempuan, kalian harus terus bekerja sampai tua. Agar kalian mandiri, agar kalian mampu dan tidak merepotkan orang lain. Kejar mimpi kalian. Pergi yang jauh. Supaya hidup lebih bahagia.”
Baca juga: Ibu Bekerja Rentan Terkena Gangguan Mental
Kini, usiaku telah menginjak 28 tahun. Kedua adikku, dua-duanya perempuan, juga telah dewasa dan sedang menyelesaikan kuliahnya. Kini Mama sudah tidak mencari nafkah dengan menaruh dagangannya lagi. Ia sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sembari merawat Papa, bermain dengan kucingku dan tanaman di halaman kami. Meski menyerahkan urusan pernikahan padaku, Mama juga masih suka bawel, mengatakan bahwa ia ingin segera menimang cucu. Aku hanya tersenyum dan mengamininya saja.
Selamat Hari Ibu Nasional Kepada Ibuku Feminis yang Sesungguhnya
Kini, ia jauh lebih terbuka dibanding Mama yang saat kuingat waktu kecil. Ia masih galak, masih bawel, tapi dalam kapasitasnya. Ia tidak lagi mencoba mengontrol anak-anaknya tapi lebih menjadi teman untuk anak-anaknya. Ia tidak pernah mencoba menjauhi orang-orang yang berpikiran berbeda dengannya. Ia terbuka dengan segala permasalahan soal kesetaraan. Ia bahkan tak ragu untuk ikut ketika kuajak ke Women’s March atau datang ke beberapa diskusi. Buku-buku tentang perempuan dan kesetaraan kini habis ia lahap.
Ia kini sudah merasa cukup. Cukup karena melihat anak-anaknya kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri. Menjadi pribadi yang bukan hanya berguna bagi orang tuanya tapi juga untuk lingkungannya. Dan ia bangga dengan hal itu.
Bagiku, Mamaku adalah feminis sesungguhnya. Meski ia tidak sadar akan hal itu.
Selamat Hari Ibu Nasional, Mama.
Comments