Semasa kuliah sampai sekarang, saya selalu punya tekad untuk jadi orang yang berprestasi. Saya tak mau cuma jadi mahasiswa kuliah pulang-kuliah pulang, atau jadi pegawai kantoran yang tidak punya hidup lain selain pekerjaannya.
Jadi, begitu sebuah lembaga pemerintah mengumumkan tengah membuka ajang pemilihan “duta” yang bergerak dalam bidang sosial dan keilmuan, dengan antusias, saya langsung mendaftar. Pertimbangan terbesar yang membuat saya lumayan percaya diri untuk daftar, selain semangat untuk aktualisasi diri, juga karena bidang yang diperlombakan saya sukai dan tekuni sejak kecil.
Jika di ajang beauty pageant lain ada tinggi badan minimal, berat badan maksimal, dan penampilan menarik sebagai syarat pendaftaran, untungnya syarat-syarat dangkal itu tidak saya temukan di sini. Pikir saya, ah, ini ajang duta biasa, bukan beauty pageant yang hanya memilih para perempuan cantik dan laki-laki tampan sesuai standar kecantikan masyarakat. Dari namanya saja, sudah terlihat bahwa yang dinilai kelak adalah wawasan dan kecerdasan dalam bidang sosial keilmuan tadi.
Singkat cerita, saya berhasil lolos tahap pertama, juga tahap kedua yang paling saya takutkan karena menguji kemampuan bahasa daerah peserta. Pada tahap ketiga, saya sudah resmi jadi peserta, kemudian berhasil jadi finalis. Pada tahap inilah saya dan finalis lain menjalani satu minggu tahap karantina, di mana kami diberi banyak pembekalan soal bidang sosial dan keilmuan, tapi kebanyakan, sih, tentang bagaimana jadi pajangan pemerintah yang sesuai standar “keperempuanan” masyarakat. Ini bikin saya muak. Sungguh diskriminatif ajang ini meminggirkan mereka yang tak sesuai standar dan norma sosial, serta meninggikan mereka yang sesuai dengan keduanya.
Baca juga: Saya Feminis, Saya Menentang Narasi 'Semua Perempuan Cantik'
Saat kami diberi materi soal “kepribadian”, bayangan saya, ya, kami akan berbincang dengan psikolog, atau setidaknya orang yang peduli pada isu kemanusiaan, tentang kesehatan mental. Ternyata, sesi itu tak lebih dari upaya menjinakkan pemikiran kritis terhadap pemerintah dan nasionalisme. Misalnya, dianjurkan untuk tidak menggunakan kata-kata yang “provokatif” dan bisa menyinggung pemerintah saat bertugas kelak.
Media sosial kami pun dianjurkan jadi tempat “pencitraan”, di mana kami sebaiknya banyak mempromosikan isu-isu sosial yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. Bak Orde Baru saja, pikir saya, di mana masyarakat yang menggunakan kata-kata atau istilah yang dilarang pemerintah, akan dianggap sebagai pemberontak, dan tak jarang berakhir di bui.
Masih di sesi kelas kepribadian, sang pemateri memberitahu kami, saya mengutip, “Sebagai duta, kita tidak boleh terlihat emosional. Kalau sedang sedih, tetap senyum. Tidak boleh marah, sekalipun kita sedang kesal sekali. Kadang, ada orang yang menyinggung kita, tapi, ya, senyum saja. Nanti lama-lama juga dia bakal mengerti. Jangan sampai kalian merusak citra instansi (dan pemerintah) hanya karena emosi sesaat yang belum tentu benar.”
Baca juga: Pesan Kontes Kecantikan: Dunia Dirancang untuk Perempuan Cantik
Soal menjaga citra dan nama baik, oke, saya setuju sekali. Bukankah itu adalah hal yang refleks kita lakukan di keseharian? Namun, soal diam saja ketika dilecehkan, tidak boleh menunjukkan emosi sama sekali? Waduh. Apakah jadi duta sama dengan jadi robot?
Tak lupa, kepada kami para perempuan, sang pemateri membekali kami dengan kewajiban yang katanya, bakal bikin kami jadi “perempuan seutuhnya”.
“Alat make-up harus selalu sedia di dalam tas. Parfum apalagi. Tunjukkan kalau kalian adalah duta, perempuan yang menarik hati.”
Ketiadaan prasyarat tinggi badan minimal dan berat badan maksimal untuk ikut ajang ini ternyata hanya umpan. Tetap saja, selama karantina, para perempuan diwajibkan menggunakan sepatu ber-hak-tinggi (high heels). Tak lupa dengan rok, blus, kadang kebaya dan kain, juga make-up. Katanya, supaya terlihat seperti manusia yang layak dan agar sedap dipandang mata.
Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
Saya tak pernah menyangka, ikut ajang duta berarti turut melanggengkan standar kecantikan, juga standar perilaku yang tak masuk akal mengenai diri seorang perempuan. Saya memang sepakat sekali bahwa menjaga dan memperhatikan penampilan adalah hal yang patut dilakukan semua orang, bahkan bare minimum. Namun, tak semua orang punya kesempatan dan kemampuan untuk mengikuti standar-standar tersebut.
Lewat ajang itu, saya berkenalan dengan seorang teman perempuan yang punya ekspresi gender non-biner. Sering sekali saya melihatnya tak merasa nyaman bergerak sehari-hari karena keharusan-keharusan tak masuk akal itu. Ditambah lagi, dia tinggal di luar kota, sehingga selama karantina, dia terpaksa menginap di masjid karena tidak punya uang untuk menyewa penginapan.
Bukan hanya merugikan perempuan. Ekosistem ini juga merugikan laki-laki. Sewaktu sedang berbincang dengan senior laki-laki—yang pernah terpilih jadi duta, sudah beberapa kali pula turut jadi panitia penyelenggara acaranya—dia berkata, “Aku mah udah tahu cowok kayak gimana yang selalu menang di ajang kita.”
“Kayak gimana?” tanya saya.
“Pasti yang kayak Jono, Joni, atau Aldo, yang kalem-kalem, pendiam gimana gitu. Yang bawel, enggak bisa diem kayak aku, sih, enggak bakal menang. Ini buktinya, jadi panitia, menang enggak,” katanya sambil tertawa perih, dengan gaya khasnya yang kemayu.
Ini berarti, ajang beauty pageant sudah meminggirkan orang-orang yang tak sesuai standar dari kemungkinan untuk bisa terpilih dan jadi pemenang. Tak sesuai dengan jargon yang dipromosikan: jadi manusia bermartabat apa kalau meminggirkan manusia lainnya?
Kekesalan semakin memuncak begitu pemenang diumumkan. Selama karantina, kami selalu diberitahu, saking seringnya sampai membuat saya merasa diintai, bahwa dewan juri ada di mana-mana, dan selalu menilai cara kami bersikap, keaktifan kami dalam sesi-sesi materi, juga proposal program yang harus kami teliti dan kami rancang sebagai, yang katanya, bobot penilaian terbesar dari kepekaan kami dengan isu sosial masyarakat, kaidah kebahasaan, kesesuaian dengan standar penulisan ilmiah, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya jadi juara utama adalah orang yang sesuai standar kecantikan dan ketampanan. Selama karantina, tak sekali pun saya pernah melihat kedua juara itu aktif bertanya dalam forum atau kelas. Dalam sesi public speaking pun begitu. Keduanya tak bisa menjawab pertanyaan juri dalam bahasa daerah. Padahal, sejak awal, diberitahu bahwa kemampuan bahasa daerah akan sangat dinilai dalam menentukan juara.
Sistem dan hasil penilaian yang tak transparan juga jadi masalah selanjutnya. Kami tak pernah tahu indikator penilaiannya apa saja, juga hasil akhir penilaian. Bila pada akhirnya yang dipilih adalah mereka yang cantik dan tampan, kenapa tidak dibilang dari awal? Malah berlindung di balik jargon “berwawasan luas”, memberi harapan kosong pada mereka yang benar-benar berusaha cerdas tapi dinilai tak sedap dipandang mata. Bila benar wawasan yang dinilai, saya bisa sebutkan deretan nama yang pantas memenangi itu, meski bukan diri saya sendiri.
Saya sama sekali tak merasa iri. Toh, kalau pun saya yang terpilih jadi juara pertama, saya tak yakin bisa menanggung beban yang begitu berat untuk pencitraan 24/7, melambai ke arah kamera dengan senyum lebar padahal kaki mau copot pakai high heels, juga tak mengkritisi apa yang seharusnya dikritisi. Tak terbayang, betapa banyaknya hal yang bisa saya lewatkan sepanjang itu.
Kini, saya menyandang gelar “duta” dengan rasa bangga yang setengah-setengah. Andai, saya punya kekuatan lebih untuk mengubah itu.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments