Tiga minggu lalu, saya memutuskan untuk menghentikan hubungan kasual saya dengan laki-laki yang merupakan teman lama. Relasi yang seharusnya menyenangkan ternyata malah membebani karena laki-laki itu ternyata memiliki pacar yang tidak diakuinya selama lebih dari tiga tahun. Sikapnya yang tidak tegas membuat saya mengambil peran sebagai pengambil keputusan dan akhirnya mengakhiri hubungan singkat kami.
Meninggalkan hubungan yang toksik selalu saya anggap sebagai sebuah prestasi. Beberapa teman yang dijadikan sandaran turut senang saat saya berhasil meninggalkan seseorang yang menghambat saya dalam berkembang.
Akan tetapi, menjalani proses patah hati tidak pernah mudah. Kegagalan hubungan romantis yang sudah terjadi berulang kali sering membuat saya lelah dan terkadang malas bertemu dengan orang-orang baru. Beruntung, patah hati kali ini sedikit berbeda karena saya dibuat berdaya oleh perempuan-perempuan yang sangat tegar dalam menghadapi jatuh bangun percintaan.
Sebut saja Inaya, Qya, Elisa, dan Rima. Keempatnya adalah janda yang dengan senang hati mendengarkan keluh kesah saya. Setelah hubungan kasual saya akhiri, Inaya, karyawan swasta berusia 52 tahun, tahu betul apa yang saya lalui tidak sehat sama sekali. Pola kebohongan yang dilakukan seseorang pasti akan berulang, sehingga tidak mengherankan apabila di kemudian hari, si laki-laki akan menyembunyikan perempuan lain lagi.
Tidak hanya Inaya, menurut Qya, orang yang keluar dari hubungan yang toksik adalah pemberani. Saya, menurut karyawan swasta berusia 31 tahun tersebut, telah membuat batasan yang tepat karena saya bukan panti rehabilitasi yang berkewajiban untuk menyembuhkan karakter-karakter negatif orang lain.
Apa yang disampaikan oleh Inaya dan Qya diamini oleh Elisa dan Rima. Elisa, seorang dosen universitas swasta berusia 37 tahun, tidak melihat adanya niat baik dari si laki-laki terhadap saya dan pacar yang tidak diakuinya. Sedangkan menurut Rima, seorang diplomat berusia 38 tahun, tidak ada gunanya menjalin hubungan dengan laki-laki narsis, tukang menjelekkan perempuan lain yang tidak diakui sebagai pasangannya selama ini.
Baca juga: Baru Putus Cinta? Ini 5 Cara Buat Obati Patah Hati
Tidak hanya validasi dari mereka, keempatnya turut memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menghadapi percintaan. Dengan jujur saya mengutarakan rasa lelah dalam bertemu orang-orang baru yang hanya singgah namun tidak pernah menetap. Akan tetapi, meskipun saya jatuh bangun, baik Inaya, Qya, Elisa, maupun Rima tetap semangat mendukung saya untuk tetap optimis dalam kehidupan percintaan.
Mencintai Diri Sendiri Adalah Kunci
Agar tidak mempersilakan orang yang salah singgah untuk kesekian kalinya, saya pun bertanya tentang apa yang harus diperhatikan dan dipersiapkan sebelum membuka hati lagi. Tak disangka-sangka, keempat teman saya tersebut sama-sama menekankan pentingnya mencintai diri sendiri sebelum menerima orang lain.
Inaya menekankan satu hal mengenai karakter seseorang dalam sebuah hubungan. Apabila pasangan memiliki sifat yang toksik, pasti akan ada potensi konflik yang dapat terjadi berulang-ulang. Jika tidak siap dengan risiko memiliki pasangan yang menghambat kita dalam berkembang, sebaiknya hubungan tidak usah diteruskan. Lebih baik mencintai diri sendiri dengan menjauh dari hal-hal yang menyakiti fisik dan mental kita.
Qya pun memiliki ide yang sama. Menurutnya, kita tidak akan mampu memberi kasih sayang kepada orang lain apabila rasa sayang kepada diri kita sendiri tidak penuh. Qya juga melihat banyak perempuan di luar sana yang mengandalkan orang lain, terutama pasangan, untuk memberikan kebahagiaan. Hal ini salah besar karena yang paham dan mampu memenuhi kebahagiaan kita adalah diri kita sendiri.
Selain itu, bersikap selektif adalah tindakan yang baik. Menurut Rima, kita harus pintar memilih dan memperhatikan red flag sejak awal perkenalan. Sebagai contoh, perhatikan sikap calon pasangan kita ketika memperlakukan orang lain terutama yang inferior seperti pramusaji dan petugas kebersihan di kantor. Sekecil apa pun kejelekan mereka, jika itu bukan nilai hidup yang kita anut, maka mereka bukanlah orang yang tepat untuk kita.
Baca juga: Cara ‘Move On’ dari Mantan ala Harley Quinn dalam ‘Birds of Prey’
Selain mencintai diri sendiri, Elisa menekankan pentingnya kesamaan visi misi kita dan pasangan, terutama jika menginginkan adanya pernikahan. Apakah kita punya cita-cita tertentu yang butuh dukungan satu sama lain, atau impian yang mau kita kejar sejak dulu? Yang pasti, hal ini tidak bisa dikompromikan hanya dengan mempertimbangkan durasi pacaran. Pasalnya, hal itu tak menjamin kehidupan pernikahan yang lebih bahagia.
Bersikap Terbuka dan Mengembangkan Potensi Diri
Tidak hanya memberikan saran yang bermanfaat, Inaya, Qya, Elisa, dan Rima juga menyemangati saya agar tidak berputus asa. Pada usianya yang ke 52, Inaya tidak pernah menyerah dalam mencari cinta. Dia percaya bahwa di luar sana pasti ada jodoh untuk dirinya sehingga Inaya tidak pernah menutup diri dari orang-orang baru yang masuk ke dalam hidupnya.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Rima. Diplomat ini menyatakan bahwa jodoh yang berpasang-pasangan mungkin bukan jalan hidup semua orang. Sebagai contoh, Rima mengingatkan saya akan orang-orang yang hingga akhir hayatnya tetap sendirian. Namun, Rima mengatakan bahwa saya harus selalu memiliki prasangka baik kepada diri sendiri dan Tuhan. Bahwa perilaku yang baik dan cara kerja semesta pasti akan mengarahkan kita kepada kebahagiaan.
Akan tetapi, ketika membicarakan mengenai kebahagiaan, tidak selamanya hal tersebut berasal dari pasangan hidup kita. Saya sepakat dengan ide ini karena selama kurang lebih 22 tahun saya ditemani oleh seorang sahabat yang setia. Walaupun pacar datang dan pergi, kami berdua tetap selalu bersama. Begitu pula dengan banyak orang yang merasa bahagia dengan adanya keluarga serta teman dekat yang selalu hadir di hidup mereka.
Kebahagiaan yang tidak selalu datang dari pasangan menjadi ide yang disepakati oleh Elisa. Memperluas jejaring dan melihat dunia adalah cara yang menyenangkan untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Elisa merasa bahwa ini dapat diutamakan daripada selalu mencari pacar atau pasangan hidup. Selain itu, dengan mengenal banyak orang, kita juga dapat memahami bahwa kasih sayang tidak hanya bisa didapatkan dari satu orang saja. Ini dikarenakan makna cinta sangat luas dan tidak melulu berasal dari pacar atau pasangan hidup kita.
Qya menambahkan dengan mengingatkan saya untuk terus mencoba. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang layak singgah jika kerap menutup diri dan membatasi perkenalan dengan orang baru. Satu hal yang penting, menurut Qya, jadikan saat-saat perkenalan sebagai proses memilih. Sebagai contoh, jangan sampai orang yang mengaku sayang hanya hadir ketika kita susah tetapi malah tidak suka dan merasa minder ketika kita meraih kesuksesan.
Seorang teman pernah berkata bahwa perempuan yang hebat pasti dikelilingi oleh perempuan yang hebat juga. Inaya, Qya, Elisa, dan Rima, adalah buktinya. Mereka membuat saya kembali berdaya serta kembali menjadi perempuan yang mandiri dan mencintai diri sendiri. Selain itu, semangat yang mereka berikan turut memotivasi untuk tetap membuka diri, memperluas jejaring, dan mengembangkan potensi yang saya miliki.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments