Beberapa waktu yang lalu, saya menonton In Dubious Battle, film yang diangkat dari novel berjudul sama ditulis oleh novelis John Steinbeck. Film ini mengisahkan sebuah aksi buruh perkebunan apel yang terjadi di masa Great Depression sekitar 1933, yang yang akhirnya menyulut aksi buruh yang lebih besar dan kemudian membuat Kongres Amerika menyetujui beberapa tuntutan buruh.
Berdurasi 113 menit, film ini menurut saya menarik ditonton dan cukup berhasil menangkap ide-ide dalam sebuah aksi massa atau aksi buruh dan menggambarkan representasi perempuan dalam aksi massa. Film diawali dengan seorang pemilik kebun apel yang secara sepihak menurunkan upah memetik apel di kebunnya, yang mengundang protes keras dari para pekerja, namun mereka akhirnya terpaksa mernerima hal tersebut. Ketiadaan pilihan untuk pindah ke tempat yang bisa menggaji mereka lebih layak dan tidak adanya uang uang untuk pindah ke daerah lain memaksa para pekerja tersebut menerima perilaku semena-mena dari pemilik lahan tersebut.
Jim Nolan (Nat Wolff) dan Mac Mcleod (James Franco, yang juga menyutradarai film ini), datang ke ladang perkebunan apel di California tersebut untuk menggalang aksi buruh apel yang bagi mereka akan menjadi awal perjuangan untuk merebut lahan-lahan perkebunan tersebut dari para pemilik yang tamak itu.
Bagi Nolan dan McLeod, perjuangan ini haruslah digawangi dan dilakukan oleh para pekerja itu sendiri. Menurut mereka, pekerja lah yang berhak menerima keuntungan terbesar karena mereka yang bekerja dan memproduksi barang yang dijual tersebut.
Aksi mogok menjadi pilihan yang ditawarkan kedua laki-laki tersebut kepada para pekerja untuk memaksa pemilik lahan memenuhi gaji yang sesuai dan layak bagi para pekerja. Pada awalnya para pekerja menolak, namun setelah beberapa kejadian yang memicu emosi, para pekerja pun sepakat untuk melakukan mogok.
Perempuan: Pejuang Atau Penghalang
Aksi pun dilakukan dengan menumpang sebuah lahan dari warga sekitar dengan bayaran memetik apel di lahan warga tersebut. Aksi itu dirancang dengan cukup rapi dan para pekerja bergotong royong untuk membangun segala keperluan dari gerakan tersebut dengan membangun tenda, dapur dan tempat perawatan kesehatan juga sanitasi.
Ada empat perempuan yang mewarnai aksi mogok tersebut: Edith Malone (Ahna O’Reilly), teman dari Mac Mcleod; Lisa (Selena Gomez), anak perempuan pemimpin aksi mogok, London (yang diperankan oleh Leonardo D’Onforio); Vera (Analeigh Tipton), juga anak perempuan London; dan Alice Bolton (Ashley Greene), anak perempuan Bolton, pemilik lahan perkebunan apel.
Empat tokoh perempuan utama dalam film ini merepresentasikan bagaimana posisi perempuan dalam aksi massa, dari seorang yang realis hingga pengkhianat kemanusiaan.
Lisa, yang melahirkan anak dari seorang buruh yang lari ketika tahu ia hamil, adalah sosok yang apatis, penakut dan selalu terlihat muram. Lisa melihat aksi yang dilancarkan para pekerja itu sebagai bahaya atau ancaman. Dia tidak ingin lagi kehilangan keluarganya lagi, karena ia melihat bahwa aksi semacam ini akan memakan korban yang tidak sedikit.
Lisa selalu memandang negatif atau selalu ketakutan aksi mogok ini. Kehidupan ini seakan-akan berhenti dan tidak akan berakhir dengan baik. Sikap apatis inilah yang membuat dirinya absen dalam semua aksi protes yang mewarnai dalam aksi mogok ini.
Sangatlah berbeda Vera, yang awalnya dilanda ketakutan yang hebat, namun pada akhirnya menjadi pengikut aksi yang cukup aktif. Bahkan dalam satu kejadian dia melakukan aksi balas dendam atas pembakaran gudang apel yang menyimpan apel yang mereka petik, dengan membakar rumah salah satu keluarga kaya di kota.
Tokoh ketiga adalah Edith Malone atau Edie, perempuan yang berada di luar juga sekaligus di dalam aksi, sebagai pengurus bagian konsumsi dalam aksi mogok namun dia juga tidak selalu terlibat secara langsung aksi tersebut. Dalam satu bagian dialog, dia malah menegaskan dirinya sebagai yang realis, dimana ia menegaskan bahwa dalam setiap aksi massa akan selalu ada halangan. Karenanya, bukan hanya harapan yang dipupuk dalam setiap aksi, tapi juga setiap langkah dan strategi dalam aksi juga harus selalu dipertimbangkan.
Dan terakhir adalah Alice Bolton, yang menurut ayahnya akan menjadi pewaris tanahnya kemudian, yang membawanya ke pertemuan bersama para pekerja yang sedang mogok, agar dia mengenal siapa yang akan berkerja untuknya. Alice digambarkan sebagai perempuan licik dan jahat. Dia juga dengan sangat berani merayu salah seorang pekerja yang untuk berkhianat dan melakukan provokasi pelemahan aksi tersebut.
Dalam dunia film, representasi perempuan kadang berkonotasi pada satu dimensi saja, namun dalam film ini, perempuan dimunculkan dengan berbagai perannya. Melalui film ini, kita mungkin memahami bahwa perempuan bisa menjadi penghalang juga bisa menjadi pendukung bahkan menjadi aktor penting dalam aksi massa. Perempuan dalam aksi massa adalah hal sangat kompleks dan tidak mudah disandarkan pada satu bagian saja. Dan film ini mengkonstruksi perempuan dalam aksi massa bukan cuma dimonopoli oleh satu tokoh namun banyak tokoh yang merepresentasikan perempuan, melihat perempuan bukan dalam segregasi peran namun mewarnai aksi massa tersebut dalam timbangan yang cukup seimbang.
Supriansyah adalah anggota Jaringan GUSDURians Kalimantan Selatan.
Comments