Pandemi COVID-19 yang diikuti pelbagai kebijakan pembatasan sosial dan imbauan untuk beraktivitas dari rumah menjadi malapetaka bagi seniman dan atlet Indonesia. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) menunjukkan, sebanyak 189.586 pekerja kreatif terdampak pandemi, termasuk para pekerja seni, musisi, dan kru film yang dipecat atau dirumahkan.
Sementara itu, merujuk temuan Koalisi Seni pada Mei 2020 lalu, terdapat 40.081 seniman yang kehilangan pekerjaan dan mengalami pembatalan pertunjukan serta festival seni selama pandemi ini. Daerah-daerah episentrum bagi pekerja seni pertunjukan, seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, paling merasakan dampaknya.
Data itu juga menunjukkan, jumlah acara dan festival seni yang dibatalkan maupun ditunda akibat efek berantai pandemi cukup signifikan. Di antaranya, 14 proses produksi dan rilis film, 69 konser, tur, dan festival musik, 14 pameran dan museum seni rupa, delapan pertunjukan tari, serta 29 pertunjukan teater, pantomim, wayang dan boneka, terpaksa ditunda dan/atau dibatalkan. Hingga kini, kerugiannya diprediksi sudah menyentuh angka miliaran rupiah. Angka tersebut juga diprediksi masih akan bertambah hingga waktu yang tak bisa ditentukan.
Baca juga: Bias Kelas Kebijakan Kesehatan Perparah Krisis COVID-19
Tak bisa duduk berpangku tangan, sebagian seniman memang sudah berusaha beradaptasi dengan melakukan terobosan-terobosan baru. Menyelenggarakan pementasan virtual yang dilaksanakan lewat berbagai medium daring, misalnya, sebagaimana yang sering kita temukan dilakukan para musisi dan seniman Tanah Air: Penyanyi legendaris Didi Kempot dengan ‘Konser Amal dari Rumah’ yang ditayangkan Kompas TV pada (11/4) lalu, seniman Happy Salma dengan pertunjukan musik, tari, dan teater bertajuk ‘Taksu Ubud’ yang ditayangkan melalui kanal YouTube Budaya Saya, dan masih banyak lagi.
Hal itu juga dilakukan oleh beberapa seniman mural asal Amerika Serikat. Salah satunya, López Chavez.
“Beradaptasi di tengah banyak keterbatasan bukanlah hal yang sulit bagi seniman. Kami terbiasa melakukan itu. Setiap pagi, saya duduk di meja kerja saya, menggambar di buku sketsa atau di komputer secara digital. Saya jadi punya lebih banyak waktu untuk merefleksikan hidup saya dan merencanakan karya-karya yang akan saya buat,” ujarnya.
Meski begitu, tak semua seniman bisa melakukan itu. Banyak seniman yang semasa pandemi merasa mandek lantaran tubuh dan kondisi psikisnya tidak dalam kondisi prima. Hal itu membuat mereka sulit berkarya dan mengembangkan kreativitas lewat berbagai medium seni yang biasa mereka lakukan.
Banyak pula seniman yang mengalami penurunan pendapatan drastis saat pandemi ini. Bagi sebagian seniman, seni bukan hanya wadah ekspresi, melainkan juga sumber pendapatan. Sebagaimana yang dirasakan Jumitri, pemain seni Ketoprak asal Bantul, Yogyakarta. Kondisi keuangan Jumitri merosot drastis karena tak ada permintaan pementasan Ketoprak yang dilatarbelakangi oleh larangan pemerintah untuk menggelar pertunjukan yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Padahal, dari Ketoprak lah Jumitri bisa membiayai kebutuhan keluarganya sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anaknya.
Baca juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada
Akhirnya, Jumitri beralih pekerjaan menjadi penjual jajanan pasar. Pendapatannya menurun, tak sebanding dengan penghasilannya ketika masih aktif bermain Ketoprak. Menurut Jumitri, keuntungan yang bisa dia dapatkan dari berjualan makanan hanyalah sekitar Rp500 rupiah per buah.
“Mau bagaimana lagi kalau enggak punya penghasilan? Saya harus berjuang supaya tetap bisa membiayai keluarga. Anak saya ada tiga, penghasilan suami juga enggak cukup karena bekerja serabutan,” ujar Jumitri kepada CNN Indonesia.
Di tengah paceklik ini, Jumitri belum pernah sekalipun menerima bantuan dari pemerintah. Satu-satunya bantuan yang pernah ia dapat berasal dari rekan sesama seniman berupa kebutuhan-kebutuhan pokok.
“Panggung bukan hanya tempat saya mencari uang, tapi juga bagian dari hidup saya yang sudah saya jalani sejak tahun ‘90-an.”
Pandemi Picu Gangguan Kesehatan Mental bagi Atlet
Bukan hanya pertunjukan seni, berbagai acara olahraga tingkat regional, nasional, sampai internasional juga ditunda dan dibatalkan. Para atlet yang terbiasa bersiap dan berlatih untuk kompetisi terdekat kena imbasnya—sebagian dari mereka terpaksa berlatih dari rumah masing-masing, sebagian bahkan terpaksa mengurangi intensitas berlatih karena tak semua olahraga dapat dilakukan di rumah ataupun secara virtual. Hal itu membuat latihan tak berjalan maksimal.
Baca juga: Seniman Muda Manfaatkan Teknologi Digital untuk Bertahan Selama Pandemi
Riset Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada Mei 2020 mengungkapkan, sebanyak 56 persen atlet mengalami kesulitan untuk bisa berlatih secara efektif selama pandemi COVID-19. Separuh responden juga mengaku mengalami kesulitan untuk menjaga semangat dan motivasi bertanding. Dua tantangan terbesar yang dihadapi atlet selama pandemi masa pandemi ialah kesehatan mental (32%) dan kesulitan mengatur pola makan (30%). Riset itu dilakukan dengan melibatkan lebih dari 4.000 atlet yang tersebar di 135 negara.
Sebagaimana yang dialami oleh tim nasional (timnas) renang. Renang bukanlah olahraga yang bisa dilakukan secara jarak jauh karena membutuhkan latihan fisik di dalam air. Situasi pandemi dan kebijakan pembatasan sosial menjadi tantangan yang sangat besar.
“Atlet tidak punya kolam renang khusus latihan di rumahnya. Tidak memungkinkan kalau kami latihan renang lewat Zoom. Kami mohon Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) membuat protokol atau kebijakan khusus supaya kami bisa berlatih di Gelora Bung Karno (GBK),” ujar David Armandoni, pelatih timnas renang kepada CNN Indonesia pada (14/5/20).
Penelitian berjudul ‘Kesehatan Mental Atlet Indonesia saat Pandemi COVID-19: Tantangan, Rekomendasi dan Peluang’ (2020) oleh Kurniati Rahayuni menunjukkan, para atlet Indonesia mengalami beberapa efek jangka panjang dari pandemi, seperti merasa demotivasi dan stres, kejenuhan dan kesepian, rasa takut, ketidakpastian dalam kompetisi, ketidakpastian kondisi ekonomi, dan program latihan yang terus berubah.
Hal itu disebabkan karena beberapa hal, di antaranya adalah penundaan dalam rencana peningkatan karier, terutama bagi para atlet yang sudah berada pada usia-usia akhir sebelum pensiun (late-career athlete). Penundaan ini bisa berdampak pada habisnya kesempatan mereka untuk bertanding karena batasan usia dan penundaan rencana pensiun. Belum lagi, keberlangsungan hidup dan karier atlet salah satunya bergantung pada uang saku, gaji, dan bonus yang diberikan oleh organisasi olahraga dan sponsor. Penundaan atau bahkan pembatalan acara olahraga dapat memengaruhi kondisi finansial mereka, sehingga dapat berdampak langsung terhadap perubahan gaya hidup.
“Belum lagi, banyak atlet yang mengalami efisiensi (pemecatan) dan dirumahkan akibat sistem rekrutmen dan seleksi tim yang tidak optimal. Hal ini membuat pemasukan mereka terhenti dan mengganggu kesehatan mentalnya,” ujar Kurniati dalam penelitiannya.
Comments